Larangan Masuk Warga Negara Muslim di AS: Digagas Obama, Dimanfaatkan Trump, Dicabut Biden

JAKARTA - Pada 27 Januari 2017, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi melarang masuk orang-orang yang berasal dari tujuh negara mayoritas Muslim. Kebijakan itu sebenarnya tercetus sejak pemerintahan Presiden Barack Obama. Dan sekarang, presiden terpilih AS, Joe Biden berencana untuk mencabutnya. Lantas bagaimana proses terbentuknya peraturan tersebut?

Lewat perintah eksekutif (executive order) bernomor 13769 itu, Trump melarang masuk orang-orang dari tujuh negara Islam seperti Irak, Iran, Suriah, Yaman, Sudah, Libya, dan Somalia selama 90 hari. Peraturan itu lantas mendapat penolakan warga AS.

Setidaknya ada empat wilayah yang menolak kebijakan tersebut, yakni, Washington, Virginia, Massachusetts, dan New York. Penolakan juga datang dari seorang Pelaksana tugas Jaksa Agung, Sally Yates. Karena menolak, seperti diberitakan The Guardian Trump memecat orang yang baru dilantik pada ujung masa pemerintahan Obama tersebut. 

Yates tidak yakin perintah eksekutif itu sesuai hukum. Lebih lagi, Trump pilih kasih terhadap pengungsi yang beragama Kristen, hal ini menunjukkan diskriminasi dan perilaku islamofobia.

Kebijakan ini juga menimbulkan kekacauan di banyak negara. Pasalnya, tak sedikit para pemudik yang tertahan di bandara. Para pemrotes berbaris melawan tindakan sweeping yang diblokir oleh beberapa pengadilan federal. 

Demonstrasi pertama kali dimulai sehari setelah Trump menandatangani perintah tersebut. Di Washington, ratusan demonstran berkumpul di luar Gedung Putih, mereka membawa poster bertuliskan: "Kami semua adalah imigran di Amerika."

Karena telah memicu amarah warga AS, Trump merevisi aturan tersebut. Ia mengeluarkan Irak dan Sudan dalam daftar travel ban namun warga asal negara tersebut akan diperiksa secara ketat saat memasuki imigrasi. Mereka yang dikecualikan hanyalah penduduk tetap yang tinggal di AS dan pemilik green card

Selain itu pengungsi Suriah tidak dilarang lagi tanpa batas waktu, dan kebijakan baru ini tidak memprioritaskan orang Kristen lagi. Pada September, Pemerintah Trump menambah daftar negara yang dilarang di antaranya Venezuela dan Korea Utara. 

Menurut M Arraf Rezkia Rachman dalam jurnalnya yang bertajuk "Analisis Kebijakan Travel Ban oleh Donald Trump" yang diterbitkan Jurnal Ilmu Pemerintahan (2018) menjelaskan sejak 11 September, tidak ada seorang pun yang terbunuh dalam serangan teroris yang dilakukan oleh imigran dari negara-negara yang termasuk dalam larangan tersebut. 

Rachman menjelaskan serangan besar seperti 11 September di New York, pemboman maraton Boston dan serangan klub malam Orlando dilakukan oleh orang-orang dari negara yang tidak termasuk dalam daftar seperti Arab Saudi, Mesir, atau oleh penduduk AS sendiri. "Kurang dari satu dari empat Muslim Amerika yang melakukan kegiatan terorisme memiliki keluarga di negara-negara tersebut," ungkapnya.

Awalnya

Seperti ditulis Observer, kebijakan tersebut sebenarnya pertama kali tercetus pada masa pemerintahan Barack Obama. Pada 2015, pemerintahan Obama menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Program Pengabaian Visa dan Pencegahan Perjalanan Teroris. 

Proposal RUU tersebut dibuat setelah terjadi serangan Paris 2015. Tujuannya, untuk memperketat aturan bagi orang-orang yang pernah mengunjungi Suriah, Irak atau merupakan warga negara ganda dari negara-negara tersebut.

Mengutip The Washington Post, mulanya dalam aturan itu hanya melarang negara Suriah. Enam negara lainnya, Irak, Iran, Sudan, Libya, Yaman, dan Somalia tidak disebutkan secara spesifik atau dimasukan ke dalam daftar pembatasan secara bertahap. 

Ini merupakan petunjuk pertama bahwa orang-orang dari tujuh negara itu telah dibatasi untuk memasuki AS. Sementara Trump menggunakan platform legal ini dan membawanya ke level baru. 

RUU itu lalu diperkenalkan di Senat oleh Dianne Feinstein Senator AS dari Partai Demokrat yang telah menjabat sejak 1992 hingga kini, dan Jeff Flake yang juga pernah menjadi senator dari Partai Republik. Saat itulah RUU Peningkatan Program Pengabaian Visa dan Pencegahan Perjalanan Teroris diundangkan pada 2015.

Pada 2016, pemerintahan Obama baru menambahkan Libya, Somalia, dan Yaman ke daftar pembatasan. Namun mereka mengatakan tidak akan menerapkan pembatasan terhadap warga negara yang punya kewarganegaraan ganda dari negara-negara tersebut.

Masih menurut Observer, seorang pengacara di Komite Anti-Diskriminasi Arab Amerika, Yolanda Rondon menjadi salah satu orang yang keras mengkritik kebijakan itu. Kebijakan ini menurutnya didasarkan pada asumsi yang tidak dapat diandalkan apabila menganggap orang Arab lebih rentan terhadap terorisme. Menurutnya hal ini malah melanggengkan stereotip bahwa orang Arab adalah teroris.

Pada Januari 2016, salah satu korban larangan yang diterapkan selama pemerintahan Obama yakni Jurnalis BBC Rana Rahimpour. Ia dilarang bepergian ke AS karena ia lahir di Iran.

Diakhiri Biden

Beberapa bulan lagi, era pemerintahan Trump akan berakhir. Kemenangan Joe Biden dalam Pilpres AS 2020 akan menggeser posisi Trump. Apabila Biden menepati janjinya, maka aturan ini akan lenyap seiring dengan hengkangnya Trump dari Gedung Putih.

Peraturan itu sebetulnya lemah dan mudah dibatalkan. Pasalnya menurut ahli kebijakan, beleid tersebut keluar atas perintah eksekutif dan proklamasi presiden. Namun tuntutan hukum dari kaum konservatif dapat menunda proses pembatalan tersebut.

Untuk itu Biden berjanji mendorong politisi membuat undang-undang untuk memerangi meningkatknya jumlah kejahatan rasial di AS. "Komunitas Muslim adalah yang pertama merasakan serangan Donald Trump terhadap komunitas kulit hitam dan coklat di negara ini dengan aturan Muslim Ban yang keji. Pertarungan itu adalah rentetan pembukaan dalam hampir empat tahun tekanan dan penghinaan terus-menerus,” kata Biden.

Joe Biden berhasil unggul dengan perolehan suara Electoral College 290 banding 214 dalam pemungutan suara negara bagian demi negara bagian. Para pendukungnya kini tengah menantikan realisasi janji-janji Biden dan salah satunya mencabut larangan tersebut.