Bambang Widjojanto dan Eks Wamenkum HAM Denny Indrayana Tak Lagi Jadi Pengacara Mardani Maming
JAKARTA - Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkum HAM) Denny Indrayana tak lagi menjadi kuasa hukum mantan Bupati Tanah Bumbu Mardani H. Maming yang kini ditahan KPK.
Kepastian ini disampaikan kuasa hukum Mardani yang baru, Abdul Qodir usai mendampingi Mardani menjalani pemeriksaan hari ini. Mardani, tersangka dugaan suap dan gratifikasi itu baru saja diperiksa untuk pertama kalinya setelah ditahan.
"Kami ingin jelaskan bahwa sejak per hari ini, kuasa hukum lama, surat kuasa lama itu sudah dicabut Pak Mardani Maming," kata Abdul kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 3 Agustus.
Dia mengatakan Mardani Maming hanya akan didampingi kuasa hukum dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Mardani pernah menduduki jabatan strategis di dua organisasi itu sebelum ditahan.
Di PBNU, Mardani Maming menjabat sebagai bendahara umum periode 2022-2027. Sedangkan di Hipmi, dia menjabat sebagai ketua umum periode 2019-2022.
"Per hari ini, Pak Mardani hanya akan didampingi hanya akan didampingi oleh kuasa hukum dari dua organisasi, yaitu PBNU dan Hipmi. Gabungan kuasa hukum dari dua organisasi itu, tidak ada yang lain," tegas Abdul.
Sementara saat disinggung soal pemeriksaan kliennya, Abdul ogah menjawab lebih lanjut. "Baru (pemeriksaan, red) awal saja," ungkapnya.
Baca juga:
KPK menetapkan Mardani sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi izin usaha pertambangan di Kabupaten Tanah Bumbu. Dia ditetapkan sebagai tersangka penerima, sementara selaku pemberi yaitu Hendry Soetio yang merupakan pengendali PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) sudah meninggal dunia.
Meski meninggal, KPK memastikan para penyidik sudah mendapat bukti terkait penerimaan yang dilakukan Mardani. Dia diyakini mendapat uang dari Hendry dari 2014 hingga 2020.
Ada pun jumlah uang yang diterima Mardani lewat orang kepercayaannya maupun perusahaannya mencapai Rp104,3 miliar.
Akibat perbuatannya, Mardani disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.