Kritik SE Mendagri Soal Pj Kepala Daerah Bisa Pecat Pegawai, NasDem: Manifestasi dari Praktik Otoritarianisme
JAKARTA - Partai NasDem mengkritik Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bernomor 821/5492/SJ yang memberikan persetujuan terbatas kepada Penjabat (Pj), pelaksana tugas (Plt), dan penjabat sementara (Pjs) dalam mengelola kepegawaian daerah.
SE tersebut untuk memberi kewenangan lebih bagi Penjabat (Pj) kepala daerah yang bisa memecat dan mutasi pegawai tanpa seizin Kemendagri. NasDem menilai, terbitnya SE itu merupakan kemunduran demokrasi dalam pemerintahan.
"Terbitnya SE Mendagri Nomor 821/5492/SJ adalah praktik yang membawa kemunduran bagi proses demokrasi dan prinsip good government dalam kehidupan bernegara kita," ujar Ketua DPP NasDem Willy Aditya, kepada wartawan, Rabu, 21 September.
Willy menilai, SE baru Mendagri justru menjadi awal praktik kebijakan otoriter dari seorang pejabat pemerintahan.
"Terbitnya SE tersebut juga menjadi manifestasi dari praktik otoritarianisme dari seorang pejabat pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang telah berlaku," tegas Willy.
Menurut Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR itu, SE Mendagri ini telah menyimpang dari aturan yang bersifat tegas dan memaksa yang diatur dalam Pasal 71 ayat (2) dan Pasal 162 ayat (3) UU No 10 Tahun 2016 terkait dengan larangan Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Bahkan, kata Willy, larangan tersebut juga diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, karena Plt, PJ, dan Pjs mendapatkan kewenangan dari mandat, bukan delegasi atau bahkan atribusi.
Hal tersebut, menurut Willy, menjadikannya tidak berwenang mengambil keputusan atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
Willy juga menyebut SE Mendagri ini berbahaya karena telah bertentangan dengan UU ASN dan secara khusus UU Pilkada. Terlebih jika Plt, Pj, dan Pjs mengundurkan diri pada saat pendaftaran pilkada (syarat UU Pilkada) dan mendaftar sebagai paslon (3 bulan sebelum pencoblosan), yang berarti menabrak ketentuan 6 bulan sebelum pencoblosan.
"Apalagi dalam SE juga dinyatakan tidak diperlukan permohonan persetujuan, sehingga tidak tepatlah aturan ini. Padahal, persetujuan Mendagri terkait dengan Pasal 71 ayat (2) dan Pasal 162 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016, justru harus didasarkan pada permohonan dari pejabat Gubernur, Bupati dan/atau walikota sebagai pembina kepegawaian di pemerintahan daerah," jelas Willy.
Karena itu, Willy meminta Mendagri Tito untuk mencabut SE itu agar tak bertentangan dengan aturan yang sudah ada. "Meminta kepada Saudara Mendagri Tito Karnavian mencabut/merevisi SE tersebut agar tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan menimbulkan polemik dalam perikehidupan pemerintahan daerah," ucap Willy.
Sebagai seorang menteri, sambung Willy, seharusnya Tito tak membuat aturan yang menimbulkan polemik dan bisa menjerumuskan Presiden Jokowi.
"Sebagai pembantu presiden, hendaklah Mendagri tidak mengambil kebijakan yang dapat menjerumuskan Presiden lewat ketentuan yang dapat menimbulkan polemik dalam kehidupan bernegara kita," pungkas Willy.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memperbolehkan Penjabat (Pj) kepala daerah, baik gubernur, bupati, dan wali kota untuk membuat keputusan pada aspek kepegawaian ASN di daerah yang dipimpin selama menjabat.
Di antaranya adalah mutasi pegawai seperti pengangkatan, pemindahan atau rotasi, menonaktifkan, hingga memberi hukuman disiplin yakni pemecatan dengan tidak hormat.
Hal ini tertuang dalam Surat Edaran Mendagri Nomor 821/5492/SJ mengenai Persetujuan Menteri Dalam Negeri kepada Pelaksanan Tugas/Penjabat/Penjabat Sementara Kepala Daerah dalam Aspek Kepegawaian Perangkat Daerah.
Pada Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-30/V.100-2/99, Pj kepala daerah dilarang untuk membuat kebijakan pada aspek kepegawaian kecuali setelah mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri.
Dengan adanya SE terbaru, Pj kepala daerah tidak perlu lagi mengajukan permohonan persetujuan tertulis itu.
"Pelaksana tugas (Plt), penjabat (Pj), dan penjabat sementara (Pjs) gubernur/bupati/wali kota agar melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri paling lambat 7 hari kerja terhitung sejak dilakukannya tindakan kepegawaian," tulis Tito dalam SE, dikutip pada Jumat, 16 September.