Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Terhadap Putri Candrawathi: Rekomendasi Komnas HAM Membuat Lembaga Itu Tampak Kerdil
JAKARTA - Pada 12 Agustus 2022, Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi dalam jumpa pers menyatakan tidak menemukan peristiwa pidana dalam laporan pelecehan seksual yang menimpa istri Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi
Alhasil, penanganan dua laporan polisi terkait pelecehan tersebut dihentikan. Brigjen Andi menganggap peristiwa pelecehan masuk dalam kategori obstruction of justice. “Ini hanya bagian dari upaya menghalang-halangi pengungkapan dari kasus 340 (pembunuhan berencana).”
Namun, pada 1 September 2022, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) malah meminta Timsus Polri menindaklanjuti pemeriksaan dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) terhadap Putri.
Sebab, dari hasil temuan faktual, Komnas HAM menduga kuat telah terjadi kekerasan seksual kepada Putri di Magelang pada 7 Juli 2022. Ini dilakukan Brigadir J ketika Ferdy Sambo tidak ada di lokasi.
“Peristiwa ini pula yang menjadi pemantik Kuwat Maruf mengancam akan membunuh korban, seperti yang sudah dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP),” kata Komisioner Komnas HAM Bidang Penyuluhan kata Beka Ulung Hapsara kepada awak media di Kantor Komnas HAM, Kamis (1/9).
Tuai Kritik
Rekomendasi Komnas HAM tersebut seolah telah meragukan kredibilitas dan indepedensi penyidikan yang dilakukan Polri sebelumnya?
Tim pengacara keluarga Brigadir J, Johnson Panjaitan mengatakan justru yang harus dipertanyakan adalah indepedensi Komnas HAM. Mengapa Komnas HAM harus kembali lagi ke topik pelecehan seksual yang jelas sudah dihentikan penanganannya oleh Polri?
Semestinya, Komnas HAM menyoroti adanya peretasan ponsel keluarga Brigadir J. Juga, pencurian ponsel dan uang Brigadir J.
“Saya sedih, karena saya selalu berhubungan dengan Komnas, masa Komnas jadi kerdil seperti itu yang hanya mau memenuhi MoU (nota kesepakatan) dengan pihak kepolisian,” kata Johnson kepada awak media di Hotel Grand Mahakam, Kamis (1/9).
Irjen (Purn) Bekto Suprapto pun menilai kehadiran Komnas HAM dalam pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir J kebablasan, terlalu banyak turut campur dalam proses penyidikan.
Padahal, menurut dia, fungsi Komnas HAM hanya untuk memastikan kasus yang terjadi merupakan pelanggaran HAM atau bukan. Kalau pelanggaran pidana, itu urusannya penyidik.
“Memang agak aneh, sudah beberapa kali kejadian. Termasuk CCTV, kenapa Komnas HAM yang menyebarluaskan. Itu kan diperoleh penyidik, yang menyita penyidik, kenapa Komnas HAM yang rilis dan menganalisa,” ucap mantan Wakabareskrim tersebut seperti dilansir dari channel YouTube Polisi oh Polisi, Sabtu (3/9).
“Polisi yang punya data, kenapa bukan Polri yang rilis. Malah diserahkan ke Komnas HAM. Atau barangkali Komnas HAM lupa, bahwa tidak semua hasil pemeriksaan boleh disampaikan ke publik. Ada hal-hal yang dikecualikan dalam undang-undang keterbukaan informasi publik. Ini harus kita kritisi,” lanjut Bekto.
Irjen (Purn) Arianto Sutadi, dalam tayangan tersebut pun mengungkapkan hal sama. Dia mengaku bingung kenapa Komnas HAM seolah menjelma sebagai detektif swasta baru di Indonesia. Bahkan, terkadang perannya seolah di atas penyidik.
“Yang tadinya hanya ingin melihat terjadinya pelanggaran HAM atau tidak, tetapi kenyataannya malah ikut campur terlalu dalam, sampai ke proses penyidikan, sampai akhirnya kebablasan. Awalnya hanya mengawasi agar kasus ini bisa terbuka, tapi kok malah jadi seperti penyidik, seolah detektif, atasannya penyidik,” kata mantan penasihat Ahli Kapolri bidang hukum tersebut.
Bagaimanapun kondisinya, Polri harus tetap percaya diri menyampaikan beragam hal yang dianggap perlu dalam pengungkapan kasus tersebut ke publik.
“Paling tidak, tambah Arianto, ini menjadi pengalaman terkait bagaimana mengendalikan media, bagaimana cara memberikan penjelasan kepada publik, hingga bagaimana cara menegur organisasi lain yang membocorkan rahasia penyidikan ke publik,” imbuhnya.
Terkait rekomendasi tersebut, tambah Bekto, penyidik Polri harus profesional dan mandiri. Tidak boleh dipengaruhi oleh apapun dan siapapun dalam mencari fakta-fakta hukum. “Tugas penyidik membuat terang suatu perkara dan menemukan tersangkanya.”
Rekomendasi Komnas HAM
Komnas HAM memberikan sejumlah rekomendasi kepada Polri terkait penanganan kasus pembunuhan Brigadir J. Rekomendasi merupakan kesimpulan dari temuan dan analisis fakta peristiwa. Dibacakan oleh Beka Ulung Hapsara pada 1 September 2022:
- Meminta kepada penyidik untuk menindaklanjuti temuan fakta peristiwa oleh Komnas HAM RI dalam proses penegakan hukum dan memastikan proses tersebut berjalan imparsial, bebas intervensi, transparan, serta akuntabel berbasis scientific investigation.
- Menindaklanjuti pemeriksaan dugaan kekerasan seksual terhadap Sdri. PC di Magelang dengan memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kondisi kerentanan-kerentanan khusus.
- Memastikan penegakan hukumnya tidak hanya sebatas pelanggaran disiplin atau kode etik, tapi juga dugaan tindak pidana dan tidak hanya terhadap terduga pelakunya, tapi juga semua pihak yang terlibat, baik dalam kapasitas membantu maupun turut serta.
- Meminta kepada Inspektorat Khusus untuk memeriksa dugaan pelanggaran etik setiap anggota kepolisian yang terlibat dan menjatuhkan sanksi kepada anggota kepolisian yang terbukti melakukan obstruction of justicedalam penanganan dan pengungkapan peristiwa kematian Brigadir J. Sesuai dengan Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Adapun tingkatan sanksi yang direkomendasikan Komnas HAM untuk aparat yang terlibat yaitu:
- Sanksi pidana dan pemecatan kepada semua anggota kepolisian yang terbukti bertanggung jawab, memerintahkan berdasarkan kewenangannya membuat skenario, mengkonsolidasikan personel kepolisian dan merusak serta menghilangkan barang bukti terkait peristiwa kematian Brigadir J.
- Sanksi etik berat/kelembagaan kepada semua anggota kepolisian yang terbukti berkontribusi dan mengetahui terjadinya obstruction of justice terkait peristiwa kematian Brigadir J.
- Sanksi etik ringan/kepribadian kepada semua anggota kepolisian yang menjalankan perintah atasan tanpa mengetahui adanya substansi peristiwa dan/atau obstruction of justice.
- Menguatkan kelembagaan UPPA menjadi direktorat agar dapat menjadi lebih independen dan profesional dalam penanganan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual.
- Mengadopsi praktik baik dalam penanganan pelaporan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap Sdri. PC pada kasus lain perempuan berhadapan dengan hukum.
- Meminta kepada Kapolri sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penanganan perkara hukum yang melibatkan pejabat utama kepolisian serta membangun standar pelibatan lembaga pengawas eksternal kepolisian.
- Melakukan upaya pembinaan terhadap seluruh anggota kepolisian negara Republik Indonesia agar dalam menjalankan kewenangannya untuk tetap patuh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta memegang teguh prinsip-prinsip profesionalitas, transparansi, akuntabilitas, serta memenuhi asas keadilan dan sesuai dengan standar hak asasi manusia sebagai upaya penjaminan peristiwa yang sama tidak berulang.
Wewenang Komnas HAM
Melansir laman situs resmi Komnas HAM, Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya. Mengacu Pasal 76 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas AHM berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
Untuk melaksanakan fungsi pemantauan, pasal 89 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tugas dan wewenang Komnas HAM meliputi:
- Pengamatan pelaksanaan HAM dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut.
- Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM.
- Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang dilakukan untuk dimintai dan didengar keterangannya.
- Pemanggilan saksi untuk diminta didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan
- Peninjauan di tempat kejadian dan tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu.
- Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan.
- Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan.
Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran HAM dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
Baca juga:
- Imbauan Presiden Jokowi Agar Para Politikus Tidak Ngebut Urusan Pilpres 2024 Perlu Dicermati
- Harga BBM Subsidi Naik: Pemerintah Sudah Tak Berdaya Melindungi Rakyat dari Gejolak Harga Minyak Dunia
- Realitas Timnas Indonesia: Keluhan Shin Tae-yong Masih Menyoal Teknik
- Kenaikan Harga BBM Subsidi Sebaiknya Ditunda karena Harga Minyak Dunia Sudah Turun