Yang Dibela Front Pembela Islam

JAKARTA - Di halaman Pondok Pesantren Al-Umm, Tangerang, 25 Robi'uts Tsani 1419 Hijriyyah atau 17 Agustus 1998, Front Pembela Islam (FPI) dideklarasikan. Di bawah komando imam besar mereka, Muhammad Rizieq Shihab, FPI tumbuh menjadi salah satu organisasi massa terbesar. FPI juga kontroversial. Bahkan sejak massa awal pembentukannnya, termasuk ketika Wiranto, yang kala itu menjabat Panglima ABRI, melibatkan FPI dalam operasi pengamanan Sidang Istimewa MPR di bawah payung PAM Swakarsa.

Berdasar sejarah, FPI dirintis oleh sejumlah ulama, Haba'ib, serta aktivis Muslim. Seluruh unsur itu berada di bawah komando Rizieq yang merupakan keturunan Hadrami. Ada satu benang merah pergerakan FPI, yaitu penegakan "amar ma'ruf nahi munkar" atau "menegakkan yang benar dan melarang yang salah." FPI kerap kontroversial karena pendekatan yang dilakukan kerap anarkis dan dekat dengan kekerasan. Di sisi lain, FPI juga jadi ormas yang seringkali terdepan mengulurkan tangan kepada korban bencana.

Sisi anarkis FPI yang paling santer di ingatan adalah demonstrasi tahun 2008. Kala itu FPI terlibat bentrokan dengan massa yang tengah berkumpul di Monas memeringati Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni. Kita juga ingat ketika FPI mendatangi Balai Kota DKI Jakarta menuntut Gubernur Sutiyoso menutup tempat yang mereka anggap maksiat di Ibu Kota.

FPI juga tercatat kerap terlibat dalam razia, sweeping, bahkan aksi perusakan kafe, hotel, atau kantong-kantong kebudayaan lain yang mereka tengarai sebagai tempat kemaksiatan. Dengan landasan yang sama, FPI juga kerap menyerang kelompok keagamaan yang mereka labeli sesat atau kafir. Penggerudukan FPI ke Salihara untuk membubarkan diskusi publik pemikiran Irshad Manji pada 2012 jadi contoh. FPI berpendapat diskusi itu melanggengkan lesbianisme.

Akhmad Sahal, dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Nahi Munkar yang Munkar (2012), menuliskan bahwa dalam setiap kesempatan Rizieq selalu membenarkan vigilantisme kelompoknya. Rizieq selalu berdalih hal itu terpaksa dilakukan karena negara dan aparat penegak hukum gagal dan lembek dalam memberantas kemaksiatan. Maka, FPI merasa turun tangan mereka sah. Wajar.

“Di mata FPI, tindak kekerasan mereka justru Islami karena didasarkan pada hadis Nabi yang cukup populer tentang nahi munkar: ‘Sesiapa melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Jika tidak mampu juga, maka dalam hati. Yang terakhir itulah selemah-lemahnya iman.’ Bagi FPI, jalan kekerasan merupakan manifestasi dari pengamalan perintah Nabi untuk mengubah kemunkaran dengan tangan (falyughayyirhubiyadih),” ungkap Akhmad Sahal.

Meski begitu, apa yang dilakukan FPI dapat dilihat dari sisi lain. Made Supriatma, seorang peneliti mengungkap cara pandang berbeda melihat FPI. Bagi Made, konsistensi FPI dalam menegakkan syariat, lengkap dengan segala kontroversinya membuat FPI dan nama Rizieq dikenal secara nasional. Berkat popularitas itu FPI kemudian mendirikan cabang-cabang di berbagai wilayah Nusantara.

Simpatisan FPI menyambut kedatangan Rizieq Shihab (Irfan Meidianto/VOI)

Popularitas itu tak hanya dibangun dari segi vigilantisme dan penghakiman semata. FPI juga tercatat sebagai salah satu ormas paling responsif turun dalam pendampingan-pendampingan masyarakat di kalangan bawah. Bahkan FPI juga selalu terdepan turun memberi bantuan ke lokasi-lokasi bencana.

Eksistensi FPI dalam membantu masyarakat kecil cukup banyak. Termasuk aktif dalam membantu korban penggusuran di Jakarta mendapatkan hak dan membela mereka. Dalam penggusuran warga Pasar Ikan, Jakarta Utara pada 2016, misalnya. FPI memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga penggusuran sembari mendirikan posko kemanusiaan di Masjid Luar Batang.

Dalam laporan yang diterbitkan kompas.com pada 2016, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) FPI Jakarta Utara, Ustaz Muhammad Iqbal, mengungkap FPI prihatin melihat kezaliman pemimpin yang tak berpihak pada masyakatat kecil. "Kami prihatin terhadap mereka yang saat ini tidur di perahu, di atas puing, kedinginan. Kami berkewajiban membantu mereka," ujar Iqbal. 

Tak hanya itu. Dalam bencana Tsunami yang menerjang Palu, Sulawesi Tengah pada 2018, FPI menjadi yang terdepan dalam memberikan bantuan. Bahkan hal itu diakui langusng oleh Plt Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Ferdinandus Setu. Menurutnya, Kominfo mengapresiasi seluruh anak bangsa yang turut meringankan beban korban gempa dan tsunami Palu, termasuk FPI.

"Kominfo tidak menyatakan bahwa seakan-akan FPI tidak melakukan bantuan di sana, sama sekali tidak. Kami tidak pernah menyampaikan bahwa FPI tidak melakukan gerak cepat. Oleh karenanya bantuan kemanusiaan yang dilakukan oleh seluruh komponen bangsa termasuk FPI kita patut apresiasi," katanya dikutip Antara.

Pendirian FPI

Benih-benih kelahiran FPI sudah ada jauh sebelum pembentukan resmi. Dikutip  M. Imdadun Rachmat dalam buku Arus Islam Radikal (2005), para ulama yang memiliki kesamaan visi membentuk FPI dengan corak khas islam Tradisional. FPI telah sejak lama mensyiarkan semangat penegakan amar ma’ruf nahi munkar lewat ragam acara, seperti pengajian, tahlil, salawatan, tabligh akbar, audiensi dengan unsur-unsur pemerintah, serta lewat silaturahmi antar tokoh agama kesohor.

“Sedangkan FPI, lebih merupakan organisasi yang muncul dari para ulama, dai, dan haba’ib yang memiliki ciri Islam tradisional. Mereka mempraktekkan ritual-ritual yang ditentang oleh para pendukung gerakan Tarbiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, maupun Laskar Jihad, yang mengusung purifikasi dan secara pemikiran dekat dengan Timur Tengah. Kalangan FPI akrab dengan tahlil, barzanji, salawat, dan puj-pujian yang sering diidentikkan dengan bid'ah,” tulis M. Imdadun Rachmad.

Untuk itu, peran ulama dalam eksistensi FPI begitu sentral. Rizieq, terutama. Dengan kuasanya, Rizieq berhasil mengumpulkan 20 ulama terkenal untuk mendirikan FPI. Beberapa di antaranya adalah KH Fathono, KH Misbahul Anam, KH Cecep Bustomi, dan Habib Idrus Jamalullail. Mereka semua dikenal aktif sebagai mubaliq yang keras sejak zaman Orde Baru. Beberapa di antaranya pernah dipenjara karena terlalu kritis kepada pemerintahan Soeharto.

Rizieq Shihab menyapa pengikut yang menyambut kepulangannya (Irfan Meidianto/VOI)

Kelahiran FPI menunjukkan adanya semangat keagamaan sekelompok umat Islam dengan gerakan dakwah yang tergolong fanatik. Alhasil, FPI sebagai organisasi gerakan menjadi tak begitu mementingkan bentuk kelembagaan. Berbeda dengan ormas lain, FPI justru tak melakukan perekrutan keanggotaan secara permanen dan sistematis.

“Para anggota FPI tidak terikat pada aturan organisasi yang formal dan ketat. Pengikat utama yang menyatukan anggota FPI adalah komitmen moral dan loyalitas pada pemimpin. Kondisi seperti ini menyulitkan penulis untuk mencari jumlah pasti anggota FPI,” tulis Al-Zastrouw Ng. dalam buku Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI (2006).

Bagian PAM Swakarsa

Sepak terjang FPI dalam transisi reformasi diingat ketika menjadi bagian Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (PAM Swakarsa). PAM Swakarsa adalah paramiliter yang diciptakan pemerintah untuk membantu TNI mengawal Sidang Istimewa MPR pada November 1998.

PAM Swakarsa sendiri dibentuk atas usulan Panglima ABRI Wiranto. Selain FPI, PAM Swakarsa diisi oleh sejumlah organisasi paramiliter lain, seperti Forum Ummat Islam Penegak Keadilan dan Konstitusi (Forkon), Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), serta Brigade Hizbullah BKUI.

Singkat cerita, FPI kemudian menjadi salah satu elemen dalam pembentukan PAM Swakarsa. Masing-masing organisasi paramiliter itu ikut mengamankan Sidang Istimewa MPR 1998. Namun, pengamanan itu diwarnai tragedi. Bentrokan terjadi. Peristiwa itu diingat dengan Tragedi Semanggi.

Peneliti asal Australia yang telah meneliti ormas di Indonesia sedari periode 2004-2014, Ian Douglas Wilson menceritakan, ketika Orde Baru tumbang, barulah ormas-ormas tersebut merasa kehilangan kontrol sehingga harus mencari relasi-ralasi baru. Dalam hal ini, mereka turut membantu kepolisian. Realitas ekonomi-politik ini tercermin dan terlembagakan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menetapkan bahwa dalam melaksanakan perannya, polisi dibantu oleh “bentuk-bentuk pengaman Swakarsa.”

“Hal ini memberi kerangka bagi polisi di tingkat polresta atau polsek untuk bisa menetapkan hubungan kerja dengan ‘mitra’ lokal,” ungkap Ian Douglas Wilson dalam bukunya, Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2018).