Fahri Hamzah Respons Santai Partai Gelora Diramal BRIN Tak Lolos Parlemen: Demokrasi itu Pasar Ide
JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah merespons santai partainya diramal tak lolos ke Senayan karena terganjal ambang batas parlemen atau parliamentary threshold 4 persen.
Fahri hanya tertawa saat peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memprediksi partai politik (parpol) baru berpeluang kecil untuk lolos ke parlemen di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, termasuk Partai Gelora.
"Hehe. Demokrasi itu pasar ide," ujar Fahri kepada VOI, Rabu, 13 Juli.
Menurut Fahri, ambang batas baik parlemen maupun pencapresan seharusnya sudah dihapus. Tidak ada lagi parliamentary threshold 4 persen ataupun presidential threshold 20 persen. Sebab kata dia, namanya demokrasi adalah memenangkan suara rakyat.
"Secara teoritis dalam demokrasi, setiap suara harus bermakna. Jadi harusnya threshold harus dihapus. Tapi Gelora siap memenangkan arah baru pikiran rakyat Indonesia," tegas Fahri.
"Dalam demokrasi start up bisa langsung kalahkan kekuatan lama," sambung mantan Wakil Ketua DPR itu.
Fahri menilai, istilah lolos tidak lolos hanya disematkan kepada calon legislatif bukan untuk partai. "Istilah lolos itu harusnya dilekatkan pada anggota DPR bukan partainya.
Berkaca pada pemilu lalu, ada seorang caleg gagal lolos ke Senayan lantaran partainya kurang memenuhi ambang batas dan gagal menjadi anggota dewan. Fahri pun menegaskan, hal-hal tersebut harus segera diakhiri karena sama saja menganulir pilihan rakyat. Karenanya, ia menyarankan agar ambang batas parlemen dihapuskan.
"Itu dia, mesti diakhiri. Karena pilihan rakyat penting. Batasnya (adalah) pilihan rakyat," pungkas Fahri.
Baca juga:
Sebelumnya, Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro memprediksi partai politik (parpol) baru memiliki peluang kecil untuk lolos ke parlemen di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
“Peluang partai baru tidak besar karena memperebutkan jumlah yang sama, kecuali jumlah partai Islam tidak banyak. Tidak prospektif,” kata Siti Zuhro saat dihubungi di Jakarta, Antara, Selasa, 12 Juli.
Partai berbasis massa muslim yang dimaksud peneliti senior itu di antaranya, Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia yang dibentuk bekas elite PKS Anis Matta dan Fahri Hamzah.
Partai Ummat besutan pendiri PAN Amien Rais, dan Partai Pelita yang diprakarsai oleh mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin.
Partai Masyumi “Reborn” yang didirikan oleh mantan politikus PPP Ahmad Yani, dan Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI).
Selain partai-partai Islam yang memperebutkan basis massa sama, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang dipimpin eks anggota DPR dari Fraksi Demokrat I Gede Pasek Suardika, dan Partai Buruh yang dipimpin oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, juga berupaya menjadi kontestan Pemilu 2024.
Menurut Siti, kalau pun lolos verifikasi faktual Komisi Pemilihan Umum (KPU), partai-partai baru tersebut masih harus berupaya keras untuk lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar empat persen. Perjalanan pemilu menunjukkan, hanya sedikit partai baru yang melenggang ke Senayan.
Dari sembilan partai yang lolos ambang batas parlemen empat persen di Pemilu 2019 lalu, tidak ada satu pun partai baru.
“Jadi, fenomena empiris bahwa partai baru tidak mudah mendapatkan kursi di DPR RI, kalaupun dapat yang di daerah provinsi, kabupaten/kota DPRD lolos,” ujar Siti.
Sebaliknya, ada partai lama yang sebelumnya mendapatkan kursi di DPR, tetapi di Pemilu 2019 gagal memenuhi ambang batas parlemen. Partai yang dimaksud adalah Partai Hanura. Itu menunjukkan tidak mudah bagi parpol mengikuti pemilu, apalagi bagi partai baru.
“Yang mengkhawatirkan justru partai yang sudah eksis di DPR bisa terpental, sementara partai baru belum tentu masuk,” sambungnya.