Kejagung Anggap Putusan PTUN soal Jaksa Agung Tak Tepat
JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) menilai majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengeluarkan keputusan tidak tepat. PTUN menyatakan Jaksa Agung melawan hukum karena menyebut peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan perlanggaran HAM berat.
Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejagung Ferry Wibisono mengatakan, setidaknya kekeliruan yang dilakukan majelis hakim PTUN perihal pernyataan Jaksa Agung yang dianggap sebagai tindakan konkret pemerintah.
Padahal, pernyataan itu ditegaskan Ferry hanya penyampaian informasi pada saat rapat kerja bersama anggota komisi III DPR.
"Ucapan Jaksa Agung dalam rapat komisi III adalah pemberian informasi, bukan suatu tindakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan," ujar Ferry kepada wartawan, Kamis, 5 November.
Terlebih jika merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 2 pasal 1 angka 1 tahun 2019 tentang Administrasi Pemerintahan, pernyataan Jaksa Agung bukanlah perbuatan konkret.
Menurut Ferry, seharusnya pelanggaran terjadi bila Jaksa Agung melakukan tindakan yang berkaitan dengan penangann perkara, memproses penanganan perkara, tahapan termasuk P-19 atau P-21 berkas perkara.
"Kami berpandangan menurut kategori yang ada bahwa tindakan ucapan tersebut bukan merupakan kategori sebagai tindakan pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan," kata dia.
Sebelumnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan Jaksa Agung ST Burhanuddin kalah dalam gugatan di pengadilan. Jaksa Agung disebut melawan hukum karena menyebut peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan perlanggaran HAM berat.
Baca juga:
Hal ini tertuang dalam putusan gugatan yang dilayangkan oleh Sumarsih, ibu dari salah satu korban tragedi 1998. Sumarsih sebagai penggugat dan Jaksa Agung sebagai tergugat. Artinya, PTUN Jakarta memenangkan gugatan Sumarsih.
"Mengadili, menyatakan eksepsi-eksepsi yang disampaikan tergugat tidak diterima. Pokok perkara, mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Andi Muh Ali Rahman, yang dilihat dalam situs resmi Direktori Putusan MA, Rabu, 4 November.
Hakim PTUN menyatakan ucapan Burhanuddin dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR dan Jaksa Agung pada tanggal 16 Januari 2020 yang menyampaikan Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM berat adalah perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Selain itu, juga mewajibkan Jaksa Agung membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi I dan II sesuai keadaan yang sebenarnya. Selain itu hakim juga menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 285.000.
Persoalan ini bermula ketika ST Burhanuddin melangsungkan rapat kerja DPR Januari lalu. Dalam rapat itu dia menyebutkan kasus penembakan mahasiswa yang terkenal dengan persitiwa Semanggi I dan II 1998 bukan pelanggaran HAM berat.
"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil Rapat Paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," kata Burhanuddin.
Namun Burhanuddin tak menjelaskan lebih lanjut kapan rapat paripurna DPR yang dia maksud digelar. Alasan belum selesainya penanganan HAM berat karena tidak lengkapnya berkas yang disusun oleh penyelidik Komnas HAM.
"Adapun penyebabnya tidak lengkapnya berkas tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu penyelidik hanya memenuhi sebagian petunjuk hasil penyelidikan tidak cukup bukti hasil penelitian tidak dapat mengidentifikasi secara jelas terduga pelaku pelanggaran," paparnya.