Rivalitas Bonek dan Aremania: Berebut Jadi Nomor Satu di Jawa Timur
JAKARTA - Kecintaan terhadap sebuah tim atau klub sepak bola adalah hal lumrah. Tiada yang menyangsikan hal itu. Apalagi sepak bola bukan sekedar olahraga, tapi wujud dari identitas. Namun, kecintaan itu dapat berbahaya jika penggemarnya melanggengkan fanatisme buta.
Mereka siap sedia melakukan apa saja demi klub yang dicinta. Melanggengkan kekerasan, salah satunya. Semua itu kerap terlihat dari fanatisme kelompok suporter sepak bola antara Bonek (Persebaya) dan Aremania (Arema FC). Ini jejaknya.
Eksistensi olahraga sepak bola tiada dunia. Cabang olahraga itu paling digemari di muka bumi. Alasannya jelas. Sepak bola tak membutuhkan peralatan khusus untuk dimainkan. Pun sepak bola dapat dimainkan siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Fakta itu membuat industri sepak bola kesohor di tiap negera. Lagi pula, sepak bola tak melulu menjanjikan pundi-pundi pendapatan yang besar, tapi juga sepak bola jadi perekat persatuan dan persahabatan. Kemunculan bejibunnya kelompok suporter jadi bukti.
Masing-masing kelompok suporter merasa terpanggil membela klub kesayangannya. Mereka mencintainya dengan ragam alasan. Dari faktor personal hingga persoalan kejayaan. Kelompok supporter itu pun dikenal sebagai penggemar yang loyal. Mereka membeli tiket, mendukung, merayakan kemenangan, hingga menangisi kekalahan klub kesayangan.
Kecintaan itu tak bisa dijelaskan lagi dengan kata-kata. Namun, semua tak bisa dilakukan secara berlebihan. Jika berlebihan kecintaan itu akan berubah menjadi fanatisme buta. Yang mana, penggemar sepak bola akan melakukan apa saja untuk klub kesayangannya, termasuk melanggengkan kekerasan.
“Seperti yang dijelaskan sebelumnya, rasa suka pada klub sepak bola merupakan suatu hal yang cukup pelik untuk dijelaskan. Tidak ada satu rumusan sosial yang berlaku umum untuk menjelaskan rasa suka tersebut. Untuk sebuah kepentingan politik kuasa yang hendak diraih, modal sosial tersebut bisa jauh lebih bernilai dan mahal harganya dibanding profit yang dijanjikan dalam bisnis sepak bola.”
“Modal sosial tersebut terbentuk melalui proses sosial yang panjang, bahkan berlangsung secara turun-temurun sebelum sepak bola itu sendiri menjadi suatu industry seperti saat ini. hal itu terjadi karena sepak bola bukan sekedar olahraga, tetapi menjadi suatu identitas sosial bagi seluruh pendukungnya,” ungkap Iswandi Syahputra dalam buku Pemuja Sepak Bola: Kuasa Media Atas Budaya (2016).
Akar Permusuhan
Di Indonesia, fanatisme buta bukan barang baru. Beberapa kelompok suporter acap kali melanggengkan fanatisme buta. Fanatisme berlebihan itu tak jarang membentuk rivalitas antara kelompok suporter. Bonek dan Aremania contohnya.
Bonek dan Aremania adalah salah satu contoh kelompok supoter yang memiliki akar sejarah panjang. Sekali pun, tiada yang mampu mengungkap kapan pastinya rivalitas kedua kelompok Suporter dari Persebaya Surabaya dan Arema Malang (Kini: Arema FC) bermula.
Namun, rivalitas itu makin terasa justru bermura dari konser musik Kantata Taqwa pada awal 1990. Konser itu dihelat di Stadion Gelora 10 November, Tambaksari, Surabaya. Penonton asal Malang banyak membanjiri stadion. Bahkan, mereka menguasai depan panggung.
Pemandangan itu membuat Bonek sakit hati. Empunya kampung serasa tak dihargai. Kericuhan pun terjadi karenanya. Masalah itu bak memantik api permusuhan. Setelahnya, Bonek dan Aremania dikenal laksana musuh bebuyutan.
Sekalipun kedua klub bola yang dicintai tak bertemu langsung di lapangan hijau. Pada Final Piala Galatama 21 Juli 1992, misalnya. Kala itu Semen Padang melakoni pertandingan di luar kandang melawan Arema Malang di Stadion Tambaksari, yang notabene kandang Persebaya.
Malang tak dapat ditolak. Semen Padang berhasil menjadi juara setelah di final mengalahkan Arema Malang 1-0. Kekalahan Arema membuat Arek Malang (sebutan awal Aremania) tak puas. Sebagai bentuk pelampiasan, kelompok suporter itu berulah merusak fasilitas di Stasiun Gubeng.
Bonek geram bukan main. Mereka melakukan aksi balasan dengan mencegat dan menyerang rombongan Aremania saat melewat ke Gresik pada akhir 1993. Permusuhan itu berlanjut ketika Persebaya dan Arema Malang berjumpa di Stadion Tambaksari pada 1996. Pertemuan itu membuat stadion bak medan laga, dibanding medium bermain bola.
Pemusuhan keduanya pun terus langgeng, bahkan hingga hari ini. Korbannya bejibun. Masalah gengsi dan kebanggaan dari sejarah-kultural (terutama dialek bahasa) ada di baliknya. Kedua kelompok Suporter kerap menganggap masing-masing klub bola dan kotanya yang terbaik.
Bonek merasa Persebaya Surabaya lebih unggul dari Malang dan begitu pula sebaliknya. Rasa iri dan cemburu pun sempat memuncuat ketika banyak mendominasi pemberitaan nasional. Aremania pun tak ingin mereka jadi kelompok suporter nomor dua. Utamanya di Jawa Timur. Karenanya, kericuhan terjadi. Sekalipun telah didamaikan beberapa kali.
“Sedangkan untuk penyebab sampingannya adalah perbedaan porsi pemberitaan di media massa saat itu, dimana pemberitaan tentang klub-klub sepak bola beserta kelompok suporter yang berasal dari Surabaya lebih banyak daripada klub-klub serta suporter sepak bola asal Malang. Selain itu, ada juga karena rasa gengsi.”
“Gengsi karena status daerah nomer satu dan nomer dua di Jawa Timur. Kemudian iri dan cemburu karena pengakuan dan anggapan masyarakat umum bahwa klub asal Surabaya lebih hebat daripada klub asal Malang. Tidak berhenti sampai disitu saja, penyebab lainnya adalah rasa primordialisme,” terang Galuh Saputro dalam Jurnal Kajian Moral dan Kewarganegaraan Volume 1 No. 4 berjudul Pandangan Bonek: Tentang Konflik Antara Bonek dan Aremania (2016).