Melihat Isi Buku How Democracies Die yang Dibaca Anies, Seberapa Dekat dengan Pemerintahan Jokowi?

JAKARTA - Foto Anies Baswedan baca buku viral. Buku berjudul How Democracies Die yang dibaca Anies jadi sorotan. Buku karya Steve Levitsky dan Daniel Ziblatt itu ditafsirkan banyak orang sebagai kritik Anies terhadap pemerintahan Indonesia di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Sebenarnya, apa isi buku How Democracies Die?

Dalam keterangan foto yang diunggah di akun Twitter dan Instagramnya, Anies menulis, "Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi." Unggahan itu diganjar berbagai komentar.

@radityaputra1108, misalnya, yang mengatakan, "Bukunya kayak kode gitu, ya."

Akun @akbar_salam1 menafsirkan sama. "Luar biasa. Kode keras."

How Democracies Die adalah buku rilisan 2018. Buku itu berisi penelitian terhadap bentuk-bentuk otoritarianisme baru di banyak negara dunia yang sebelumnya dikenal menganut sistem demokrasi.

Citra tokoh merakyat padahal otoriter

Dalam How Democracies Die, Levitsky dan Ziblatt menjelaskan pemimpin otoriter tak melulu muncul dengan warna asli. Banyak rupa yang dapat jadi kedok otoritarianisme baru, bahkan dalam tokoh dan pemerintahan yang tampak populis. Namun, Levitsky dan Ziblatt memaparkan bagaimana cara mengenali pemimpin yang otoriter.

Ada empat tanda utama untuk mengenali tokoh otoriter dalam bungkusan populis. Tanda-tanda tersebut tampak bersileweran hampir semua negara negara. Sekalipun tiap pemimpin memiliki corak atau gaya kepemimpinan yang berbeda-beda, Levitsky dan Ziblaat menuliskan empat hal yang harus diwaspadai.

Pertama, mereka menolak aturan demokrasi, dengan kata-kata atau perbuatan. Kedua, menyangkal legitimasi lawan. Ketiga, menoleransi atau menyerukan kekerasan. Keempat, menunjukkan kesediaan membatasi kebebasan sipil pihak oposisi, termasuk media. Levitsky dan Ziblaat juga mengingatkan pentingnya peran media sebagai oposisi dalam negara yang tengah dalam ancaman otoritarian berbayang ini.

Maka, siapapun politikus yang memiliki ciri di atas patut diwaspadai, termasuk mereka yang menggunakan jubah pemimpin populis dengan mengumbar narasi pro rakyat. Tokoh populis yang digambarkan dalam buku adalah mereka yang menganggap dirinya sebagai tokoh anti kemapanan. Tokoh macam ini biasanya dicitrakan sebagai sosok yang paling merakyat. Tokoh ini juga menggambarkan diri sebagai lawan dari elite yang korup. Padahal?

“(Pemimpin) Populis cenderung menyangkal legitimasi partai-partai mapan, menyerang partai karena dianggap tak demokratis dan bahkan tidak patriotis. Mereka memberi tahu pemilih bahwa sistem yang ada bukan benar-benar demokrasi, melainkan telah dibajak, dikorup, diakali elite. Dan mereka berjanji mau mengubur elite lalu mengembalikan kekuasaan kepada rakyat,” tertulis dalam halaman 11.

Tokoh semacam ini, menurut Levitsky dan Ziblatt adalah yang paling berbahaya bagi demokrasi. Namun, di lain sisi, di sanalah kerentanan dari demokrasi. Demokrasi amat rentan. Ia perlu dijaga bersama-sama. Politikus adalah pihak yang tak boleh mendapat kepercayaan penuh karena kelompok politikus adalah pembunuh utama demokrasi.

Mereka akan masuk ke dalam kontestasi pemilu sebagai tokoh yang mewakili rakyat. Mereka akan memenangi pemilu dengan citra itu, memegang mandat konstitusi, sebelum akhirnya melakukan praktik otoritarian ketika mendapatkan posisi. Para politikus jenis ini juga terbiasa menyerang secara tajam pihak lawan lewat isu yang tak jelas kebenarannya. Segalanya dikemas lewat retorika tingkat tinggi, dengan keabsahan fakta tingkat sampah.

Kebohongan jadi landasan penting bagi kerja pemimpin otoriter berkedok demokrasi. Mereka akan membangun narasi ketakutan yang kibul. Seperti yang dilakukan Amerika Serikat (AS) beberapa tahun belakangan, bagaimana mereka membentuk musuh bersama untuk menjalankan berbagai misi perang di berbagai belahan dunia.

Bentuk lainnya adalah dengan narasi "keterdesakan ekonomi", di mana pembangunan infrastruktur dan investasi jadi satu-satunya cara menyelamatkan negeri yang ekonominya pengap. Tujuannya adalah pembenaran. Bahwa menebang hutan itu benar untuk ekonomi. Bahwa menggusur warga lokal etis demi investasi. Bahwa bandara dibangun di atas sawah itu hal yang baik-baik saja.

Sindir Jokowi?

Bukan rahasia. Pemerintahan Jokowi disoroti karena sejumlah sejumlah kebijakan yang jauh dari kehendak rakyat. Revisi Undang-Undang (UU) Omnibus Law, misalnya. Tak cuma dalam pengambilan kebijakan, pemerintahan Jokowi juga kerap menggunakan represivitas aparat untuk membungkam kritik. Yang lebih lucu adalah pengerahan tentara untuk menurunkan spanduk ormas.

Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menyoroti segala cara kepemimpinan Jokowi di atas sebagai hal yang mengkhawatirkan dan mengancam demokrasi. Jokowi disebut begitu mirip dengan Suharto. Bahkan jika mau merefleksi pada bagaimana negara lain melihat kepemimpinan Jokowi, kita bisa melihat artikel South China Morning Post yang pernah kami ulas dalam tulisan "Jokowi 'Little Suharto': Artikel South China Morning Post Melihat Bagi-Bagi Kursi BUMN untuk Influencer".

"Sekarang kan tentara itu sudah dilibatkan dalam politik. Artinya menurunkan spanduk (Rizieq Shihab) adalah politik. Padahal itu bukan tupoksinya dari tentara. Ini sangat disayangkan. Kalau ini terus terjadi, dalam konteks hal-hal seperti itu, maka itu ya tadi, demokrasi itu salah satu indikatornya bisa terkoreksi dan bisa mati," Ujang kepada VOI, Senin, 23 November.

"Kalau memang spanduk, itu tugas atau bagian dari Satpol PP itu. Satpol PP lah yang harus bekerja dengan baik. Kalau tidak baik, kita koreksi bersama-sama. Bukan untuk melibatkan tentara dalam hal-hal seperti itu karena tentara itu kita sayangi, kita cintai untuk menjaga negara ini. Intinya tentara itu menjaga keamanan negara," Ujang.

Pencopotan baliho Rizieq Shihab oleh tentara (Sumber: Antara)

Pakar politik lain, Hendri Satrio memberi pandangan tentang bagaimana membaca sikap Anies terhadap kepemimpinan Jokowi dalam aksi baca buku. Hendri melihat sejumlah kemungkinan. Pertama, Anies menyiratkan kekhawatiran akan demokrasi yang makin tergerus. Pesan itu bisa saja ditujukan Anies untuk Jokowi atau pemimpin negara lain, termasuk dirinya sendiri.

"Pertama, (pesan Anies) jangan sampai kemudian demokrasi itu mati di Indonesia. Kedua, pesan yang disampaikan juga bahwa dirinya selain sebagai gubernur juga akademisi. Ya, yang sederhana gitu. Kemudian berlatar belakang Islam. Dia kan mau kasih tahu seperti itu. Tapi kalau pertanyaannya apakah itu sindiran, ya bisa juga nyindir. Itu karena buku yang dia baca dan mendadak viral itu sebetulnya kan bukan hal baru. Bung Hatta juga pernah nulis saat dia mengkritisi kebijakan Soekarno di tahun 60-an," kata akademisi Universitas Paramadina itu kepada VOI.

Demokrasi, kata Ujang maupun Hendri memang membawa konsekuensi. Negara demokrasi harus memiliki ruang yang luas bagi kritik. Negara demokrasi juga harus memiliki pemerintahan yang mampu mendengar karena kekuasaan sebuah negara demokrasi berada di tangan rakyat.

"Oleh karena itu, ketika kita sudah memilih demokrasi sebagai sistem politik. Maka perbedaan pendapat itu sekencang apapun dia, seberat apapun pihak yang mengkritik pemerintah, itu tetap harus dihargai sebagai bagian daripada proses berdemokrasi dengan baik," kata Ujang.

"Jadi, menurut saya ialah salah satu keindahan demokrasi adalah apa yang dilakukan oleh Anies, sehingga apa yang dilakukan oleh Anies, tidak kemudian serta merta menjadi dijawab dengan keras, tetapi dibiarkan sebagai kembang demokrasi," Hendri.

Sebuah dongeng

Bagi negara demokrasi, otoritarian adalah musuh besar. Buku How Democracies Die memberi masukan kepada pembaca soal bagaimana mencegah pemimpin populis nan otoriter untuk dapat berkuasa kembali. Salah satu keunggulan buku ini adalah kisah-kisah yang diilustrasikan secara baik.

Untuk mendapat gambaran bagaimana pemimpin otoriter menunggangi sistem demokrasi, penulis telah menceritakan kisah berjudul The Horse, the Stag and the Hunter (Aesop’s Fables). Mereka bahkan menjadikan kisah tersebut sebagai pembuka buku. Hal itu agar pembaca paham bagaimana demokrasi bisa runtuh. Berikut kisahnya:

Sebuah pertengkaran terjadi di antara seekor kuda dan rusa jantan. Si kuda datang kepada pemburu untuk meminta bantuan mengalahkan rusa. Si pemburu bilang, “Oke, saya akan bantu kamu mengalahkan rusa, asalkan kamu izinkan aku memasang sepatu besi di antara jarimu dan aku akan mengendalikanmu dengan tali kekang dan pelana ini ditaruh di punggungmu, supaya aku bisa stabil memandumu mengejar musuh.”

Si kuda setuju dengan semua permintaan pemburu dan rusa pun akhirnya dikalahkan. Kuda meminta pemburu untuk melepas semua yang telah dipasang di tubuhnya, tapi si pemburu bilang, "Wow tidak bisa secepat itu kawan. Sekarang aku sudah memacumu dalam kendaliku dan aku memutuskan untuk tetap seperti itu.”