Menyimak Mengapa Rizal Ramli Sering Menyebut Sri Mulyani sebagai 'Ratu Utang'

JAKARTA - Sepanjang kariernya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tak hanya mendapat julukan sebagai menteri keuangan terbaik oleh di dunia. Namun juga mendapat julukan pedas yaitu 'ratu utang', bahkan terbaru sebagai 'pengemis utang'. Julukan itu diberikan oleh ekonom senior dan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Rizal Ramli.

Awal mulanya julukan ratu utang ini, ketika pada April 2019, mantan Rizal Ramli menyampaikan kritiknya lewat Twitter-nya, @RamliRizal. Dalam cuitannya, Rizal menyebut Menkeu Ratu Utang, dipuja-puja kreditur karena berikan bunga tertinggi se-ASEAN.

Kritikan Rizal Ramli bukan berarti tanpa alasan, mengingat nominal utang pemerintah pusat di era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) melonjak cukup signifikan dibandingkan pendahulunya.

Cuitan ini juga sekaligus menanggapi informasi adanya penambahan jumlah utang pemerintah sebesar Rp347 triliun di April 2019. Angka penambahan itu terhitung selama satu tahun atau dari April 2018.

"Utang pemerintah setahun naik Rp347 triliun. Nyaris Rp1 triliun per hari! Kok prestasi tertinggi ngutang? Wong Menkeu "Ratu Utang" dipuja-puja kreditor karena berikan bunga tertinggi di ASEAN," tulis Rizal, yang dikutip VOI, Senin, 30 November.

Terbaru, lewat jejaring Twitter miliknya, Rizal Ramli menyentil Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Ia menyoroti bunga utang yang kini makin mahal. Untuk sekadar membayar bunganya saja, Indonesia harus meminjam utang lagi ke lain negara.

"Mas @Jokowi, mau dibawa ke mana RI? Surat utang bunganya semakin mahal. Untuk bayar bunga utang saja, harus ngutang lagi. Makin parah," jelas Rizal Ramli.

Bukan tanpa sebab, Rizal Ramli berkata demikian. Pasalnya menurut dia, pemerintah saat ini punya strategi meminjam utang dari satu negara ke negara lainnya.

"Makanya mulai ganti strategi jadi 'pengemis utang bilateral', dari satu negara ke negara lain. Itu pun dapatnya recehan. Itu yang bikin shock," tutur Rizal.

Data Utang Terbaru

Posisi utang pemerintah tercatat berada di angka Rp5.877,71 triliun per Oktober 2020. Angka ini setara 37,84 persen terhadap PDB (debt to GDP ratio) Indonesia atau di bawah batas maksimum Undang-Undang Keuangan Negara di kisaran 60 persen PDB. Adapun posisi utang September 2020 adalah Rp5.756,87 triliun. Rasio utang terhadap PDB mencapai 36,4 persen dari PDB.

Porsi terbesar utang pemerintah didominasi 85,56 persennya oleh Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp5.028,86 triliun. Dari jumlah ini penerbitan SBN masih didominasi yang domestik senilai Rp3.782,69 triliun dengan pembagian Rp3.101,86 triliun Surat Utang Negara (SUN) dan Rp680,63 triliun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

Sisanya sekitar Rp1.246,16 triliun berasal dari penerbitan SBN berdenominasi valas. Rinciannya Rp986,15 triliun diterbitkan dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) valas dan Rp260,01 triliun SBSN valas.

Sekitar 14,44 persen porsi utang negara berasal dari pinjaman senilai Rp848,85 triliun. Mayoritasnya disumbang oleh pinjaman luar negeri yang terdiri dari Rp315,25 triliun bilateral, Rpp837,77 triliun multilateral, dan Rp43,43 triliun dari bank komersil. Di luar pinjaman luar negeri, hanya ada Rp11,08 triliun yang merupakan pinjaman dalam negeri.

Sri Mulyani berujar, informasi ini penting diketahui masyarakat sebagai bentuk transparansi pemerintah. Meski utang Indonesia memang memiliki tren naik tetapi ia memastikan pemerintah punya rencana untuk tiap rupiahnya.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani. (Foto: Instagram @smindrawati)

Per Oktober 2020 ini misalnya utang pemerintah menarik utang Rp958,6 triliun untuk membiayai defisit senilai Rp764,9 triliun atau 4,67 persen dari PDB. Hingga akhir 2020, realisasi penarikan utang untuk APBN 2020 akan mencapai Rp1.220,5 triliun dan defisit Rp1.039,2 triliun setara 6,34 persen PDB.

Sri Mulyani berujar, angka itu bisa dimengerti karena sudah diatur dalam Perpres Nomor 72/2020 sekaligus untuk membiayai penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang membutuhkan biaya Rp695,2 triliun.

Sri Mulyani Tanggapi Komentar Rizal Ramli

Sri Mulyani mengaku heran lantaran dirinya selalu dicap sebagai ratu utang. Padahal, utang yang diterbitkan sebagai konsekuensi atas APBN yang masih defisit.

Rumusan APBN yang masih defisit pun dari tahun ke tahun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Defisitnya APBN terjadi karena penerimaan yang lebih rendah dibandingkan belanja negara.

Sri Mulyani mengatakan, perihal utang sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 72/2020 tentang Perubahan atas Perpres No 54/2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020.

Ilustrasi uang. (Irfan Meidianto/VOI)

Sri Mulyani mengatakan, dalam Perpres Nomor 72 terkait anggaran APBN 2020 memiliki estimasi defisit dengan pembiayaan dari SBN (surat berharga negara), pinjaman, bilateral, dan multilateral.

"Ada orang-orang hari ini yang suka bicara masalah utang, sampaikan saja bahwa di Perpres 72/2020 itu waktu anggaran APBN 2020 dengan estimasi defisit sekian itu pembiayaannya adalah dari SBN, dari pinjaman, ada yang bilateral, ada multilateral," jelas Menkeu Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KITA yang disiarkan secara virtual, Senin 23 November.

Untuk itu, Sri Mulyani meminta agar tidak ada pihak-pihak yang menanggapi miring seolah-olah pemerintah belum mempunyai rencana untuk menjalankan Perpres 72/2020.

Rizal Ramli Sepakat dengan Sri Mulyani

Belakangan ini, Rizal sering melontarkan kritik kepada Sri Mulyani. Namun dalam sebuah cuitannya di media sosial Twitter, Rizal Ramli akhirnya sepakat dengan pendapat mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu perihal pertumbuhan ekonomi.

Dalam seminar bertema "Indonesia Emas 2045: Lulus dari Middle Income Trap", Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa RI bisa saja mendapatkan status negara maju, jika ekonominya tumbuh 8 persen year on year (yoy) secara berkelanjutan. Dengan demikian, menurutnya, Indonesia bisa keluar dari middle income trap.

"Kali ini SMI benar, butuh pertumbuhan 8 persen per tahun sampai 2045, agar RI jadi negara maju," ujar Rizal Ramli dalam cuitannya di Twitter, dikutip VOI, Sabtu 28 November.

Meski setuju, lagi-lagi cuitan Rizal Ramli berujung pada nyinyiran. Ia menyebut, kinerja pertumbuhan yang selalu di bawah 6 persen menunjukan ada pengelolaan yang salah dari pemerintah.

"Tapi kinerja selama ini selalu di bawah 6 persen karena rumusnya hanya ngutang dan naikkan harga. Strategi yang gagal!," tulis Rizal Ramli.