Majelis Hakim Diminta Adil Soal Penyitaan Rekening WanaArtha

JAKARTA - Penyitaan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) atas Sub Rekening Efek (SRE) WanaArtha menjadi polemik. Para nasabah sekaligus pemegang polis WanaArtha Life merasa haknya diambil.

Terdakwa Benny Tjokrosaputro mengaku juga, rekening tersebut adalah bukan miliknya. Berbagai pihak, karenanya mengingatkan Kejaksaan agar tak sembarang melakukan penyitaan. Majelis hakim di saat sama diminta berhati-hati dan adil melihat fakta-fakta persidangan terkait bukti dalam kasus yang menarik perhatian ini.

Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak), Barita Simanjuntak meminta majelis hakim melihat secara adil kasus tersebut. Fakta dan peristiwa hukum, termasuk keterangan para saksi meringankan dan memberatkan, serta pledoi terdakwa dan penasihat hukum harus menjadi pertimbangan.

"Ini (penyitaan rekening WanaArtha dan lainnya) termasuk akan jadi bagian apa yang akan diputus. Karena pemblokiran atau yang dilihat langkah hukum kejaksaan, nanti akan dilihat hakim. Apakah itu betul uang negara atau Jiwasraya atau uang pihak lain ini akan jadi bagian yang akan diadili oleh hakim," kata Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak, dalam keterangan yang diterima, Senin 26 Oktober.

Dia mengatakan, jaksa juga bertanggungjawab untuk membuktikan yang dilakukannya di penyidikan. Barita menekankan, yang dilakukan jaksa haruslah sesuai prosedur hukum.

"Jadi asumsi yang mengatakan bukan uang negara tapi uang para nasabah, di ruang sidang yang menentukan secara hukum," jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, Komisi Kejaksaan akan memonitor jalannya persidangan. Apalagi, diakui bahwa telah ada laporan para nasabah yang telah merasa diperlakukan dengan tidak adil atas pemblokiran SRE WanaArtha, di mana ada "hak-hak" para nasabah dalam rekening tersebut.

Adapun buntut dari pemblokiran tersebut, dana premi nasabah menjadi tidak bisa dicairkan hingga saat. Ratusan pemegang polis WanaArtha Life pun telah menggelar aksi menuntut Kejaksaan Agung untuk membuka blokir tersebut.

Selain itu, di persidangan, terdakwa Benny Tjokrosaputro mengaku tak berkaitan dengan WanaArtha. Pengaitan namanya dengan WanaArtha dengan adanya penyebutan nominee adalah hal yang sama sekali tak tepat oleh Kejaksaan Agung. Terhadap ini, Komisi Kejaksaan juga mengamati.

Pihaknya menilai, jaksa harus membuktikan sesuai dengan tuntutannya, termasuk apakah uang negara Jiwasraya atau siapa. Sebaliknya, terdakwa tentu saja akan mengatakan hal yang meringankan membantu dia lepas dari jerat hukum. Hakimlah nanti yang menguji kesemuanya.

Sementara itu, pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia, Prof. Muzakir mengingatkan bahwa Kejaksaan tidak bisa sembarangan melakukan penyitaan. Penyitaan hanya bisa dilakukan terhadap harta yang dipakai atau hasil dari kejahatan. 

"Semua harta atau benda yang tidak terkait dengan kejahatan wajib dikembalikan kepada pemiliknya," jelas Muzakir.

Dia juga menguraikan, sebagai pihak ketiga, pemilik rekening (nasabah) dapat mengajukan keberatan rekeningnya diblokir sebelum JPU mengajukan tuntutan atau setelah hakim jatuhkan putusan, atau ajukan gugatan perdata ke pengadilan.

Buktikan kepada Publik

Terhadap hal sama, Peneliti ICW, Tama S Langkun mengatakan bahwa JPU memiliki kewajiban untuk membuktikan kepada publik melalui proses peradilan bahwa itu dilakukan sesuai prosedur. 

"Kalau jaksa menyertakan hal tersebut sebagai alat bukti, tentu saja jaksa punya kewenangan membuktikan di pengadilan," ungkapnya.

Menurutnya, karena persidangan masih berproses, alat-alat bukti tersebut tentunya akan menjadi bahan pembuktian di pengadilan. Namun, dia menegaskan bahwa pledoi merupakan hak dari terdakwa untuk melakukan pembelaan. Apakah nantinya benar alat bukti tersebut terkait kasus, pengadilan yang akan menentukannya. 

"Kita tunggu saja pembuktiannya," imbuhnya.

Sebelumnya, dalam pledoi atau nota pembelaan yang dibacakan pada persidangan, Kamis 22 Oktober lalu, Direktur Utama PT Hanson Internasional Tbk, Benny Tjokrosaputro membantah pernyataan JPU yang mengaitkan dirinya dengan WanaArtha.

Dikatakan, pemilik PT Hanson International dengan kode saham MYRX itu tidak memiliki saham WanaArtha Life. Dia juga mengaku jadi korban konspirasi Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Banyak tuduhan dan tuntutan yang dialamatkan JPU sangat tidak berdasar. Beberapa dakwaan jaksa penuntut umum dinilai keliru, seperti pelaku-pelaku transaksi saham LCGP bukan nominee, salah satunya adalah WanaArtha.

Benny Tjokro mengaku bukan pemiliknya. Jaksa ditudingnya memanipulasi fakta.

Ia menyoal tuntutan penjara seumur hidup. Menurutnya, dalam fakta persidangan tidak dapat dibuktikan bahwa Benny Tjokro yang mengatur atau mengendalikan investasi Jiwasraya, baik dalam reksa dana saham maupun transaksi saham yang mereka transaksikan.