Pembunuhan Mantan PM Shinzo Abe: Jepang Seperti Kembali ke Masa Sebelum Perang Dunia II
JAKARTA – Berita mantan Perdana Menteri (PM) Jepang, Shinzo Abe meninggal sangat mengejutkan. Abe meninggal setelah ditembak pria bernama Yamagami Tetsuya saat berpidato di hadapan publik di Nara, kota di sebelah timur Osaka di Pulau Honshu pada 8 Juli 2022.
Tragedi itu sungguh luar biasa, mengingat Jepang adalah sebuah negara yang sangat ketat dalam pengawasan senjata. Sejak kalah perang, Jepang juga memproklamasikan diri sebagai negara cinta damai dan antikekerasan.
Kejadian yang menimpa Shinzo Abe mengingatkan masyarakat dunia pada hari-hari yang penuh kekerasan dalam perpolitikan di Jepang, sebelum Perang Dunia II. Ketika itu serangkaian pembunuhan terhadap tokoh politik papan atas Jepang menjadi hal yang biasa.
Dimulai pada 1921 ketika PM Takashi Hara ditikam hingga tewas di Stasiun Tokyo oleh seorang karyawan muda perusahaan kereta api Jepang bernama Nakaoka Kon’ichi pada 4 November. Hara adalah perdana menteri pertama yang tidak berasal dari dinasti politik di Jepang. Dia datang dari rakyat biasa, juga politikus beragama Kristen pertama yang menjadi PM Jepang.
Hara yang cinta damai tidak populer di kalangan konservatif dan ultranasionalis Jepang, yang saat itu sedang sangat bersemangat menggelorakan imperialisme dan perang. Hara justru membawa Jepang berpartisipasi dalam Konferensi Perdamaian Paris dan ikut mendirikan Liga Bangsa-Bangsa untuk mengakhiri Perang Dunia I.
Pada 1930 kekerasan terhadap pemimpin politik di Jepang terulang lagi. Kali ini menimpa PM Osachi Hamaguchi. Hamaguchi ditembak pria simpatisan kaum ultranasionalis bernama Tomeo Sagoya di lokasi yang sama saat penyerangan terhadap Takashi Hara, Stasiun Tokyo pada 14 November. Hamaguchi meninggal beberapa bulan setelah penembakan tersebut, akibat luka parah yang berimbas pada kesehatannya.
Dua tahun berikutnya, kejadian serupa terulang lagi. Kali ini menimpa PM Tsuyoshi Inukai. Sebanyak 11 perwira muda angkatan laut Jepang menyerbu kediaman PM Inukai di Tokyo pada 15 Mei 1932, menembak dan menewaskannya. Hubungan Inukai dengan militer Jepang memang tidak lekat, karena dia menentang perang. Sementara militer Jepang saat itu sedang ngotot untuk berperang melawan Amerika Serikat.
Serbuan 11 perwira muda angkatan laut Jepang itu sebenarnya juga menyasar bintang komedi terkenal Amerika, Charlie Chaplin yang saat itu sedang berada di Jepang. Harapan mereka, jika Chaplin tewas maka itu akan memancing reaksi Amerika untuk menggelar perang. Namun Chaplin tidak berada di lokasi saat penyerangan terjadi. Dia sedang menonton pertandingan sumo bersama putra Inukai, Takeru, sehingga lolos.
Penyerangan Kakek Shinzo Abe
Shinzo Abe yang lahir di Tokyo pada 21 September 1954 berasal dari dinasti politik Jepang. Ayahnya, Shintaro Abe pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Jepang. Kakeknya dari pihak ayah, Kan Abe adalah anggota legislatif Jepang selama 9 tahun, 1937-1946. Kakeknya dari pihak ibu juga politikus ulung Jepang. Dia adalah Nobusuke Kishi, PM Jepang yang menjabat pada 1957-1960.
Seperti halnya Shinzo Abe, Nobusuke Kishi juga pernah diserang seseorang namun masih terselamatkan. Kishi diserang seorang pria bernama Taisuke Aramaki dengan senjata belati. Kishi diserang di kediamannya di Tokyo pada 14 Juli 1960, saat akan menggelar pesta untuk merayakan keberhasilan Hayato Ikeda yang menggantikannya sebagai PM Jepang.
Kishi mengalami enam luka tusuk di paha, namun nyawanya terselamatkan karena tusukan Aramaki tidak mengenai pembuluh darah utama. Setelah dirawat dan mendapatkan 30 jahitan, Kishi dapat kembali beraktivitas normal.
Seperti dikutip The Japan Times, Aramaki menyangkal tudingan bahwa dia ingin membunuh Kishi. Dia mengatakan hanya ingin melukainya, bukan membunuh. Aramaki yang saat penyerangan berusia 65 tahun geram, karena Kishi dia anggap salah telah menyetujui Perjanjian Keamanan Jepang dan Amerika Serikat. Kesalahan tersebut menurut Aramaki mengakibatkan kematian Michiko Kanba, seorang aktivitis yang berdemonstrasi menentang perjanjian tersebut di Tokyo pada 15 Juni 1960, yang dalam Bahasa Jepang dikenal sebagai Anpo Toso, atau Protes Anpo.
“Ya, saya memang menusuknya sebanyak enam kali tapi bukan ingin membunuh. Jika saya ingin dia mati, itu mudah saja dilakukan karena saya punya kesempatan. Saya marah atas kesalahan dia soal Perjanjian Keamanan. Saya ingin membuat dia merasa menyesal,” ujar Aramaki, yang juga seorang simpatisan kaum ultranasionalis.
Pembunuhan Inejiro Asanuma
Pada tahun yang sama dengan peristiwa penusukan kakek Shinzo Abe, politikus Ketua Partai Sosialis Jepang, Inejiro Asanuma juga mengalami kejadian serupa. Asanuma diserang pemuda berusia 17 tahun bernama Otoya Yamaguchi saat tampil dalam debat politik yang disiarkan televisi NHK pada 12 Oktober 1960.
Yamaguchi yang juga simpatisan aliran ultranasionalis menusuk Asanuma menggunakan senjata wakizashi, pedang pendek tradisional Jepang. Tusukan anak muda tersebut mengenai jantung, yang menyebabkan Asanuma tewas. Peristiwa kekerasan politik tersebut menjadi sangat terkenal karena disiarkan televisi, yang konon sedang ditonton oleh 2 juta pemirsa.
Peristiwa terakhir penembakan PM Jepang sebelum Shinzo Abe, menimpa PM Morihiro Hosokawa pada Mei 1994. Seorang ultranasionalis bernama Mazakatsu Nozoe menembakkan pistol saat Hosokawa berpidato di Tokyo Hotel. Hosokawa selamat, karena tembakan Nozoe mengenai langit-langit hotel.
Sebenarnya tak hanya politikus papan atas Jepang seperti Shinzo Abe yang mengalami kekerasan akibat aktivitas politiknya. Politikus-politikus tingkat lokal juga banyak mengalami hal serupa. Misalnya Wali Kota Nagasaki, Histoshi Motoshima yang ditembak pada 1990; Gubernur Metropolitan Tokyo, Yukio Aoshima yang mendapatkan kiriman paket bom pada 1995; dan yang terbaru adalah penembakan Wali Kota Nagasaki, Itcho Ito pada 2007 oleh organisasi kriminal Yakuza yang menewaskannya.
Baca juga:
- Permasalahan yang Mengiringi Pengesahan Pemekaran Provinsi Papua Harus Segera Dibereskan
- Kapitan Pattimura adalah Thomas Matulessy, Bukan Ahmad Lussy Seperti yang Diceramahkan Ustaz Adi Hidayat
- Ukraina Memang Harus Dikunjungi Presiden Jokowi, karena Negara Itu Pernah Berjasa untuk Indonesia
- Holywings: Antara Kenekatan Berpromosi, Omzet Rp1 Miliar per Malam, dan Nasib Karyawan