Pelaku Korupsi di Indonesia: Dihukum Ringan, Kemudian Bebas Bersyarat
JAKARTA - Sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi nyawa Roh Moo-hyun tak tertolong. Dia terjatuh dari atas bukit yang berlokasi hanya 200 meter dari rumahnya. Pihak rumah sakit menyatakan Roh mengalami luka berat di bagian kepala.
Beberapa bagian tubuhnya, termasuk iga dan panggul juga mengalami patah tulang. Dia dinyatakan meninggal pukul 08.30 waktu setempat pada 23 Mei 2009 di usia 62 tahun.
Roh Moo-hyun adalah Presiden Korea Selatan periode 2002-2008. Seperti pemberitaan media, Roh diduga bunuh diri karena malu akibat skandal korupsi yang menjerat dia, istrinya, dan beberapa anggota keluarganya. Mereka diduga terlibat suap dari pengusaha sepatu.
Aksi bunuh diri seolah sudah menjadi kultur di masyarakat Korea Selatan. untuk menghukum rasa malu atas kesalahan yang telah dilakukan.
Tidak hanya Roh Moo-hyun, ada sederet nama tenar di Korea Selatan yang tercatat melakukan bunuh diri akibat kesalahan besar yang telah dilakukannya. Daripada menanggung malu, lebih baik mati.
Sebut saja Perdana Menteri Kim Young-chul dan Walikota Busan Ahn Sang-young yang bunuh diri di dalam penjara. Juga Gubernur Provinsi Jeolla.
Berbeda dengan Indonesia, bangsa ini, menurut Direktur PolEtik Strategic, M Subhan, sudah tidak memiliki rasa malu atau rasa bersalah. Lihat selama 20 tahun reformasi, para koruptor terus bergentayangan dari pusat kekuasaan hingga raja-raja kecil di daerah.
“Maraknya kasus korupsi membuat seakan tak berbekas lagi tanda-tanda Indonesia sebagai bangsa berbudaya yang mempunyai watak luhur,” kata Subhan kepada VOI beberapa waktu lalu.
Bagaimana tidak, sistem penindakan korupsi masih sangat lemah. Tidak seperti di China pada era Xi Jinping berkuasa yang siap menghukum mati para koruptor. Di Indonesia, proses persidangan perkara korupsi belum banyak memberikan efek jera maksimal kepada pelaku.
Rata-rata hukuman pelaku pada 2021, berdasar data ICW, hanya 3 tahun 5 bulan penjara. Belum lagi dengan sejumlah putusan remisi atau putusan bebas bersyarat, yang artinya narapidana bebas setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya, dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.
Padahal, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri saja sependapat. Pada momen kemerdekaan RI ke-77, dia menyatakan, “Korupsi adalah kejahatan melawan kemanusiaan, bukan sekadar merugikan keuangan negara, tetapi juga merampas hak-hak rakyat. Banyak negara gagal mewujudkan tujuannya karena kejahatan korupsi.”
Bebas Bersyarat
Pembuktiannya jelas terlihat. Pada periode Agustus 2022 hingga 6 September 2022 sudah ada 23 narapidana koruptor bebas bersyarat. Sebanyak 4 narapidana di antaranya merupakan warga binaan Lapas Kelas II Tangerang, 19 narapidana lainnya warga binaan Lapas Kelas I Sukamiskin.
Dari 23 nama tersebut, ada nama Pinangki Sirna Malasari, jaksa yang didakwa menerima suap dari Djoko Tjandra agar bisa lolos dari hukuman penjara. Dia divonis 10 tahun penjara dalam sidang putusan, tetapi pengadilan tinggi justru memberi hukuman lebih ringan, hanya 4 tahun penjara dan denda Rp600 juta.
Hakim menilai Pinangki sudah mengakui dan menyesali perbuatannya. Di sisi lain, Pinangki juga memiliki anak yang masih berusia empat tahun sehingga diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya.
“Kejaksaan mengeksekusi Pinangki ke lapas pada Senin, 2 Agustus 2021. Pada perayaan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 2022, Pinangki mendapatkan remisi atau potongan masa hukuman selama 3 bulan sebelum akhirnya bebas bersyarat pada 6 September 2022,” tulis Tempo.co.
Lalu, Ratu Atut Chosiyah yang terbukti menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait penanganan sengketa Pilkada Lebak, Banten. Dia divonis hukuman 7 tahun penjara pada 2015 dan vonis tambahan 5 tahun 6 bulan penjara karena terbukti korupsi pengadaan alat kesehatan di rumah sakit rujukan Pemerintah Banten.
Ratu Atut diketahui mulai dipenjara pada Desember 2013 dan bebas bersyarat pada 9 September 2022.
Kemudian, Zumi Zola yang didakwa menyuap anggota DPRD. Zumi divonis 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Zumi dieksekusi pada 14 Desember 2018 dan bebas bersyarat pada 6 September 2022.
Serta nama-nama lain seperti, Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali yang belum genap 10 tahun menjalani hukuman, tetapi sudah mendapatkan bebas bersyarat. Berarti, hanya selama enam tahun Suryadharma Ali menjalani hukuman penjara, dan Patrialis Akbar yang divonis 8 tahun penjara oleh Majelis Hakim Tipikor Jakarta Pusat pada 4 September 2017 hingga akhirnya bebas bersyarat pada 6 September 2022.
Berikut daftar 23 napi koruptor yang mendapat bebas bersyarat:
1. Ratu Atut Choisiyah Binti Alm, Tubagus Hasan Shochib
2. Desi Aryani Bin Abdul Halim
3. Pinangki Sirna Malasari
4. Mirawati Binti H. Johan Basri
5. Syahrul Raja Sampurnajaya Bin H. Ahmad Muchlisin
6. Setyabudi Tejocahyono
7. Sugiharto Bin Isran Tirto Atmojo
8. Andri Tristianto Sutrisna Bin Endang Sutrisna
9. Budi Susanto Bin Lo Tio Song
10. Danis Hatmaji Bin Budianto
11. Patrialis Akbar Bin Ali Akbar
12. Edy Nasution Bin Abdul Rasyid Nasution
13. Irvan Rivano Muchtar Bin Cecep Muchtar Soleh
14. Ojang Sohandi Bin Ukna Sopandi
15. Tubagus Cepy Septhiady Bin. TB E Yasep Akbar
16. Zumi Zola Zulkifli
17. Andi Taufan Tiro Bin Andi Badarudin
18. Arif Budiraharja Bin Suwarja Herdiana
19. Supendi Bin Rasdin
20. Suryadharma Ali Bin. HM Ali Said
21. Tubagus Chaeri Wardana Chasan Bin Chasan
22. Anang Sugiana Sudihardjo
23. Amir Mirza Hutagalung Bin. HBM Parulian.
“Selama Januari-September 2022, kami telah menerbitkan 58.054 surat keputusan pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas untuk semua warga binaan yang ada di seluruh lapas di Indonesia,” kata Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Rika Aprianti dalam keterangan tertulis, Rabu (6/9).
Baca juga:
- Mengenal UU TPKS, Aturan Baru untuk Korban Kekerasan Seksual
- Ketika Rumor Ketidakharmonisan Panglima TNI dan KSAD Dipertanyakan DPR RI
- Menguak Alasan Rekomendasi Komnas Perempuan yang Ingin Kasus Pelecehan Seksual Putri Candrawathi Dilanjutkan
- Kenaikan Harga BBM: Fluktuasi Sudah Terjadi Sejak Zaman Presiden Soekarno, Lantas Mengapa Harus Diributkan?