Hakim Agung Sudrajad Dimyati Dicokok KPK: Korupsi Sudah Merasuki Mahkamah Agung yang Wakil Tuhan, Lantas Rakyat Harus Percaya Siapa?
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA). Kabar ini membuat Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2014-2019, Saut Situmorang semakin prihatin.
Sebab, sudah seringkali terjadi di Indonesia. Hakim dan perangkat pengadilan sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum justru terseret kasus hukum.
“Inilah yang memprihatinkan. Kita selalu bilang sepakat korupsi itu extra ordinary crime, tapi perilaku kita masih ordinary. Kalau ekstra ordinary crime, kita harus extra ordinary effort, extra ordinary person, extra ordinary time, extra ordinary ketat, dan extra ordinary lainnya,” kata Saut kepada VOI, Jumat (23/9).
Pada periode 2012-2017 saja, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 25 perangkat pengadilan, termasuk hakim yang tersandung kasus korupsi. Lalu, pada 2019, ICW kembali menspesifikasi lagi catatannya bahwa ada 20 hakim tersangkut korupsi selama periode 2012-2019.
Tahun ini pun, VOI mencatat sudah dua kali terjadi kasus suap perkara yang melibatkan hakim. Pertama, terhadap hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Itong Isnaeni Hidayat pada Januari 2022 dan Hakim Agung Sudrajad Dimyati pada 23 September 2022.
“Artinya, tidak ada perubahan yang signifikan tentang penegakan hukum di Indonesia. Apalagi, ini Mahkamah Agung yang istilahnya ‘Wakil Tuhan’ karena ujung cerita putusan hukum, ya di MA. Memang itu baru sebatas dugaan,” kata Saut kepada VOI, Jumat (23/9).
Setiap praktik suap, menurut Saut, pasti didahului dengan komunikasi antara pihak penerima dan pemberi suap. Terjadi diplomasi, berlanjut ke pertemuan, pembicaraan, dan akhirnya negosiasi.
“Orang bisa bertemu kapan saja, di mana saja, membahas apa pun, transaksi itu dilakukan dengan kucing-kucingan. Kalau mereka lebih pintar, KPK nya sedikit lebih lengah, transaksi terus terjadi,” tuturnya.
Pernah Diisukan Menyuap DPR
Itulah mengapa, Saut lebih menyoroti kinerja komisi etik. Setiap lembaga, baik pengadilan dan MA, serta lembaga penegak hukum lainnya tentu memiliki aturan etika masing-masing terkait dengan bagaimana komunikasi dilakukan.
Komisi etik inilah yang menjunjung tinggi sumpah jabatan, pakta integritas, dan mengevaluasi program pembinaan serta pencegahan yang sudah dilakukan.
“Semua berawal dari komunikasi. Bila aturan etiknya ditegakkan, terjadinya korupsi suap mungkin bisa diminimalisasi. Bila tidak, maka akhirnya excuse saja, memaafkan, memaklumi, sampai kemudian terjadi lagi transaksi,” kata Saut.
Semisal di KPK, pertemuan antara petugas dengan terduga kasus korupsi tidak boleh dilakukan seorang diri. Minimal bertiga dan atau saling cross check. Sehingga, bila terjadi penyimpangan, lebih mudah menelusuri. Hukumannya juga tegas.
Selain itu, Wakil Ketua KPK 2014-2019, Laode Muhammad Syarif pun menilai pemilihan hakim harus lebih selektif. Sepengetahuan Laode, Hakim Agung Sudrajad Dimyati sempat tersangkut kasus suap di toilet.
“Coba cek di Tempo. Saya pernah baca itu,” kata Laode kepada VOI, Jumat (23/9).
Hakim Agung Sudrajad Dimyati memang sempat diterpa isu suap untuk menjadi hakim agung pada 2013. Terjadi, ketika dia menjalani fit and proper test calon hakim agung di Komisi III DPR. Ketika itu, Sudrajad masih sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Pontianak.
Suap diduga diberikan oleh Sudrajad kepada anggota Komisi III Bahruddin Nashori di toilet. Akibat dari isu itu, Sudrajat gagal menjadi hakim agung pada 2013. Barulah pada 18 September 2014, dia terpilih menjadi Hakim Agung Kamar Perdata MA. Wakil Ketua Komisi Hukum DPR saat itu, Al Muzammil Yusuf, mengatakan tudingan penyuapan di toilet tak terbukti.
Gaji Lebih Tinggi
Menurut Laode, seorang hakim haruslah memiliki integritas.
“Setelah Pak Artijo berpulang tiba-tiba banyak sekali peninjauan kembali (PK) yang mengurangi putusan. Bahkan, PK ini seringkali dijadikan ajang pengurangan hukuman, seharusnya tidak boleh terjadi agar kita perlihatkan kepada masyarakat bahwa korupsi itu masih tetap dianggap sebagai kejahatan yang serius,” Laode mengungkapkan.
Masih adanya kasus suap tersebut menandakan tuntutan era reformasi yang satu di antaranya ingin menghilangkan korupsi di sektor penegakan hukum ternyata memang belum selesai hingga saat ini. Padahal, segala upaya sudah dilakukan, terlebih untuk lembaga pengadilan.
Usulan remunerasi gaji untuk hakim baik di tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga Mahkamah Agung, menurut Laode, sudah dipenuhi, bahkan lebih tinggi dengan aparat penegak hukum lainnya. Mungkin setara dengan Kementerian Keuangan. Belum lagi, tunjangan-tunjangan lainnya.
Sehingga, seharusnya tidak ada alasan lagi seorang hakim melakukan suap. Ini yang harus menjadi titik balik, pengingat diri agar tidak terjadi lagi kasus serupa pada masa yang akan datang.
“Yang pasti, saya apresiasi KPK yang sudah berhasil mengungkap kasus suap di Mahkamah Agung. mulai dari pengacara, pegawai di Mahkamah Agung, hingga Hakim Agung. Dari zaman kami pun sudah banyak kami mendengar tetapi baru kali ini KPK bisa menangkap,” ucapnya.
Integritas Dimyati Diobral Murah
Dugaan suap bermula saat gugatan perdata dan pidana terkait aktivitas koperasi Intidana bergulir di Pengadilan Negeri Semarang dan berlanjut ke Pengadilan Tinggi. Pengacara Intidana, Yosep Parera dan Eko Suparno tak puas dengan putusan tersebut dan melanjutkan upaya hukum ke tingkat kasasi.
Bertemulah mereka dengan Desi Yustria. Yosep dan Eko memberikan sejumlah uang ke Desi agar bisa mengondisikan putusan sesuai keinginan mereka.
“Harapannya, Majelis Hakim MA mengabulkan putusan kasasi yang menyatakan koperasi simpan pinjam Intidana pailit,” kata Ketua KPK, Firli Bahuri saat konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jumat (23/9).
Dugaan sementara, uang yang diberikan Yosep dan Eko kepada Desi sebesar 202.000 dolar Singapura atau sekitar Rp 2,2 miliar.
Desi kemudian membagi-bagikan uang itu ke sejumlah pihak yang terlibat. Desi mendapat Rp250 juta, Hakim Yustisial/Panitera Pengganti Mahkamah Agung Elly Tri Pangestu Rp100 juta, dan PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung Muhajir Habibie Rp850 juta.
“KPK menduga ketiganya menjadi perantara untuk menyerahkan suap ke hakim agung. SD (Sudrajat Dimyati) menerima sekitar sejumlah Rp800 juta yang penerimaannya melalui ETP (Elly Tri Pangestu),” tutur Firli.
Dengan begitu, Sudrajad Dimyati merupakan hakim agung pertama yang menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak lembaga antirasuah itu berdiri sejak 2002.
KPK telah mengamankan barang bukti berupa uang tunai sebesar 205 ribu dolar Singapura dan Rp50 juta dari hasil OTT di Jakarta dan Semarang pada 19-21 September 2022. KPK juga sudah menetapkan 10 orang tersangka berdasar hasil keterangan saksi pengembangan OTT dan bukti-bukti yang ada, yakni:
Sebagai Penerima:
- Sudrajad Dimyati, Hakim Agung pada Mahkamah Agung
- Elly Tri Pangestu, Hakim Yustisial/Panitera Pengganti Mahkamah Agung
- Desy Yustria, PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung
- Muhajir Habibie, PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung
- Redi, PNS Mahkamah Agung
- Albasri, PNS Mahkamah Agung
Sebagai Pemberi:
- Yosep Parera, Pengacara
- Eko Suparno, Pengacara
- Heryanto Tanaka, Swasta/Debitur Koperasi Simpan Pinjam ID (Intidana)
- Ivan Dwi Kusuma Sujanto, Swasta/Debitur Koperasi Simpan Pinjam ID (Intidana)
"Saya dan Mas Eko sebagai lawyer mengakui secara jujur menyerahkan uang di Mahkamah Agung, tapi kami tidak tahu dia (yang menerima uang) panitera atau bukan. Kami akan buka semua. Kami siap menerima hukumannya karena itu ketaatan kami," kata Yosep Parera.
Baca juga:
- Uang Lukas Enembe Lebih Berguna Jika Dibagi ke Rakyat Papua, Ketimbang Dicuci di Arena Judi Singapura
- Menerka Langkah Politik PDIP: Ganjar Pranowo dan Puan Maharani, Sebaiknya Berkompetisi atau Berkolaborasi?
- Percayakah Bahwa UU PDP Mampu 100 Persen Menjamin Keamanan Data Pribadi Anda?
- RUU Perlindungan Data Pribadi Disahkan DPR RI: Sanksi Berat Harus Benar-Benar Diterapkan, Tak Hanya di Atas Kertas