Moskow Gagal Pecah-Belah, Presiden Biden Desak Para Pemimpin G7 untuk Tetap Solid Hadapi Rusia
JAKARTA - Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengatakan kepada sekutunya 'kita harus tetap bersama' melawan Rusia pada Hari Minggu, ketika para pemimpin G7 berkumpul untuk pertemuan puncak, di tengah perang di Ukraina dan dampaknya terhadap pasokan makanan dan energi serta ekonomi global.
Pada awal pertemuan di Pegunungan Alpen Bavaria, empat dari negara-negara kaya Kelompok Tujuh bergerak untuk melarang impor emas Rusia untuk memperketat sanksi yang menekan Moskow dan memotong sarananya untuk membiayai invasi ke Ukraina.
Tetapi, tidak jelas apakah ada konsensus G7 mengenai rencana tersebut, dengan Presiden Dewan Eropa Charles Michel mengatakan masalah itu perlu ditangani dengan hati-hati dan didiskusikan lebih lanjut.
Pada awal pertemuan bilateral, Presiden Biden berterima kasih kepada Scholz karena menunjukkan kepemimpinan di Ukraina dan mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin telah gagal menghancurkan persatuan mereka.
"Putin telah mengandalkannya sejak awal bahwa entah bagaimana NATO dan G7 akan terpecah. Tapi kami belum melakukannya dan kami tidak akan melakukannya," kata Biden.
KTT memberikan kesempatan bagi Scholz untuk menunjukkan kepemimpinan yang lebih tegas dalam krisis Ukraina.
Dia bersumpah akan melakukan revolusi dalam kebijakan luar negeri dan pertahanan Jerman setelah invasi Rusia pada Februari, tetapi sejak itu para kritikus menuduhnya menyeret kakinya.
Diketahui, Inggris, Amerika Serikat, Jepang dan Kanada menyetujui larangan impor emas baru Rusia, kata pemerintah Inggris, Minggu, seperti melansir Reuters 27 Juni.
Inggris mengatakan larangan itu ditujukan untuk orang kaya Rusia yang telah membeli safe-haven bullion, untuk mengurangi dampak finansial dari sanksi Barat. Ekspor emas Rusia senilai 15,5 miliar dolar AS tahun lalu.
Para pemimpin G7 di Inggris, Prancis, Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Italia, dan Kanada, juga melakukan pembicaraan sangat konstruktif, tentang kemungkinan pembatasan harga minyak Rusia, kata sumber pemerintah Jerman.
Sementara, seorang pejabat kepresidenan Prancis mengatakan Paris akan mendorong pembatasan harga minyak dan gas dan terbuka untuk membahas proposal AS.
Sebelumnya, para pemimpin G7 memang menyetujui janji untuk mengumpulkan 600 miliar dolar AS dana swasta dan publik, untuk negara-negara berkembang untuk melawan pengaruh China yang semakin besar dan melunakkan dampak melonjaknya harga pangan dan energi.
Diketahui, tuan rumah G7 Kanselir Jerman Olaf Scholz mengundang Senegal, Argentina, Indonesia, India dan Afrika Selatan sebagai negara mitra di KTT tersebut. Banyak negara di belahan dunia selatan mengkhawatirkan kerusakan tambahan dari sanksi Barat terhadap Rusia.
Baca juga:
- Flash Drive Perusahaan Rekanan Pemerintah Kota untuk Penyaluran Bantuan COVID-19 Hilang: Isinya Biodata, Alamat hingga Rekening Bank
- Presiden Korea Selatan Marah Gara-gara Kepolisian Nasional Umumkan Reshuffle Pejabat yang Belum Disetujui: Gangguan Disiplin Nasional
- Klaim Operasi Penyelamatan Korban Gempa Bumi Afghanistan Hampir Selesai, Taliban: Tidak Ada yang Terjebak di Bawah Puing-puing
- Pasukan Rusia Coba Kepung Lysychansk, Moskow Selangkah Lebih Dekat Capai Salah Satu Target Perang: Kuasai Lugansk
Seorang pejabat Uni Eropa mengatakan negara-negara G7 akan mengesankan negara-negara mitra bahwa kenaikan harga pangan adalah hasil dari tindakan Rusia bukan sanksi Barat.
Selain itu, para pemimpin G7 juga diharapkan untuk membahas opsi untuk mengatasi kenaikan harga energi dan mengganti impor minyak dan gas Rusia, serta sanksi lebih lanjut yang tidak memperburuk krisis biaya hidup yang mempengaruhi populasi mereka sendiri.
Melonjaknya harga energi dan pangan global memukul pertumbuhan ekonomi setelah konflik di Ukraina, dengan peringatan PBB tentang "krisis kelaparan global yang belum pernah terjadi sebelumnya". Dan, perubahan iklim juga diatur dalam agenda pertemuan G7 kali ini.