Mandek Cicil Kredit 450 Juta Dolar AS kepada Sindikasi CIMB Niaga, Bank Mandiri, dll, Titan Infra Energi Malah Bangun Jalan
JAKARTA - Harga batu bara yang terus merangkak naik membuat sejumlah perusahaan yang bergerak di sektor ini agresif melakukan ekspansi. Salah satunya PT Titan Infra Energi, perusahaan tambang batu bara di Sumatera Selatan, yang akan membangun jalan hauling alias jalan tol khusus untuk angkutan batu bara sepanjang 30 kilometer.
Berdasarkan pemberitaan sejumlah media baru-baru ini, Direktur Operasional PT Titan Infra Energy Suryo Suwignjo menyatakan, pembangunan jalan hauling baru tersebut untuk menghubungkan jalur yang ada ke lokasi tambang batu baranya.
Saat ini anak usaha Titan Group itu telah mengoperasikan jalur hauling sepanjang 113 kilometer, mencakup tiga kabupaten, yakni Lahat, Muara Enim dan Pali. Rencana pengembangan infrastruktur jalan yang dilakukan Titan, mencerminkan kondisi arus kas perusahaan tambang batu bara tersebut dalam kondisi sehat dan operasional perusahaan berjalan normal.
Namun, di sisi lain, sejak dua tahun lalu, hingga kini Titan dikabarkan juga tidak membayar sepeserpun cicilan kreditnya senilai 450 juta dolar AS kepada para kreditur. Hal itu ditegaskan oleh Direktur Kepatuhan CIMB Niaga Fransiska Oei dalam surat keterbukaan informasinya kepada otoritas bursa, pekan lalu.
Fransiska menyatakan bahwa, pinjaman sindikasi yang diberikan kepada Titan berstatus kredit macet. Namun, kegiatan operasional dan produksi perusahaan tersebut masih berjalan normal.
Sengkarut kredit macet itu berawal pada 2018, ketika sindikasi lembaga pembiayaan yang beranggotakan: Bank CIMB Niaga, Bank Mandiri, Credit Suisse dan Trafigura mengucurkan kredit senilai 450 juta dolar AS kepada Titan Group. Tujuan kredit itu adalah untuk pembangunan jalan tol (hauling road) sebagai akses dari tambang ke pelabuhan.
Jalan ini juga digunakan oleh perusahaan tambang lain dan masyarakat umum dengan membayar biaya tol kepada Titan. Selain itu, sebagian dari kredit tersebut digunakan untuk modal kerja perusahaan.
Bank peserta sindikasi merancang kredit tersebut untuk diangsur hingga lunas dengan menggunakan asumsi harga batu bara di pasar internasional kala itu sebesar 40 dolar AS per ton. Nyatanya, harga batu bara malah terus meningkat pesat.
Pada 2019, harga rerata batu bara sebesar 67 dolar AS per ton; meningkat lagi di 2020 sebesar 78 dolar AS per ton; dan pada 2021 mencapai 165 dolar AS per ton; bahkan pada Juni 2022 sempat menyentuh 400 dolar AS per ton, atau naik 10 kali lipat dari asumsi awal, saat kredit disalurkan ke Titan.
Berdasarkan sejumlah data di atas, Titan semestinya mampu membayar cicilannya, bahkan termasuk mempercepat pelunasan kreditnya. Namun, yang terjadi sebaliknya, pada Februari 2020, Titan mulai tidak membayar cicilan kreditnya. Hingga akhirnya pada Agustus 2020, kredit ke perusahaan tersebut berstatus kolektabilitas 5 alias macet.
Lantaran tidak adanya kejelasan skema penyelesaian kewajiban Titan kepada kreditur membuat bank peserta sindikasi sepakat, menilai debitur terindikasi 'nakal'. Sebab, operasional perusahaan nyatanya berjalan lancar, harga batu bara terus meningkat, namun manajemen tidak mau membayar utang.
Laporan lembaga independen Deloitte dan Borelli Walsh/Kroll, yang melakukan audit keuangan terhadap Titan menegaskan hal itu. Kedua lembaga tersebut menyampaikan adanya potensi ketidakpatuhan Cash Account Management Agreement (CAMA) yang dilakukan manajemen Titan. Ketidakpatuhan tersebut berdampak pada tidak adanya dana yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kewajiban kredit Titan kepada kreditur sindikasi.
Baca juga:
Karena tidak adanya itikad baik dari manajemen Titan, membuat bank peserta sindikasi akhirnya mengadukan hal tersebut kepada Kepolisian, dengan delik dugaan tindak pidana penggelapan dan pencucian uang. Sebab, Titan tidak mematuhi perjanjian, dengan tidak menyetorkan dana ke rekening penampungan untuk pembayaran cicilan, dan malah disetor ke rekening lain.
Menanggapi keterbukaan informasi yang disampaikan kreditur kepada otoritas bursa terkait kredit macet Titan, Direktur Utama PT Titan Infra Energy Darwan Siregar menyatakan akan membuka komunikasi kembali dengan para kreditur, termasuk Bank Mandiri. Dia berharap bisa kembali membahas restrukturisasi kredit Titan.
"Kami akan segera datangi kembali Bank Mandiri. Sebagai nasabah, kami berharap komunikasi bisa berjalan lebih baik lagi," tutur Darwan, seperti dikutip sejumlah media, Jumat lalu.
Menurut Kiswoyo Adi Joe, Head Of Investment PT Reswara Gian Investa, laporan kreditur ke aparat hukum atas dugaan tindak pidana yang dilakukan debitur dalam upaya restrukturisasi kredit adalah hal yang wajar. Hal itu sebagai upaya perbankan maupun lembaga keuangan dalam mencegah potensi kerugian yang semakin memburuk akibat sikap tidak kooperatif debitur.
Selaku praktisi sektor keuangan dan pasar modal, Kiswoyo menegaskan, sungguh tidak masuk akal, jika disebutkan bahwa kegiatan bisnis dan operasional debitur tetap berjalan normal, namun perusahaan tersebut mengaku tak mampu melaksanakan kewajibannya kepada kreditur.
"Restrukturisasi kredit macet itu macam-macam bentuknya. Mulai dari memperpanjang tenor, mengurangi nilai denda, memotong suku bunga, membantu mencarikan investor baru, hingga melaporkan ke aparat hukum, jika memang terbukti ada pelanggaran oleh debitur," ujar Kiswoyo, dalam keterangannya, Senin 27 Juni.
Agar tidak berlarut-larut dan semakin memburuk, Kiswoyo menyarankan agar seluruh pihak terkait, termasuk regulator bisa duduk bersama menyelesaikan persoalan tersebut. Tujuannya agar upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah pasca pandemi COVID-19 tidak terganggu oleh kredit macet yang nilainya sangat besar itu.