Mengenal UU TPKS, Aturan Baru untuk Korban Kekerasan Seksual
Sejumlah aktivis perempuan berdemonstrasi menyerukan stop kekerasan seksual terhadap perempuan di Lhokseumawe, Aceh pada Kamis 9 Desember 2021. (Antara/Rahmad)

Bagikan:

JAKARTA - Embrio Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebenarnya sudah muncul sejak 2010, tetapi naskah akademik dan draf rancangan undang-undangnya baru disusun pada 2014. Awalnya dikenal dengan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS).

Adalah Komnas Perempuan yang kali pertama menyuarakan agar rancangan aturan tersebut bisa menjadi Undang-Undang. Tujuannya mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menindak dan memidanakan pelaku; menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual; serta, menangani, melindungi, dan memulihkan korban.

Sebab, berdasar data Catahu Komnas Perempuan, jumlah kekerasan terhadap perempuan pada periode 2007-2014 terus meningkat drastis. Dari 25.522 kasus pada 2007 melonjak hingga 293.220 kasus pada 2014. Bahkan hingga 2017, jumlahnya semakin melonjak mencapai 348.446 kasus.

Sebanyak 71 persen kasus terjadi di ranah privat (rumah tangga dan pacaran). Dalam bentuk kekerasan fisik 41 persen, kekerasan seksual 31 persen, kekerasan psikis 15 persen, dan kekerasan ekonomi 13 persen.

Lalu, 26 persen di ranah komunitas, dan 1,8 persen di ranah negara yang meliputi lingkungan pendidikan, masyarakat, dan lingkungan kerja. Mayoritas atau sekitar 76 persen dalam bentuk kekerasan seksual, 13 persen kekerasan fisik, 6 persen kekerasan psikis, dan 5 persen eksploitasi, trafficking.

Ketua DPR Puan Maharani (kanan) disaksikan Wakil Ketua DPR Rahmad Gobel (kiri) dan Lodewijk F Paulus kedua kanan) menerima laporan pengesahan RUU TPKS dari Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya (kedua kiri) saat Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/4/2022). (Antara/GALIH PRADIPTA)

Selain itu, sistem hukum di Indonesia belum mengakomodasi ragam situasi kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Tengok kasus Agni, mahasiswa UGM yang mengalami pelecehan seksual oleh rekannya ketika menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang terjadi sekitar tahun 2018. Ternyata hanya berujung damai.

Padahal Agni, menurut Ketua Komite Etik UGM, Sri Wiyanti Eddyono menyatakan pelecehan itu benar terjadi. “Saya ketakutan dan merasa tahu apa yang terjadi selanjutnya, tetapi badan saya kaku dan tidak bergerak. Saya ingin melepaskan diri tapi merasa tidak ada daya. Saya bingung harus bagaimana sebab kalau teriak, saya takut justru dampaknya lebih buruk."

Sedangkan terduga pelaku menyatakan, “Waktu itu saya berpikir dia bangun dan sadar/tahu apa yang terjadi, namun tidak ada penolakan sama sekali.”

Dari dua pernyataan tersebut, Sri menilai pernyataan terduga pelaku dianggap lebih mendominasi realitas dibanding penyintas. Ini karena stereotip gender dan budaya patriarki di masyarakat.

"Dalam budaya patriarki yang demikan kuat, jika kekerasan seksual terjadi, maka serta merta laki-lakilah dianggap sumber informasi yang paling dipercaya," tulis Sri Wiyanti dalam dokumen tertanggal 31 Desember 2018 lalu dilansir dari bbc.com.

Terlebih, dalam kasus tersebut, terduga pelaku malah menekan penyintas karena merasa namanya tercemar. Di sisi lain, penyintas juga tidak bisa membuktikan kasus tersebut lewat visum. Sehingga dianggap bukan pelecehan, melainkan hanya kesalahpahaman saja.

Begitupun kasus-kasus lain, semisal kasus Baiq Nuril, perempuan yang dipidanakan karena merekam percakapan mesum atasannya pada 2018. Juga, kasus pelecehan seksual yang dijerat UU ITE oleh Satpol PP Surabaya pada tahun yang sama.

Ada beragam kekerasan seksual yang ditemukan di lapangan belum diatur dalam KUHP. Seperti, perbudakan seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, hingga pemaksaan kehamilan, dan lainnya.

“Atas dasar itulah, harus ada aturan yang lebih spesifik agar kasus kekerasan seksual bisa diatasi,” ucap Komnas Perempuan.

Pembuktian dan Restitusi

Pada Rapat Paripurna DPR ke-19 masa sidang IV tahun sidang 2021-2022, Ketua DPR RI Puan Maharani akhirnya mengetok palu tanda RUU telah sah menjadi UU TPKS pada 12 April 2022. Ini komitmen negara dalam memberikan jaminan hak asasi manusia secara menyeluruh, khususnya dari kekerasan dan diskriminasi.

“Pengesahan RUU TPKS merupakan hasil kerja keras seluruh elemen bangsa yang membuktikan bahwa niat baik akan mendapat hasil yang baik,” ucap Puan dalam siaran pers seusai sidang.

Merujuk dokumen UU yang diunggah di laman resmi Sekretariat Negara, UU TPKS terdiri dari 93 pasal. Terdapat 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual meliputi: pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual, dan; kekerasan seksual berbasis elektronik.

Sedangkan, dua jenis kekerasan seksual lainnya, yakni pemerkosaan dan pemaksaan aborsi yang pernah masuk dalam draf sebelumnya dikeluarkan untuk menghindari tumpang tindih dengan RKUHP yang masih dibahas oleh DPR RI.

Menurut Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar UU TPKS agak berbeda dengan tindak pidana biasa. Perbedaan antara lain dari sistem pembuktiannya.

“Hanya pengakuan korban, itu cukup jadi bukti. Namun, saya menafsirkan bila pelakunya masih hidup,” katanya kepada VOI, Senin (5/9).

Ada beragam kekerasan seksual yang ditemukan di lapangan belum diatur dalam KUHP. Sehingga, masih terdapat banyak korban kekerasan seksual yang justru menjadi terpidana. (Antara/Rosa Panggabean)

Selain itu, korban tindak pidana kekerasan seksual berhak mendapat restitusi. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian material dan/atau imaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.

Restitusi dapat diberikan dalam 4 bentuk, yakni:

  1. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
  2. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual;
  3. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
  4. Ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual.

Korban kekerasan seksual dalam undang-undang ini juga memiliki hak khusus. Merujuk Pasal 69 UU TPKS, hak korban atas pelindungan mencakup 7 hal, yaitu:

  1. Penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan;
  2. Penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan;
  3. Perlindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan;
  4. Pelindungan atas kerahasiaan identitas;
  5. Perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban;
  6. Perlindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik; dan
  7. Perlindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas tindak pidana kekerasan seksual yang telah dilaporkan.

Kasus Putri Candrawathi

Apakah UU TPKS bisa diterapkan untuk kasus kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi? Menurut Fickar, kemungkinannya kecil karena pelakunya sudah meninggal.

“Sistem pembuktian, saya tafsirkan tetap harus mencari bukti pembanding lain, tak cukup hanya dengan kesaksian korban. Kesaksian tersangka lain pun tidak kuat kecuali ada yang melihat langsung kejadian kekerasan seksual tersebut,” jelas Fickar.

Rekonstruski pembunuhan Brigadir J dengan tersangka Irjen Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi (Antara/Asprilla Dwi Adha)

Bila memang rekomendasi Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk menindaklanjuti kembali dugaan kekerasan seksual dipenuhi penyidik Polri, kemudian benar Putri menjadi korban, Putri berhak mendapat restitusi atas hak-haknya sebagai korban dari negara berdasar dari penetapan atau putusan pengadilan.

“Negara bertanggung jawab kalau pelakunya tidak bisa bayar kerugian. Bila mengacu ke hukum pidana, sebenarnya kasus pidana kekerasan seksual sudah selesai karena pelakunya sudah meninggal, enggak ada lagi yang bisa dituntut,” Fickar menandaskan.