Eksklusif, Sekum PDSI Erfen Gustiawan Suwangto Tegaskan Organisasi Kedokteran Perlu Reformasi
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul dijamin oleh konstitusi negara Indonesia. Karena itu kata Sekretaris Umum (Sekum) Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI); dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH (Kes), setiap orang berhak untuk berkumpul dan mengikuti organisasi apa pun yang diyakininya dapat mewujudkan perjuangannya dan melindungi saat terjadi persoalan. Organisasi kedokteran yang ada saat ini menurut dia harus direformasi agar tidak ketinggalan zaman.
***
Selama 70 tahun lebih sejak IDI (Ikatan Dokter Indonesia) berdiri pada 24 Oktober 1950 tak ada satu pun organisasi kedokteran yang muncul di luar IDI. Kelahiran PDSI menjadi yang organisasi kedoteran yang pertama yang bisa muncul tanpa surat rekomendasi dari IDI. Dalam istilah dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH (Kes) apa yang terjadi pada organisasinya seperti pemecah kebuntuan alias pecah telur. Tak salah kalau mereka menegaskan kalau perlu reformasi di organisasi kedokteran.
“Selama ini perkumpulan dokter itu banyak, namun semuanya di bawah naungan IDI. Setelah 70 tahun baru PDSI yang muncul dan tidak di bawah IDI. Ini baru pertama dan pecah telur. Dulu Menkumhan tidak akan kasih izin organisasi dokter kalau tidak ada surat dari IDI,” katanya.
Meski memproklamirkan diri sebagai wadah dan tempat berkumpulnya para dokter, namun kemunculkan PDSI kata Erfen bukan untuk menyaingi hegemoni IDI selama ini. Soalnya mereka juga tidak menginginkan wewenang IDI yang dianggap terlalu besar selama ini. Mereka hanya ingin memposisikan organisasi kedokteran itu seperti di mancanegara, misalnya Amerika Serikat. Organisasi kedokteran tidak tunggal dan para dokter bebas untuk ikut organisasi yang menurutnya cocok.
Ia menampik kehadiran, PDSI karena mereka termasuk dalam barisan sakit hati akibat Dokter Terawan Agus Putranto, mantan Menteri Kesehatan yang diberhentikan secara permanen dari keanggotaan IDI belum lama ini. Menurutnya itu hanya jadi momentum saja. Upaya untuk melawan dominasi IDI sudah dilakukan sejak tahun 2017. “Jadi jauh sebelum ada kisruh terkait Dokter Terawan. Kami memohon ke MK supaya Koligium Kedokteran yaitu perhimpunan spesialis itu independen dari IDI,” katanya.
Sebagai organisasi kedokteran baru, target yang dipasang PDSI tidak banyak, salah satu yang diungkap pria yang lulus dari Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Layanan Primer Universitas Padjadjaran ini, adalah rencana mereka mengusulkan amandemen terhadap UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Bagaimana awal mula kemunculan PDSI dan Langkah-langkah yang dilakukan kini dan nanti, inilah petikan wawancaranya dengan Iqbal Irsyad, Edy Suherli, dan Rifai dari VOI yang menemuinya di tempat praktiknya di bilangan Tambora, Jakarta Barat, belum lama berselang.
Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) belum lama ini dideklarasikan, apa yang melandasi lahirnya PDSI ini?
Yang melandasi berdirinya PDIS adalah kemerdekaan berserikat berkumpul semua sudah dijamin di pasal 28 undang-undang Dasar 1945. Dari situ kemudian Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia mengeluarkan SK untuk kami (PDSI). Jadi dasar lahirnya PDSI itu adalah undang-undang Dasar 45 dan SK Kemenkumham. Dengan badan hukum perkumpulan, status PDSI sama dengan IDI yang juga terdaftar sebagai ormas. Jadi kalau disandingkan PDSI setara dengan IDI.
Apa visi dan misi pendirian PDSI ini?
Visi kami adalah pelopor reformasi kedokteran di Indonesia. Sedangkan misinya adalah yang pertama itu mengayomi rakyat Indonesia dan juga anggota kami para dokter. Yang kedua meningkatkan kesejahteraan rakyat dan anggota kami. Dan yang ketiga itu adalah membawa Indonesia itu untuk dunia. Kita bukan hanya pemain di tingkat lokal dan nasional, tapi kita juga ingin bekerjasama kemudian mengembangkan diri di ranah global.
Siapa saja yang menjadi pendiri PDSI ini?
Pendiri termasuk saya ada 10 orang. Pertama tentu Ketua Umum PDSI, Brigjen TNI (Purn) dr Jajang Edi Priyatno Sp.B., MARS. Lalu yang duduk sebagai Wakil Ketua: Prof. dr. Deby Susanti Pada Vinski , M. Sc, Ph.D. Sedangkan duduk sebagai Sekum saya sendiri: dr. Erfan Gustiawan, Sp.KKLP, SH, MH (Kes). Ada juga Wakil Sekretaris: Dr. dr. H. Dahlan Gunawan M.Kes, MH, MARS. Sebagai Bendahara Umum: dr. Firman Parulian Sitanggang, Sp.Rad (K) RI, M.Kes. Lalu Wakil Bendahara: dr. M. Arief El Habibie, MSM. Untuk Dewan Pelindung: Dr. dr. Siswanto Pabidang, SH, MM. Sedangkan Dewan Pengawas: Dr. dr Hendrik Sulo, M.Kes, Sp.Rad., dan dr. Timbul Tampubolon, SH, MKK.
Sejak kapan PDSI ini disiapkan, apakah setelah Dokter Terawan diberhentikan secara permanen oleh IDI?
Pendirian PDSI ini sudah disiapkan cukup lama, jadi peristiwa diberhentikannya Dokter Terawan dari IDI hanyalah momentum saja. Dengan beberapa guru besar saya sudah berapa kali ke Mahkamah Konstitusi (MK) mempersoalkan masalah IDI ini sejak 2017. Jadi jauh sebelum ada kisruh terkait Dokter Terawan. Kami memohon ke MK supaya Koligium Kedokteran yaitu perhimpunan spesialis itu independen dari IDI. Jadi kami sebenarnya belum pernah menggugat ketunggalan IDI (sebagai organisasi profesi kedokteran). Sehingga putusan MK terkait ketunggalan IDI juga belum pernah ada. Ini berbeda dengan berita yang beredar, kalau putusan MA menegaskan IDI itu wadah tunggal organisasi profesi kedokteran. Silahkan dibaca ulang putusan MK soal ini.
MK waktu itu menolak permohonan kami bukan karena tidak setuju dengan kami. Namun MK bilang ini bisa diselesaikan secara internal tidak harus mengubah undang-undang. Dengan AD-ART, bahwa Koligium Spesialis Kedokteran bisa independen walaupun di bawah payung besar IDI. Ada satu gugatan kami yang dikabulkan MK, yaitu pengurus IDI dan pengurus organisasi profesi dokter tidak boleh merangkap jabatan di Konsil Kedokteran Indonesia.
Akhirnya setelah keputusan itu, Profesor Ilham Oetama Marsis berhentikan dari Konsil Indonesia oleh Presiden. Karena sebenarnya di luar negeri pun tidak pernah ada yang seperti ini. Konsil Kedokteran itu kan di bawah negara, dilantik oleh presiden. Jadi tidak ada wakil dari organisasi profesi. Karena dia regulator, masa yang diatur bisa masuk sebagai regulator juga. Ada konflik kepentingan di sana. MK juga anti monopolistik sama seperti PDSI. Ternyata pemberhentian itu dilawan oleh IDI meskipun berkali-kali kalah sampai tingkat Mahkamah Agung.
Apakah yang bergabung dengan PDSI ini dulunya anggota IDI?
Oh pasti itu, bahkan saya sendiri bukan hanya anggota tapi pengurus. Saya sempat masuk dalam Koligium Kedokteran, Majelis Etik Wilayah Jakarta. Jadi saya juga yang menangani berkasnya Dokter Terawan. Jadi jangan dikira kami di PDSI ini orang yang sakit hati, hubungan dengan anggota IDI yang lain masih berteman biasa. Di manca negara tidak ada keharusan seorang dokter masuk menjadi organisasi kedokteran.
Di American Medical Association, IDI-nya Amerika, hanya 20 persen dokter yang bergabung. Dan wewenang mereka tidak sebesar yang dimiliki IDI. Jadi mereka itu hanya seperti serikat pekerja dokter. Fokusnya membikin lembaga bantuan hukum, lembaga beasiswa, koperasi dn lain-lain, tidak seperti IDI yang mendapat wewenang dari negara. Oleh karena PDSI ini berbeda dengan IDI dan PDSI juga tidak memposisikan diri sebagai tandingan IDI. Karena kami nggak mau punya wewenang sebesar IDI.
Jadi kami ingin seperti di luar negeri, bahwa asosiasi profesi itu bukanlah suatu asosiasi yang seakan-akan bertindak sebagai “negara”. Mengurusi soal perizinan, rekomendasi praktek, sampai masalah apa boleh tidaknya metode tertentu dilakukan. Jadi kami bukan tandingan IDI karena wewenangnya berbeda. Kami memposisikan diri sebagai pelopor reformasi kedokteran di Indonesia.
Pihak IDI mengatakan mereka sebagai Organisasi Profesi sedangkan PDSI Ormas, tanggapan Anda?
Jangan salah IDI juga termasuk Ormas, saat kami melakukan gugatan ke MK, IDI sebagai pihak terkait. Kami mempermasalahkan legal standing dari IDI. Namun pihak IDI menegaskan kalau mereka sebagai organisasi profesi, tapi soal ini ditegur. Nah, gara-gara itu tahun 2020 ini kembali lagi IDI mendaftarkan diri sebagai ormas.
Indonesia belum punya UU Organisasi profesi, jadi tidak ada yang diakui sebagai organisasi profesi. Semua dimasukkan dalam katagori Ormas/Perkumpulan. Sejak mendaftarkan kembali ke Kemenkumham nama organisasi mereka bukan lagi IDI (Ikatan Dokter Indonesia), tetapi berubah menjadi Perkumpulan Ikatan Dokter Indonesia (PIDI). Jadi bagi kami mereka sudah tidak ada lagi di UU, karena yang tertulis di UU itu IDI bukan PIDI (nama saat ini). Teman-teman dokter tidak perlu takut gabung dengan PDSI, tidak ada yang berhak mecabut izin praktek, saya ini masih praktik.
Baca juga:
- Terawan Gabung PDSI, Sempat 'Dirayu' Terapi Cuci Otaknya Bakal Didukung
- Terima Surat Pemberhentian dari IDI, Terawan Gabung ke PDSI
- Eksklusif, Rosan Roeslani: Olimpiade Tokyo 2020 Capaian Medali Indonesia Meningkat, Peringkat Turun
- Eksklusif, Zainudin Amali Blak-blakan tentang All England, PON Papua, dan Piala Menpora
Selama ini perkumpulan dokter itu banyak, bagaimana anda mengamatinya?
Betul, selama ini perkumpulan dokter itu banyak, namun semuanya di bawah naungan IDI. Setelah 70 tahun baru PDSI yang muncul dan tidak di bawah IDI. Ini baru pertama dan pecah telur. Dulu Menkumhan tidak akan kasih izin organisasi dokter kalau tidak ada surat dari IDI.
Apakah keluarnya izin untuk PDSI karena faktor politis, karena ada Dokter Terawan dalam konteks ini?
Bagi kami engga ya, jelas tidak ada aturan tertulis yang mengharuskan harus ada izin dari IDI untuk membuat organisasi. Selama ini hal itu terjadi karena kebiasaan, akhirnya jadi yurisprudensi. Tapi levelnya di bawah UU, dia tidak tertulis.
Dokter Terawan akhirnya bergabung juga dengan PDSI walau di awal tidak dimasukkan, di posisi apa?
Beliau memang sudah resmi bergabung dengan PDSI sebagai Dewan Pelindung PDSI.
Soal rekomendasi untuk izin praktek dokter, apa ada yang keluarkan selain dari IDI?
Ada kok, bisa saja tanpa rekomendasi dari IDI, bisa rekomendasi perhimpunannya. Itu bisa kok. Karena ada juga salah seorang sejawat kami yang tidak dikasih rekomendasi, akhirnya menjadi polemik. Makanya ini berbahaya, bisa saja rekomendasi ini tidak keluar karena faktor like and dislike. Mustinya harus ada alasan jelas soal tidak dikasih rekomendasi ini.
Jadi untuk standardisasi bagaimana, ini kan soal krusial, nyawa pasien?
Standar itu tetap dari Konsil Kedokteran dan Kementerian Kesehatan yang mengeluarkan. Kenapa harus standar ganda, nanti PDSI, IDI atau siapa pun organissi kedokteran hanya memberikan usulan. Selama ini jujur saja untuk seminar kedokteran mengapa semua dikasih ke IDI? Konsil tinggal cap atau stemple saja, karena selama ini konsil itu terkooptasi oleh IDI. Selama ini secara UU wewenang IDI itu tidak banyak. Hanya karena izin praktik, Konsil pun mengurangi wewenangnya diam-diam. Padahal dia lembaga negara. Karena itu saat menjadi Menteri, Pak Terawan mengganti anggota Konsil yang merangkap itu. Dan IDI melakukan perlawanan. Jadi kami tidak ada urusan dengan standardisasi. Kami PDSI hanya memberikan masukan, itu pun kalau Kementerian Kesehatan-nya mau.
Apa yang PDSI lakukan ini ingin mengembalikan kepada kondisi ideal seperti di luar negeri, bahwa Konsil Kedokteran itu tidak boleh berasal dari organisasi profesi. Inilah sebenarnya mengapa PDSI muncul, apa yang terjadi selama ini sudah di luar batas toleransi.
Ada lagi persoalan semustinya sudah muncul spesialisasi baru, namun terkendala di Mukhtamar IDI. Seperti diketahui forum Muktamar itu politis, bisa saja ada dokter tertentu yang terganggu kalau muncul spesialisasi baru. Padahal hal spesialisasi itu dibutuhkan olen negara, di luar negeri sudah ada spesialisasi baru itu. Contoh konkrit adalah Dr. Adib Khumaidi yang yang mengampuh spesialis Emergency, dia aja mati-matian untuk meluluskan spesialis ini. Bayangkan pengurus IDI saja mau merintis spesialisasi baru saja mental terus. Apalagi yang lain. Dokter Terawan itu hanya salah satu contoh. Artinya ada sesuatu yang harus diluruskan. IDI mencampurkan unsur politis dengan pendidikan.
Ke depan apa target PDSI?
Kami ingin mengusulkan amandemen UU Praktik Kedokteran. Revisi ini bukah hanya terkait organisasi, tetapi yang lebih komprehensif. Misalnya soal pendidikan kedokteran, bagaimana agar biayanya terjangkau oleh masyarakat biasa.
Gaya Liburan Dokter Erfen Gustiawan Suwangto, Usai Seminar Baru Wisata
Sibuk sebagai dokter, dosen, pengacara dan beragam kegiatan lainnya tak membuat Sekum PDSI; dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH (Kes) kehilangan akal untuk berwisata. Dengan trik jitu yang ia lakukan, kegiatan formal yang dilakoninya terlaksana sedangkan aktivitas wisata juga bisa dilakukan, membuatnya makin segar melakukan seminar atau acara resmi lainnya.
Kalau orang lain sibuk utak-atik jadwal untuk dan mencari kesempatan berwisata, namun yang dilakukan pria yang juga mengajar di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta ini tenang-tenang saja. “Saya tinggal menunggu saja jadwal seminar atau kunjungan kerja yang dilakukan di dalam dan mancanegara. Biarlah organisasi atau tempat saya bekerja yang memikirkan. Setelah ada acara di suatu daerah atau negara, saya tinggal mencari obyek wisata yang tak jauh dari tempat acara saya melakukan seminar atau kunjungan kerja,” ungkap pria kelahiran Pangkal Pinang, 5 Agustus 1985 ini.
Dengan cara seperti ini, dia tak perlu susah payah mencari dan tempat mana saja yang akan ia kunjungi. Selain itu dari sisi biaya yang dikeluarkan juga relatif lebih murah. Karena dia memang tidak menyengajakan diri hanya untuk mengunjungi tempat tersebut. Namun ia melakukannya sembari kerja atau seminar.
Dengan model seperti ini, sejatinya Erfen ingin selalu produktif dalam setiap kepergiannya. “Jadi kalau saya bepergian ke suatu tempat masih tetap bisa produktif. Masih bisa melakukan presentasi atau memaparkan makalah kepada peserta seminar atau memaparkan hasil penelitian pada forum tertentu. Jadi tak murni jalan-jalan, diawali dulu dengan suatu acara,” katanya.
Tetapi metode ini sempat sama sekali tak bisa ia lakukan saat pandemi COVID-19 sedang tinggi-tinggi melanda dunia. Nyaris seluruh dunia terdampak pandemi, sehingga jadwal perjalanan pria yang masih lajang ini terpaksan tertunda. Soalnya acara yang sudah terencana juga batal dan diganti dengan kegiatan dalam bentuk daring.
“Beberapa waktu lalu saya sudah siap-siap ikut Kongres Dokter Keluarga Se-Asia Fasifik di Selandia Baru. Saya sudah siapkan makalah dan segala sesuatunya, eh batal karena ada pandemi. Kegiatannya batal padahal saya sudah berencana mengajak orang tua dan adik saya,” ungkapnya.
Selain itu ada juga acara kongres yang diselenggarakan di Dubai UAE, karena masih dalam situasi pandemi, acaranya mengalami penyesuaian. “Untuk yang di Dubai tidak sampai batal, namun ada perubahan. Semua acaranya secara langsung, diubah menjadi secara daring. Ya begitulah keadaannya karena memang belum memungkinkan. Syukurlah sekarang sudah mulai melandai keadaannya,” katanya.
Erfen berharap kongres internasional dalam waktu beberapa bulan ke depan yang akan diikutinya di Bali bisa terselenggara seperti sebelum pandemi. “Saya juga akan ikut kongres internasional Asia-Pacific di Bali pada bulan Desember yang akan datang. Kongres ini digelar masih dalam kaiatan dengan ajang G20 yang dilaksanakan Indonesia sebagai penyelenggara kegiatannya,” lanjutnya.
Saat traveling dia tak hanya senang-senang, tapi juga tambah ilmu pengetahun dan juga relasi baru. “Jadi satu kali jalan beberapa hal bisa saya dapatkan. Walau pun kadang saya sempat sedikit ngedumel, saat melihat di foto tempat yang akan saya kunjungi itu bagus banget. Eh setelah didatangi tak seindah hasil fotonya. Di dalam negeri banyak tempat yang lebih bagus,” katanya sembari tertawa.
Budaya
Bukan hanya tempat wisata populer yang disambangi Erfen saat berwisata, budaya masyarakat setempat juga menarik baginya. “Karena saya ini selain dokter juga orang humaniora, saya juga menarik bagi saya kegiatan masyarakatnya. Kalau ada seminar internasional di suatu negara kita selalu melihat praktek dokter di sana seperti apa, fasilitas puskesmasnya seperti apa,” lanjutnya.
Salah satu yang menarik, masih kata Erfen saat kunjungan kerja ke Thailand. “Di puskesmas salah satu desa di negara Thailand ternyata menampung dukun beranak dan dukun patah tulang. Profesi seperti ini di Indonesia tidak ada yang diakomodir di puskesmas. Ini menarik, apa yang dilakukan pemerintah Thailand yang mengakomodir dua profesi itu. Soalnya mereka lebih gampang diarahkan, karena sudah punya pengalaman. Ini juga bikin publik di sana tak segan datang ke puskesmas, karena mereka juga bisa menemukan dukun beranak dan dukun patah tulang di fasilitas kesehatan yang dikelola oleh pemerintah,” ungkapnya.
Lewat metode ini katanya, beberapa tujuan bisa tercapai. “Lewat kegiatan ini bisa mengajak masyarakat untuk mengakses fasilitas kesehatan dan juga menghargai kearifan lokal. Semua bisa berpadu dalam satu wadah dan kegiatan yang sama,” lanjut Erfen.
Temuan lain yang menurutnya bisa menjadi pelajaran saat kunjungan dan berwisata ke Australia. “Saat ke Australia saya meminta UU Kesehatan negara itu. Ternyata simple sekali, cuma beberapa lembar saja. Bandingkan dengan di negara kita, panjangnya bukan main. Kementerian Kesehatan termasuk yang paling banyak mengeluarkan aturan,” katanya.
Masih di Australia, beberapa fasilitas kesehatan seperti ambulans, dibantu oleh oleh perusahaan yang ada di sekitar, seperti perusahaan tambang. “CSR sebuah perusahaan tambang di Australia itu membantu pengadaan ambulan untuk fasilitas kesehatan masyarakat,” kata Erfen.
Organisasi
Erfen mengaku kalau dirinya memang hobi berorganisasi dan membela kebenaran. “Saya paling tidak bisa melihat orang disekitar saya tertindas. Suatu waktu ada salah seorang rekan saya yang sedang mengambil spesialis kandungan dilaporkan melakukan tindak pidana. Saya dan beberapa teman melakukan advokasi,” ungkapnya.
Kasus rekan-rekannya yang mengalami perlakuan tak pantas bukan hanya itu. Ada juga yang di-bully, diperas oleh seniornya dan sebagainya. “Saya akan buka-bukaan soal seperti ini,” kata pria yang juga menyukai olahraga lari di sela-sela kesibukannya.
Keluarga bagi Erfen amat penting meski dia sendiri belum berkeluarga. “Setiap akhir pekan saya sempatkan untuk kumpul atau makan bersama dengan orang tua saya. Terus terang selama pandemi ini mereka saya sarankan untuk tinggal di Jakarta saja agar lebih gampang mengawasinya. Dan orang tua saya menerima argumentasi saya untuk meminta tinggal di Jakarta,” kata dokter yang spesialisasinya adalah dunia kedokteran dalam bidang kedokteran keluarga ini.
Ia mengajak, rekan-rekannya yang tak bisa menempuh pendidikan spesialis kedokteran keluarga. Soalnya bidang ini tak kalah potensial dibandingkan dengan spesialisasi kedokteran lain yang lebih dulu populer. “Saya mengajak rekan-rekan dokter baik yang senior maupun yang junior untuk mau menekuni spesialiasi ini, bidang ini juga tak kalah menjanjikan. Apalagi persyaratannya tak sesulit kalau menempuh spesialisasi dalam bidang lain,” kata Erfen Gustiawan Suwangto.
“Jadi apa yang PDSI lakukan ini ingin mengembalikan kepada kondisi ideal seperti di luar negeri, bahwa Konsil Kedokteran itu tidak boleh berasal dari organisasi profesi. Inilah sebenarnya mengapa PDSI muncul, apa yang terjadi selama ini sudah di luar batas toleransi. Jadi apa yang PDSI lakukan ini ingin mengembalikan kepada konsisi ideal seperti di luar negeri, bahwa Konsil Kedokteran itu tidak boleh berasal dari organisasi profesi. Inilah sebenarnya mengapa PDSI muncul, apa yang terjadi selama ini sudah di luar batas toleransi.”