Fenomena Social Commerce, yang akan Gerus Toko Online

JAKARTA - Masyarakat tengah dihadapi dilema, bagaimana tidak jika media sosial yang biasa mereka gunakan untuk bersosialisasi di dunia maya, kini beralih fungsi menjadi tempat berbelanja.

Dijuluki Social Commerce, di mana fenomena itu kini semakin menjamur. Social Commerce merupakan bagian dari e-commerce, itu melibatkan penggunaan media sosial yang mendukung interaksi sosial dan kontribusi pengguna dalam membantu proses pembelian barang atau jasa secara online.

Misalnya saja ketika mempromosiksn sebuah produk di media sosial, menyukai unggahan produk, dan menanyakan sekilas menyoal produk tersebut. Secara tidak sadar, pengguna sudah melakukan Social Commerce, di mana ia membantu aktivitas berbelanja.

Menurut analisis yang dilakukan Sprout Social, sebanyak 74 persen konsumen kerap bergantung pada media sosial untuk mengambil keputusan dalam membeli sebuah barang. Kemungkinan ini dipicu dari beberapa konsumen yang kerap me-review atau sekadar mempromosikan barang tersebut di akun media sosialnya.

Dengan social commerce, pengguna tidak hanya merasakan pengalaman bersosialisasi di dunia maya, tetapi mereka dapat sekaligus mencari produk yang diinginkan, mencari toko terbaik, memilih lalu membeli produk, hingga melakukan transaksi langsung lewat aplikasi media sosial.

Tentu pengalamannya akan berbeda saat mereka menggunakan aplikasi e-commerce yang memang hanya difokuskan pada layanan jual-beli. Sehingga interaksi pun hanya terjadi antara penjual dan pembeli.

Akibat dari hal ini, membuat platform melebarkan sayapnya untuk menjadikan media sosialnya sebagai tempat berbelanja. Saat ini, diketahui beberapa media sosial seperti Facebook, Instagram dan aplikasi olah pesan WhatsApp sudah memiliki fitur berbelanja.

Apa Perbedaannya dengan Social Selling?

Melansir Hoot Suite, Social Selling merupakan cara untuk memprospek calon konsumen yang memiliki potensial, membangun kepercayaan dengan cara yang lebih humanis, hingga memasarkan produk atau jasa kepada mereka lewat media sosial.

Biasanya dalam hal ini pemilik produk akan menggunakan strategi influencer marketing atau selebgram. Dengan sekian puluh juta masyarakat Indonesia yang menggunakan Instagram setiap harinya, aplikasi milik Facebook tersebut merupakan salah satu platform media sosial terbaik untuk brand bisa berkolaborasi dengan para selebgram.

Menurut penuturan situs Internet Marketing, iklan yang dilakukan melalui para selebgram ini lumayan meruntuhkan wajah iklan tradisional. Customer langsung dikenalkan pada brand penjual melalui sumber yang lebih bisa dipercaya, dengan kata lain langsung melalui akun Instagram tokoh idola.

Bentuk kerja samanya pun berbagai macam, mulai dari postingan Instagram model sponsor (endorse), postingan blog yang dipromosikan melalui media sosial, atau untuk jangka panjang sang selebgram bisa dikontrak sebagai brand ambassador.

Akankah Menggerus Layanan E-commerce?

Dalam hal ini, kami tentu tidak menentukan pendapat sendirian, menurut pakar ekonomi digital, Heru Sutardi mengatakan Social Commerce tidak akan dengan mudah menggerus pasar platfom e-commerce itu sendiri.

Sebab, dibutuhkan kepercayaan dari masyarakat dalam menggunakan fitur berbelanja di media sosial. Misalnya saja Facebook, Heru berpendapat bahwa layanan yang berada di platform tersebut masih belum memiliki kejelasan.

"Masyarakat masih belum percaya akan layanan dagang elektronik di Facebook karena memang banyak terjadi penipuan, selain itu tampilannya juga kurang menarik termasuk cara penulisan harga," ungkap Heru kepada VOI, Kamis 26 November.

Sehingga, Heru menambahkan jika sampai sekarang aktivitas berbelanja di marketplace atau situs online dari penyedia produk masih dipercaya melalui media sosial itu sendiri.

"Karena marketplace sekarang lebih terintegrasi dengan pembayaran, produk lebih banyak dan beragam, serta ada rekening yang membuat sistem pembayaran aman, baik bagi penjual maupun pembeli," ujar Heru.

Di sisi lain, Heru mengakui e-commerce merupakan layanan yang diprediksi akan tumbuh signifikan, apalagi didorong dengan pandemi yang membuat banyak orang juga berbelanja dan berjualan secara online.

"Tentu kondisi tersebut membuat aplikasi juga ramai-ramai menawarkan fasilitas berdagang dan berbelanja secara elektronik. Selain melengkapi aplikasi menjadi super apps, juga mencoba memasuki pasar yang berkembang dan akan tumbuh terus sehingga ada ruang untuk mendapat pendapatan baru," jelas Heru.

Sementara, ia mengungkapkan jika Indonesia diprediksi akan mencapai angka 130 miliar dolar AS hingga 150 miliar dolar AS pada perputaran e-commerce hingga 2025. Namun, tidak semua juga sukses.

Seperti yang ia jelaskan di atas, bahwa lagi-lagi media sosial membutuhkan kepercayaan masyarakat dari berbagai aspek. Termasuk, metode pembayaran yang mereka sematkan.

"Kalau tidak ada perbaikan tidak akan menggerus karena trust (kepercayaan) pengguna rendah. Kalau ada perbaikan mungkin bisa tapi butuh waktu juga untuk mengumpulkan penjual seperti marketplace yang ada sekarang," tutur Heru.

Media Sosial yang Miliki Fitur Berbelanja

Tingginya potensi pasar belanja online, membuat banyak platform media sosial berlomba-lomba melengkapi apps mereka dengan fitur belanja online. Media sosial mana saja yang memiliki fitur ini? Berikut daftar lengkapnya.

- Facebook

Raksasa media sosial ini pertama kali menyematkan fitur berbelanja di platform-nya yakni Facebook Marketplace. Facebook berdalih bahwa fitur ini merupakan tempat jual dan beli yang dikhususkan untuk para pengguna Facebook, karena marketplace ini ditempatkan didalam aplikasi itu sendiri.

Tujuannya tentu saja agar para penggunanya dapat dengan mudah mencari dan menemukan barang-barang menarik yang dijual di dalam Facebook. Di sini Pengguna dapat langsung berkunjung ke marketplace secara langsung di dalam Facebook tanpa harus melakukan download aplikasi lain atau membuat akun lain.

Namun sayang, ternyata fitur ini belum efektif. Masih banyak pengguna yang kebingungan dari segi harga. Dengan cara menjual dengan harga yang tidak sebenarnya, pengguna yang ingin membeli harus bertanya dengan detail apabila tertarik dengan produk yang dijual. Di Indonesia sendiri, sudah cukup banyak yang memanfaatkannya untuk berdagang.

>

- WhatsApp

Beberapa waktu lalu, WhatsApp resmi menghadirkan fitur katalog untuk mempermudah pengguna akun bisnis berjualan. Sebelumnya, fitur itu hanya sebatas etalase produk yang dijual bukan untuk bertransaksi.

Dengan seiringnya waktu, kini WhatsApp menghadirkan fitur belanja sebagai pelengkap dari katalog. Fitur belanja di WhatsApp memungkinkan pengguna akun Bisnis menjual barang, dan pengguna biasa membeli barang dari katalog tersebut.

Fitur itu memudahkan para pelaku bisnis yang mengandalkan WhatsApp sebagai platform untuk berjualan. Perusahaan menilai, pandemi global yang terjadi saat ini memperlihatkan bahwa suatu bisnis memerlukan cara yang cepat dan efisien untuk melayani pelanggan dan mendorong penjualan.

- Instagram

Belum lama ini Instagram juga meluncurkan fitur belanja lewat tab Shopping dalam platform-nya. Tab ini akan berfungsi sebagai basis untuk fitur e-commerce aplikasi yang memungkinkan merek dan bisnis menjual produk di profil mereka, yang dapat pula dibeli langsung dari aplikasi oleh pengguna.

Meskipun fitur-fitur ini telah ada sejak 2018, Instagram melonggarkan batasan pada fitur Shopping untuk memungkinkan pengguna mana pun mengambil keuntungan dengan akun bisnis atau kreator mereka.

Instagram Shopping (dok. Instagram)

Menambahkan fitur Shopping ke halaman beranda akan memungkinkan Instagram untuk lebih menekankan upayanya, untuk menarik bisnis ritel dan memanfaatkan industri influencer di platform tersebut.

- YouTube

Layanan video milik Google ini dikabarkan akan menyematkan fitur serupa yang dimiliki Facebook, Instagram dan WhatsApp. Tentu saja ini mengejutkan. Perusahaan beralasan, dengan penambahan fitur belanja YouTube ini karena banyaknya konten berisi review produk di aplikasi tersebut. 

Meski begitu, fitur ini belum reami diluncurkan karena barh saja memasuki tahap uji coba. Uji coba fitur belanja YouTube ini melibatkan sejumlah content creator. Peran para content creator sendiri adalah menyisipkan sebuah tanda (tag) agar produk yang ditampilkan ke dalam video dapat dibeli.

Tag produk yang dipasang di video akan ditautkan ke sistem analitik Google. Nantinya, calon pembeli akan diarahkan untuk membeli produk saat klik pop up atau iklan di video tersebut.

Google juga akan menampilkan produk-produk serupa yang ditemukan di analitiknya. Sedangkan, seller harus lebih dulu menyinkronkan Google Merchant Center mereka dengan iklan video untuk mulai menjual di fitur belanja YouTube. 

Proses transaksinya juga sangat mudah. Kabarnya, Google juga sedang mencoba mengintegrasikan fitur belanja YouTube dengan layanan yang ditawarkan oleh Shopify.