Kenaikan Harga BBM Ibarat Menelan 'Pil Pahit' untuk Kesehatan Fiskal Negara
JAKARTA - Direktur Eksekutif Center for Energy Policy, M Kholid Syeirazi menilai, menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) di tengah harga minyak dunia berada di angka 100 dolar AS per barel merupakan kebijakan yang sulit dihindari pemerintah.
"Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi ini adalah 'pil pahit' yang harus kita telan untuk kesehatan fiskal negara," ujar Kholid dikutip dari Antara, Rabu, 7 September.
Dalam Kajian Strategis Ekonomi Nasional bertajuk “Alokasi Anggaran dan Komoditas BBM Untuk Hajat Rakyat, Telaah Kritis dan Obyektif Kenaikan Harga” yang digelar Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) , Kholid menyatakan masyarakat khususnya mahasiswa masih terjebak pada opini populis dalam menyikapi kenaikan harga BBM.
Sehingga, lanjutnya, cenderung mengabaikan fakta obyektif kondisi keuangan negara, nilai tukar rupiah, dan krisis energi global.
Menurut dia, konflik antara Rusia dan Ukraina telah membuat produksi dan pasokan minyak mentah dari kedua negara terhambat, sehingga terjadi kenaikan harga minyak dunia.
Harga minyak dunia sempat mencapai 140 dolar AS per barel, sedangkan asumsi ICP (Indonesian Crude Price) yang menjadi patokan APBN adalah 105 dolar AS per barel, sehingga harga keekonomian BBM di dalam negeri pun mengalami kenaikan.
Dengan asumsi ICP di 105 dolar AS per barel, kata Kholid, harga keekonomian BBM jenis Pertalite mencapai Rp14.000 per liter. Jika harga Pertalite tidak dinaikkan dan tetap diangka Rp7.650,- per liter, maka ada sejumlah Rp6.350 per liter yang harus disubsidi pemerintah.
Dikalikan kuota Pertalite 2022 sebesar 23 juta Kiloliter, maka jumlah yang harus disubsidi mencapai ratusan triliun rupiah, tambahnya, itu baru Pertalite, belum lagi BBM jenis Solar yang juga harus disubsidi pemerintah.
"Kalo tidak direm, anggaran subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah bisa mencapai hampir Rp700 triliun. Duit segitu sudah hampir melampaui belanja infrastruktur,” ujar Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) itu.
Baca juga:
Dia menyatakan, kebijakan subsidi BBM di Indonesia selama ini masih salah sasaran, karena hal itu merupakan risiko sistem subsidi terbuka, di mana semua orang boleh membeli BBM bersubsidi, dan belum ada regulasi yang mengatur BBM untuk orang miskin.
Masyarakat bawah hanya menikmati sekitar 20,7 persen BBM bersubsidi, lanjutnya, selebihnya dikonsumsi orang-orang kaya yang mampu membeli mobil.
"Inilah penyebab membengkaknya anggaran subsidi hingga Rp502 triliun. Jadi kalau harga minyak dunia masih di kisaran 100 dolar AS per barel, maka menaikkan harga BBM adalah 'obat' yang harus kita telan untuk kesehatan fiskal negara," katanya.