KPK Terapkan Strategi Baru Hadapi Fenomena Banyaknya Koruptor Dapat Pembebasan Bersyarat

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke depan akan membuat penuntutan kasus rasuah lebih berat, terutama bagi pelaku yang tidak kooperatif. Pertimbangan ini muncul karena sejumlah narapidana korupsi dapat hak bebas bersyarat.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan bukan hanya mencabut hak politik, jaksa penuntut umum (JPU) nantinya akan meminta pencabutan hak terpidana seperti pembebasan bersyarat.

"Mungkin ke depan kalau misalnya ada terdakwa korupsi yang tidak kooperatif dan lain lain misalnya dalam tuntutan mungkin akan kita tambahkan, kalau itu pejabat publik yaitu tadi mencabut hak dipilih dan mencabut supaya terdakwa tidak mendapatkan haknya selaku terpidana, itu bisa dicabut," kata Alexander kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 7 September.

Alexander mengatakan KPK tidak berwenang untuk membahas soal pembebasan bersyarat. Tapi, dia menyebut pemberian hak itu tidak memberi efek jera.

"Prinsipnya pembebasan bersyarat, remisi itu hak. Bisa enggak hak itu dicabut? Bisa. Siapa yang mencabut? Hakim. Atas apa? Atas tuntutan dari JPU (jaksa penuntut umum)," tegasnya.

"Dulu kalau tahanan itu perkaranya dari KPK, itu dari rutan minta rekomendasi KPK. Sekarang dibatalkan itu PP itu oleh Mahkamah Agung," sambung Alexander.

Diberitakan sebelumnya, sejumlah napi koruptor yang dibebaskan secara bersyarat pada Selasa, 6 September.

Mereka adalah eks Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Pinangki Sirna Malasari atau Jaksa Pinangki, Mirawati, dan Desi Arryani yang merupakan narapidana di Lapas Kelas IIA Tangerang.

Selain itu, pembebasan bersyarat juga diterima tiga narapidana lainnya yaitu Patrialis Akbar, Suryadharma Ali, dan Zumi Zola. Mereka menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Sukamiskin Bandung, Jawa Barat.