Sungguh Sulit Memberantas Mafia Tanah di Indonesia, tapi Pemerintah Harus Mampu

JAKARTA - Masih terekam jelas salah satu kasus mafia tanah yang terjadi pada era Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjabat Gubernur DKI Jakarta. Ketika itu, Pemerintah DKI Jakarta membeli tanah seluas 4,6 hektare miliknya sendiri seharga Rp648 miliar pada November 2015. Ahok bertanya-tanya, mengapa harganya bisa semahal itu, padahal nilai jual obyek pajak wilayah Cengkareng sesuai akte tanah yakni Jalan Lingkar Luar Cengkareng, Jakarta Barat hanya Rp6,2 juta permeter persegi.

Ahok curiga ada yang tidak beres dalam pembelian tersebut. Kesepakatan Dinas Perumahan dan Gedung DKI Jakarta dengan penjual melonjak lebih dua kali lipatnya menjadi Rp14,1 juta permeter persegi. Kecurigaan semakin menguat saat mengetahui laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan Pemprov DKI 2015. Ada poin yang menyebut pembayaran notaris hingga miliaran rupiah.

"Mana ada orang bodoh sih mau bayar notaris Rp4-5 miliar. Misalnya beli tanah Rp600 miliar, kamu bayar notarisnya Rp6 miliar, gila enggak? Rp10 juta juga banyak yang mau urus tanah sekeping doang," ucap Ahok dikutip dari Kompas.com, 23 Juni 2016.

Ahok meminta Kepala Inspektorat Jakarta memeriksa lebih jauh. Hasil pemeriksaan Inspektorat ternyata terbukti, seperti yang sudah diberitakan Tempo.co, tanah tersebut ternyata milik pemerintah sejak 1967. Pemerintah tak segera membuat sertifikat hingga pengusaha D.L. Sitorus, pemilik PT Sabar Ganda, mengklaim lahan itu pada 2007. Sitorus dan pemerintah saling gugat di pengadilan, hingga Mahkamah Agung memenangkan pemerintah DKI pada 2010.

Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang pernah berurusan dengan mafia tanah dalam pembelian lahan di Cengkareng, Jakarta Barat oleh Pemprov DKI Jakarta pada 2016. (Antara/Akbar Nugroho Gumay)

Mengetahui Pemprov DKI sedang mencari lahan untuk membangun rumah susun, pada 2014 muncul nama Toeti Noezlar Soekarno yang mengklaim memiliki sertifkat lahan di Cengkareng tersebut. Toeti menawarkan harga jual Rp17,5 juta permeter persegi. Dinas Perumahan melakukan negosiasi hingga sepakat di angka Rp14,1 juta permeter persegi.

Ahok menduga ada oknum-oknum pejabat di bawahnya yang sengaja mengaburkan kepemilikan tanah sehingga seakan-akan bukan milik Pemprov DKI. “Telusuri duitnya ke mana saja," penggalan ucapan Ahok dari berita merdeka.com pada 28 Juni 2016.

Wakil Gubernur DKI Jakarta saat itu, Djarot Saiful Hidayat pun menduga kasus tersebut melibatkan juga oknum di internal Badan Pertanahan Nasional (BPN), sebagai lembaga yang menerbitkan sertifikat dalam proses jual-beli lahan. "Pasti ada orang dalam, tidak bisa mafia itu berjalan sendiri tanpa orang dalam,” kata Djarot dilansir dari kompas.com.

Kejadian serupa terulang lagi kini. Polisi menangkap 27 orang yang diduga terlibat dalam kasus mafia tanah di Jagakarsa Jakarta Selatan, Cilincing Jakarta Utara, dan Babelan Bekasi. Mereka ASN pemerintahan, kepala desa, jasa perbankan, dan pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Dua pejabat BPN di antaranya, PS yang saat itu menjabat sebagai Ketua Tim Ajudikasi PTSL di Kantor BPN Kota Administrasi Jakarta Selatan. Saat ini menjabat koordinator Substansi Penataan Pertanahan Kantor Wilayah BPN Kota Administrasi Jakarta Utara. Serta, BM sebagai ketua Tim Ajudikasi PTSL di Kantor BPN Kota Administrasi Jakarta Selatan.

PS dan BM diduga terlibat dalam kasus penerbitan sertifikat hak milik terkait program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

"Oknum BPN diduga menerima sejumlah dana dari pemohon hak untuk menerbitkan sertifikat, yang mana sertifikat yang digunakan adalah sertifikat yang termasuk dalam program ajudikasi PTSL," kata Kasubdit Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Petrus Silalahi, dari kompas.com,Rabu 13 Juli 2022.

Memahami Modus Mafia Tanah

Para pejabat menyalahgunakan wewenang untuk menerbitkan sertifikat tanah dengan modus beragam. Lazimnya, dengan memalsukan dokumen tanah resmi milik orang lain. Seperti yang dilakukan PS dengan menghapus data tulisan nama di sertifikat dan menggantinya dengan nama baru. Sehingga, tanah yang menjadi obyek telah berpindah tangan.

"Jadi PS menghapus tulisan yang sudah diketik di sertifikat hanya dengan bayclean, kayu kecil dengan dililit tisu atau bisa juga dengan cutton bud," kata Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKP Mulya Adhimara.

Modus lainnya dengan memalsukan surat kuasa hingga mengganti foto identitas KTP pemilik tanah. Seperti yang terjadi di kasus Dino Pati Djalal.

“Surat kuasa direkayasa, seolah-olah dia menandatangani di depan notaris, padahal mereka hanya figur,” kata Tenaga Ahli Kementerian ATR/BPN, Iing R. Sodikin Arifin.

Masih menurut Iing seperti dilansir dari bisnis.com, banyak alas hak yang dipalsukan oleh mafia tanah lalu dijadikan gugatan di pengadilan. Sidang perdata tidak menguji materiil. Berlaku asas, siapa yang menggugat dia harus mendalilkan.

Presiden Jokowi berkomitmen untuk memberantas mafia tanah di Indonesia. (Antara)

Dirjen Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah, Agus Widjayanto pun tak menampik banyak mafia tanah yang menggunakan modus dengan menggugat ke pengadilan dan menang meski diputus verstek atau tanpa kehadiran pihak tergugat.

"Ada tanah kosong, digugat dan diputus verstek atau diputus tanpa kehadiran tergugat. Diputuskan lah penggugat sebagai pemilik tanah. Atas dasar itu dia ajukan permohonan ke BPN. BPN menolak digugat lagi ke PTUN, tapi dia sudah punya putusan perdata. Kalau dikabulkan maka putusan PTUN akan membatalkan sertifikat yang sudah ada. Ini modus juga," katanya dilansir dari beritasatu.com.

Sistem hukum pertanahan di Indonesia masih memiliki banyak celah yang dapat dimanfaatkan oleh mafia tanah. Sebab, banyak bukti hak alas yang ada di Indonesia, seperti girik, verponding, dan Surat Keterangan Penguasaan Tanah yang masih dipergunakan untuk mengklaim suatu bidang tanah. Lalu, bila terjadi sengketa, pemenangnya justru pemegang tanah verponding.

Padahal, kata Ahok di kompas.com, verponding sudah tidak diakui UU. Contoh bekas Kantor Wali Kota Jakarta Barat. "Itu kantor harusnya merah (zona peruntukannya), untuk pemerintahan. Bagaimana zaman (Gubernur) Ali Sadikin pernah menang, lalu hanya karena kesaksian seorang lurah lalu kami kalah. Sudah kalah, kami juga wajib bayar sewa ke dia Rp40 miliar. Dia tidak pernah wajib bayar PBB."

Bentuk Tim dan Transformasi Digital  

Pemerintah sebenarnya sudah melakukan beragam upaya mengatasi aksi para mafia tanah. Sejak 2018, sudah terbentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti-Mafia Tanah yang berkolaborasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Kementerian ATR/BPN pun sudah siap melakukan transformasi digital layanan pertanahan yang akan melakukan pendataan terhadap setiap bidang tanah beserta kepemilikannya.

Selain itu, Presiden Jokowi kabarnya juga akan membentuk tim khusus lain yang akan menangani permasalahan mafia tanah. Tim terdiri dari lintas kementerian dan lembaga, termasuk KPK. Bukan tidak mungkin, tim akan melakukan penyelidikan kembali terhadap kasus-kasus mafia tanah.

"Pemerintah berkomitmen penuh dalam memberantas mafia-mafia tanah. Kepada jajaran polri saya minta jangan ragu-ragu mengusut mafia-mafia tanah yang ada. Jangan sampai ada penegak hukum yang justru melindungi para mafia tanah. Perjuangkan hak masyarakat dan tegakkan hukum secara tegas,” ucap Jokowi dilansir dari kompas.com, 22 September 2021.

Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto, akan optimalkan teknologi digital seperti blockchain untuk mencegah mafia tanah. (Antara) 

"Putusan pengadilan yang sudah inkrah sekalipun akan kita tingkatkan perdatanya, akan kita lihat pidananya supaya mafia tanah tidak beroperasi terus merampas tanah negara, tanah rakyat," sambung Menkopolhukam Mahfud MD pada momen terpisah.

Di sisi lain, masyarakat pemilik tanah pun harus waspada dan jangan sembrono. Tanah adalah aset dengan nilai besar.

"Selektiflah dalam melakukan jual-beli tanah dan selektif memilih Pejabat Pembuat Akta tanah," kata Tenaga Ahli Kementerian ATR/BPN Iing R. Sodikin Arifin dari bisnis.com.

Masyarakat pemilik tanah juga harus memahami aturan-aturan yang berlaku dalam pertanahan. Seperti, pemilik tidak boleh menelantarkan tanah. Bila itu terjadi, pemerintah bisa mengambilnya. Sesuai UU Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 180. 'Apabila hak, izin, atau konsesi atas tanah atau kawasan yang sengaja tidak usahakan atau ditelantarkan pemiliknya dalam jangka waktu 2 tahun sejak diberikan akan dikembalikan kepada negara.'

"Konsepnya 3R, Rights, Restrict, and Responsibility,” tandas Iing.