Seisi Dunia Harap-harap Cemas Menanti Pemenang Pilpres AS, Trump atau Biden
JAKARTA - Hasil pemilihan presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) yang mempertemukan Donald Trump dan pesaingnya Joe Biden, tak cuma dinantikan warga negeri Paman Sam. Seisi dunia saat ini harap-harap cemas menantikan siapa jawara yang akan menjadi orang nomor satu di negara adidaya, AS.
Melansir Reuters, Rabu, 4 November, deklarasi kemenangan oleh Trump dikecam banyak pihak. Ada warga AS yang menilai deklarasi kemenangan sebelum penghitungan suara final seperti menginjak-injak norma demokrasi. Karena deklarasi dini kemenangan di tengah penghitungan suara, reaksi demi reaksi ditunjukkan banyak pemimpin negara di dunia.
Salah satunya, Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab. Raab mengajak warga Inggris tak langsung berspekulasi mengungkap kemenangan salah satu calon presiden. Menurut Raab, ada baiknya orang-orang menunggu hasil penghitungan suara sampai selesai.
"Mari kita tunggu dan lihat bagaimana hasilnya. Jelas ada ketidakpastian yang signifikan. Ini jauh lebih dekat dari yang saya kira banyak orang harapkan," kata Raab.
Berbeda dengan Raab yang mendesak warganya untuk tak buru-buru berspekulasi. Perdana Menteri Slovenia, Janez Jansa malah langsung menyampaikan ucapan selamat kepada Trump. Jansa yang diketahui bersahabat dengan Trump meyakini Pilpres AS sudah selesai dengan kemenangan berada di tangan suami dari Melania.
“Cukup jelas bahwa rakyat Amerika telah memilih @realDonaldTrump dan @Mike_Pence untuk 4 tahun ke depan. Lebih banyak penundaan dan fakta yang menyangkal #MSM, lebih besar kemenangan akhir untuk #POTUS,” kicau Jansa lewat Twitter.
Baca juga:
Hiburan yang menarik
Keriuhan tak hanya milik para pemimpin negara. Masyarakat dunia pun ikut meramaikan tagar #Trump, #Biden, dan #Uselections2020. Bahkan ketiga tagar tersebut sedang tren di Rusia, Pakistan, Malaysia, Kenya, Eropa, hingga seluruh Amerika Latin. Populernya tagar membuktikan bahwa masyarakat dunia sudah tak sabar menanti pemenang di antara kedua kandidat.
Karena itu, anggota parlemen Rusia, Vyacheslav Nikonov, justru menyarankan warga Rusia untuk segera membeli popcorn sebagai camilan menonton penghitungan suara antara Trump vs Biden. Menurutnya, Pilpres AS hanya akan memecah belah pendukung keduanya.
"Hasil pemilu adalah hasil terburuk bagi Amerika. Siapa pun yang memenangkan pertarungan hukum, setengah dari orang Amerika tidak akan menganggap mereka sebagai presiden yang sah. Mari kita persediaan popcorn dalam jumlah banyak," tulis Nikonov.
Senada dengan Nikonov, masyarakat Australia pun tampak menikmati Pilpres AS sebagai sebuah tontonan yang menghibur, salah satunya Glen Roberts. Glen yang sengaja datang ke bar di Sydney hanya untuk menonton idolanya Trump memenangkan Pilpres. Sampai-sampai, Glen mengenakan topi dengan slogan kampanye Trump yang sedikit diplesetkan, yakni “Make Europe Great Again.”
"Beritanya jauh lebih baik saat Trump masuk. Kamu tidak pernah tahu apa yang dia katakan, itu sangat bagus. Saya pikir akan kurang menarik jika Trump kalah,” imbuh Glen.
Jikalau Glen hanya menikmati Pilpres AS sebagai hiburan, maka berbeda dengan warga Sydney lainnya, Luke Heinrich. Bagi Luke, Pilpres AS bukan cuma perkara hiburan semata. Akan tetapi, pemenang Pilpres akan mempengaruhi perpolitikan dunia selama empat tahun mendatang.
"Saya pikir itu memengaruhi kita semua, apa yang terjadi di sana sangat penting untuk empat tahun ke depan di sini," kata warga Sydney, Luke Heinrich.
Di China pun begitu. Sekalipun banyak orang yang paham bahwa hubungan China dengan AS semasa Trump menjadi presiden memburuk, tetap saja kepemimpinan Trump banyak mendapat dukungan lewat media sosial China, Weibo. Menurut mereka, Trump adalah aktor utama dari rusaknya demokrasi AS.
“Apakah dia menang atau kalah, misi terakhirnya adalah menghancurkan penampilan demokrasi Amerika,” tulis seorang pengguna di platform Weibo.
“Biarkan Trump terpilih kembali dan ambil AS, ” tulis lainnya.
Sedangkan, di Nigeria seorang politikus terkemuka, Shehu Sani tampak berkelakar bahwa dengan pengelenggaraan Pilpres AS yang amburadul, hendaknya AS belajar kembali terkait demokrasi di Afrika.
“Afrika dulu belajar demokrasi Amerika, Amerika sekarang belajar demokrasi Afrika,” tuturnya.