Mengenal Perbedaan Alat Bukti dan Barang Bukti dalam Hukum Pidana
YOGYAKARTA – Perbedaan barang bukti dan alat bukti menarik untuk diketahui usai Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Senin, 29 Agustus mengembalikan berkas perkara kasus pembunuhan Brigadir J kepada penyidik karena ada ketidaksesuaian alat bukti.
"Sudah diteliti dan kami dalam proses pengembalian berkas perkara kepada penyidik," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Fadil Zumhana, dikutip VOI.
Alasan lain berkas perkara itu bakal dikembalikan karena dalam proses persidangan, harus sempurna. Artinya, tidak boleh ada kekurangan yang bisa berdampak pada penuntutan.
"Karena masih ada yang harus diperjelas oleh penyidik dan analisis kasusnya, tentang kesesuain alat bukti," ungkapnya.
Perlu diketahui, pembuktian di dalam hukum pidana adalah suatu yang sangat penting. Menurut Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang (UU) No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, seseorang tidak bisa divonus pidana kecuali ada alat pembuktian yang sah menurut UU.
Perbedaan Alat Bukti dan Barang Bukti
Alat bukti adalah alat-alat yang berkaitan dengan suatu tindak pidana yang dapat digunakan untuk pembuktian, meyakinkan majelis hakim di persidangan, serta memastikan adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.
Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, yang disebut sebagai alat bukti yang sah antara lain:
- Keterangan saksi
- Keterangan ahli
- Surat
- Petunjuk
- Keterangan terdakwa
Tujuan hukum pidana adalah untuk mencari dan mendekati kebenaran materiil.
Di dalam hukum acara pidana mempunyai tujuan untuk mencari dan mendekati kebenaran materiil.
Adapun yang dimaksud dengan kebenaran materiil (material waarheid) yakni kebenaran yang sebenar-benarnya, kebenaaran yang hakiki, dan kebenaran yang riil yang dicari dalam proses pembuktian serta dapat meyakinkan majelis hakim dalam memutus suatu perkara.
Sementara itu, dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak disebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Hanya saja, dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan apa saja yang dapat disita sebagai barang bukti, yaitu:
- Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
- Benda yang telah dipakai secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
- Benda yang dipakai untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana
- Benda yang khusus dibuat atau diperintukkan melakukan tindak pidana.
- Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Menurut Ratna Nurul Afiah dalam bukunnya yang berjudul Barang Bukti Dalam Proses Pidana,yang dimaksud barang bukti adalah benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39.
Fungsi barang bukti dalam persidangan adalah:
- Memperkuat kedudukan alat bukti yang sah
- Petunjuk atas kebenaran materiil atas perkara yang sedang ditangani.
- Menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dalam kasus tangkap tangan, penyidik punya wewnang melakukan penyitaan paket, surat, atau benda yang pengangkutannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, selama benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau berasal darinya.
Fungsi lain dari barang bukti adalah untuk menunjang alat bukti, sehingga barang bukti menjadi sah dan dapat menentukan keabsahan alat bukti.
Berkaitan dengan tahapan mendapatkan barang bukti, dalam KUHAP disebut bahwa penyitaan barang bukti harus dilakukan dengan bertanggungjawab agar barang bukti tetap aman.
Demikianlah perbedaan alat bukti dan barang bukti dalam hukum pidana. Dalam kasus pembunuhan Brigadir J yang menjerat eks Kadiv Propram, Ferdy Sambo, polisi melakukan rekontruksi untuk menguji kesesuaian alat bukti dan keterangan saksi.