Pengakuan Mantan Napi Teroris Komandan NII Wilayah 9 Belajar dari Guru yang Salah, Bagikan Cara Cegah Radikalisme
PONTIANAK - Kantor Kementerian Agama Pontianak, Kalimantan Barat, menghadirkan mantan teroris sebagai pembicara dalam diskusi kelompok bertema (FGD ) dengan tema moderasi beragama, di Rumah Ada Melayu.
Mereka adalah Ken Setiawan, bekas komandan NII Wilayah 9 dan pendiri NII Crisis Centre (Pusat Rehabilitasi Korban NII dan Radikalisme). Juga ada Rosnazizi, bekas narapidana teroris asal Singkawang yang pernah terpapar radikalisme.
Setiawan menyatakan, radikalisme sebenarnya virus yang bisa menimpa siapa saja, sehingga perlu pemahaman Pancasila dengan baik dan pengamalan yang benar agar tidak terpapar seperti dirinya dulu, dan dia bisa terpapar virus radikal karena menganggap Pancasila itu sebagai pujaan berhala.
Padahal konsep Pancasila sudah finis secara utuh sebagai falsafah negara Indonesia.
“Saya dulu belajar dengan guru yang salah, sehingga memahami tafsir-tafsir dengan cara yang salah. Saya juga menganggap Pancasila itu pujaan berhala. Padahal sejatinya, tidak ada pertentangan dalam Pancasila mengenai ajaran-ajaran agama,” katanya dilansir ANTARA, Kamis, 14 Juli.
Menurut dia dari anggapan keliru terhadap Pancasila, memudahkan seseorang berpindah haluan dari nilai-nilai agama sebenarnya. Ditambah lagi permasalahan munculnya sikap intoleran di tengah masyarakat, memicu paham radikal ini tumbuh. Ada kelompok yang mengaku pancasilais, tapi tidak memahami makna sebenarnya dari Pancasila itu sendiri dan merasa kelompoknya benar, sementara kelompok lain salah.
Untuk menghindari virus radikal ini, masyarakat perlu memahami dan mengamalkan Pancasila secara berurutan, tidak melompat. Dimulai dengan mengamalkan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, ini akan menciptakan pribadi yang damai.
Pada satu sisi, memang agama di Indonesia beragam, namun intinya Tuhan itu tetap satu, hanya penamaan untuk Tuhan itu saja berbeda.
Ketika sudah meresapi dan mengaplikasikan sila pertama dengan baik, sila kedua akan mudah diimplementasikan melalui prinsip memanusiakan manusia (sila kedua) walau berbeda agama dan etnis.
"Setelah kita beradab, maka kita bersatu (sila ketiga), kemudian bermusyawarah mufakat, Insya Allah barulah berkeadilan sosial (sila kelima). Ini yang harus kita bangun, boleh berbeda tapi jangan menyalahkan sehingga kita bisa berdamai semuanya antar umat beragama,” kata dia.
Ia berharap, umat beragama harus sering bertemu dalam kegiatan positif untuk memupuk persatuan dan meminimalisir masuknya radikalisme. Ia juga yakin, dengan kerapnya kegiatan perkumpulan ini akan tercipta moderasi beragama yang indah. Karena selama ini dia melihat, perkumpulan lintas agama ini masih kurang, jadi perlu ditingkatkan.
Sementara itu bekas narapidana teroris, Rosnazizi, bercerita dan mengisahkan pengalamannya hingga bisa terpapar paham radikalisme. Ketika itu dia hanya belajar satu guru yang melahirkan opini dan aksi menyesatkan, padahal untuk mendapatkan ilmu yang benar harus banyak guru yang diikuti.
“Kita harus belajar dari sumber yang benar dan jangan hanya satu pintu. Dulu saya juga menganggap Pancasila itu bertentangan dengan Al Quran dan sunnah. Tapi hari ini saya mengatakan Pancasila sudah sesuai dengan Al Quran dan sunnah,” katanya.
Namun dia tetap berpesan agar umat beragama tidak mudah menilai secara negatif umat beragama lainnya dari sisi penampilan. Belum tentu penampilan berciri kaum radikal itu, faktanya radikal, bisa sebaliknya. "Yang harus diperhatikan, akhlak kita dalam kehidupan bermasyarakat," katanya.
Baca juga:
Diskusi mengusung tema "Moderasi Beragama dan Pluralisme: Sebuah Alternatif dan Solusi Problem Kebangsaan". Hadir sebagai peserta dalam kegiatan itu 300 orang, terdiri dari pengelola pondok pesantren, pengurus masjid, penyuluh lintas agama se-Pontianak, dan Paguyuban Merah Putih Pontianak.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Kalimantan Barat, Syahrul Yadi, menyatakan, kehadiran dua nara sumber ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat khususnya peserta tentang paham radikal dan moderasi beragama yang menjadi prioritas program nasional.
Menurut dia, potensi persatuan dan perpecahan di Indonesia, Kalbar khususnya sangat kental, maka harus kembali pada Kebhinnekaan Tunggal Ika.
“Orang beragama rentan dan sangat mudah tersinggung jika bicara soal agama. Kencang bahkan tidak dipikirkan dari sisi budaya, bahkan nyawa pun siap untuk dikorbankan. Ada kekuatan kiri dan kanan, maka kita harus menguatkan kekuatan tengah, yaitu bermodernisasi agama,” ujarnya.