Epidemiolog: Tak Tepat Angka Kesembuhan Jadi Rekomendasi Pengendalian Wabah

JAKARTA - Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menilai angka kesembuhan atau recovery rate kurang tepat dijadikan patokan bagi pemerintah untuk mengambil sikap terkait pengendalian wabah COVID-19. Sebab, hampir 80 persen pasien yang terkena virus ini akan pulih dengan sendirinya tanpa intervensi pengobatan.

"Meskipun angka pemulihan membantu memberi harapan positif pada publik, angka ini secara epidemiologi tidak banyak memberi informasi untuk membuat rekomendasi tindak lanjut dan mitigasi pengendalian wabah," kata Dicky seperti dikutip dari akun Twitter miliknya, Selasa, 3 November.

Lebih lanjut, saat dihubungi VOI, Dicky mengatakan angka kesembuhan ini tidaklah begitu bermakna dalam kaitan program pengendalian wabah COVID-19. 

"Karena ya, namanya secara fakta mayoritas pasien akan pulih dengan sendirinya tanpa intervensi apapun. Jadi ya, hanya diam di rumah itu yang utamanya," ujarnya.

Selain itu dia menilai, angka kesembuhan atau recovery rate ini cenderung tinggi karena biasanya dibarengi rendahnya angka pengujian COVID-19 di tengah masyarakat. Sehingga, masyarakat yang terpapar belum terdeteksi namun dia sudah menularkannya pada orang lain di sekitarnya.

"Jadi menurut saya, yang lebih penting untuk menilai performa program pengendalian kasus baik yang bergejala maupun terutama yang tidak bergejala di masyarakat dengan melihat positivity rate," jelas Dicky.

Diketahui, Indonesia hingga saat ini memang masih mencatatkan positivity rate sebesar 14,2 persen dan belum pernah turun secara drastis menjadi satu digit. Padahal, World Health Organization (WHO) merekomendasikan positivity rate di suatu negara tak lebih dari lima persen.

Adapun yang dimaksud dengan positivity rate adalah persentase orang yang memiliki hasil tes positif Covid-19 dibandingkan jumlah orang yang dites.

Kembali ke Dicky, dirinya mengatakan selama ini lembaga kesehatan di negara lain seperti Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat juga tak pernah menjadikan recovery rate atau angka kesembuhan sebagai rujukan bagi pengendalian COVID-19. Sebab, angka ini memang tak bisa dijadikan indikator.

Selain itu, angka kesembuhan ini juga sebaiknya dilihat lagi lebih lanjut. Mengingat, pasien yang pulih dari COVID-19 belum tentu kembali sehat seperti kondisi awal. 

"Ada yang setelah memasuki masa pulih ini dia memiliki gejala sisa. Riset membuktikan ada kerusakan di organ paru, jantung," ungkapnya.

Dia menyebut, angka kesembuhan ini memang boleh saja dijadikan salah satu cara untuk menyampaikan kabar baik. Namun, pemerintah tetap harus mengingatkan jajarannya dan masyarakat untuk kemudian tidak lengah dengan pandemi ini.

"Angka pulih memang bisa memberikan pesan positif, iya. Tapi harus berimbang dengan pesan yang membangun kesadaran dan kewaspadaan baik dari sisi kesadaran pemerintah sendiri pusat dan daerah dalam menerapkan 3T (testing, tracing, dan treatment) serta kesadaran masyarakat dalam menerapkan 3M (menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan)," pungkasnya.