Budaya Betawi Tempo Dulu: Celengan Duit dari Bambu untuk Naik Haji
JAKARTA - Peranan agama Islam begitu besar bagi kehidupan orang Betawi. Bahkan, sejak masa penjajahan Belanda. Saban hari orang Betawi lebih memilih sekolah agama dibanding sekolah formal. Karenanya, banyak anak Betawi lebih paham huruf Hijaiyah dibanding huruf Romawi.
Segala perintah agama didahulukan. Naik haji terutama. Kesungguhan itu terlihat dari cara mereka menabung. Bambu yang umumnya pagar dinding jadi medium menampung duit. Mereka tak takut rayap. Ada ajiannya. Apa itu?
Keteguhan orang Betawi dalam memeluk agama Islam tiada dunia. Laku hidup yang perintahan oleh agama dikerjakan. Sekalipun tak lantas meninggalkan kepercayaan nenek moyang. Lagi pula keluwesan orang Betawi beragama kerap mengganggu eksistensi penjajah Belanda.
Empunya kuasa tak mampu menyebarkan agama protestan di tanah Betawi. Sekeras apapun upayanya. Orang Betawi takkan meninggalkan pendiriannya. Sebab, Islam laksana jalan hidup. Bahkan, segala macam ilmu dan tradisi Islam telah diwarisi orang Betawi turun-menurun.
Agama Islam jadi wadah mereka belajar. Mereka menyelenggarakan pendidikan agama bagi anak-anak di rumah, langgar, hingga masjid. Keadaan pun tak banyak berubah ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda melanggengkan politik etis pada 1901. Kala itu sekolah-sekolah formal untuk kaum bumiputra mulai bertumbuh.
Namun, pendidikan agama tetap yang utama. Pagi hari sekolah formal. Sore hari belajar agama. Rutinitas itu membuat orang Betawi kebanyakan lebih paham huruf Hijaiyah dibanding huruf Romawi. Ulama kesohor Buya Hamka mengamani hal itu.
"Sungguh mengagumkan kita, menilik betapa teguhnya orang Betawi memeluk Islam. Selama 350 tahun antara penjajah (Belanda) dan anak negeri asli (Betawi) masih tetap sebagai ‘minyak dan air.’ Sekalipun bertemu dalam botol tidak pernah bersatu. Pukulan yang diderita warga Betawi dari Belanda sebagai rakyat terjajah sangatlah parahnya.”
“Rumah-rumah mereka terdiri dari dinding bambu anyaman atau atap rumbia. Tinggal di tempat-tempat becek. Namun, bila waktu telah masuk, fajar telah mulai menyingsing, kedengaranlah sayup-sayup sampai ke lorong-lorong kampung suara azan mendayu-mendayu. Hayya 'allal shalah hayya 'allal falah. Maka, dari lorong-lorong kampung Betawi yang becek itu keluarlah orang-orang kampung untuk shalat jamaah. Sesudah itu mereka membaca ratib: Lailla hailallah,” ungkap Buya Hamka sebagaimana dikutip Alwi Shahab dalam buku Robin Hood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2001).
Menabung di Bambu
Kedekatan orang Betawi dengan Islam tak melulu dianggap cukup dengan sekolah agama. Tiap orang Betawi muslim pasti memiliki keinginan dalam sanubarinya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima: naik haji.
Ibadah naik haji dianggap prestise bagi orang Betawi. Biayanya yang tak murah dan perjalanan jauh jadi musabab. Apalagi perjalanan haji zaman dulu memerlukan waktu yang lama. Kala Terusan Suez belum ada, perjalanan haji dapat memakan waktu setengah tahun.
Dinamika itu membuat mereka yang menjalankan ibadah haji merasa status sosial dan tingkat agamanya meningkat. Gairah itu memunculkan keinginan bagi sebagian orang di lingkungannya untuk melakukan hal yang sama.
Perkara uang yang dikeluarkan tak sedikit kerap jadi masalah. namun, bukan berarti tak dapat disiasati. Budayawan Betawi, Masykur Isnan menyebut bukan orang Betawi namanya kalau tidak bisa mencari jalan keluar. Aktivitas menabung dianggap solusi.
Alih-alih menambung ke bank, masyarakat Betawi yang umumnya pada zaman Belanda banyak hidup di desa justru mengandalkan cara yang unik untuk menabung. Umumnya, mereka menabung sedikit demi sedikit rezekinya di dalam bambu yang menjadi dinding rumahnya.
Upaya itu dianggap lebih aman, daripada mempercayakan uang ke bank yang notabene diatur penjajah. Keuletan dan kerja keras orang Betawi menambung membuat pelaksanaan rukun Islam kelima menjadi selangkah lebih nyata. Bila perlu menjual tanah.
Orang Betawi memahami menambung di bambu mengundang risiko uang dimakan rayap. Orang Betawi pun telah menyiapkan ajian proteksinya. Masykur Isnan mengungkap mereka punya ajian melawan rayap - salah satunya - dengan melumuri bagian luar bambu dengan minyak goreng. Ajian itu terbukti berhasil. Buktinya banyak calon jama’ah haji yang berangkat dari tanah Betawi tiap tahunnya.
“Tradisi menabung atau nyelengin dulunya dilakukan dengan media bambu. Yang mana, bambu sebenarnya difungsikan sebagai bagian kontruksi bangunan rumah Betawi. Tujuannya supaya duit yang disimpan tetap aman. Umumnya dilakukan dengan memastikan bambu kondisinya baik dan tidak lembab. Selanjutnya, bambu yang dipilih adalah yang posisinya agak tinggi.”
“Selain itu ada beberapa informasi untuk mencegah rayap yang berkembang di orang Betawi, ada bambu yang dilumasi bagian luarnya dengan minyak goreng atau kelapa supaya si rayap ogah masuk. Ada juga yang memasukan duit di dalam plastik terlebih dahulu baru kemudian dimasukan ke dalam bambu,” tutup Masykur Isnan saat dihubungi VOI, 16 September 2022.
Baca juga:
- Presiden B.J. Habibie Hentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Sejarah Hari Ini, 16 September 1998
- Kepatuhan Militer: Senjata Presiden Soeharto Bertahan Hingga 32 Tahun
- Bung Karno Mengamati Dunia Islam dari Pengasingan Ende dalam Sejarah Hari Ini, 15 September 1935
- Kiprah Jenderal Hoegeng Imam Santoso Saat Menjabat Kepala Djawatan Imigrasi