Bagikan:

JAKARTA - Nasabah WanaArtha Life terus mencari keadilan setelah rekening efek mereka dibekukan. Mereka sudah mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun gagal dikabulkan karena proses hukum sudah berjalan.

Padahal, pengajuan praperadilan sudah didaftarkan sejak April 2020 namun baru diputuskan pada Juni 2020. Kini, mereka juga mengajukan upaya class action pada Juli, dan baru disidangkan belakangan ini. 

Terhadap ini, pakar hukum Pidana Mudzakir menilai ada kejanggalan yang harus diungkap. Pengadilan harus menjelaskan pengunduran selama peradilan berbulan.

"Jika alasannya tidak kuat, pengunduran selama tiga bulan tersebut tidak lazim dan ada keanehan atau tidak wajar," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu 3 November.

Mudzakir menegaskan, para nasabah boleh mengajukan praperadilan selaku pihak ketiga yang berkepentingan terhadap tindakan jaksa yang menyita aset nasabah. Sebab, lanjutnya, nasabah bukan sebagai pelaku tindak pidana dan aset tersebut bukan berasal dari tindak pidana.

Komisi Yudisial (KY), menanggapi kejanggalan ini, mempersilakan nasabah untuk melaporkannya. Komisioner KY Maradaman Harahap mempersilakan para nasabah melaporkan kejanggalan dan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim.

Ia mengakui ada nasabah WanaArtha Life yang datang dan melapor. Namun pelaporan itu terkait perlindungan hukum kepada para pemegang polis.

"Laporan pemegang polis bukan soal praperadilan," ujarnya singkat

Pertanyakan Sejumlah Kejanggalan

Seperti diketahui, Kejaksaan membekukan Rekening Efek WanaArtha dengan tudingan terkait kasus Jiwasraya dengan pelaku Benny Tjokro. Namun para nasabah lain merasa sangat dirugikan karena tidak ada keterkaitan apapun dengan Benny Tjokro.

Terpisah, salah satu nasabah WanaArtha Wahjudi mengatakan, sampai kapan pun dirinya akan berusaha agar rekening mereka bisa digunakan kembali. 

"Kami dari pemegang polis (PP) juga akan mengajukan keberatan melalui class action. yang sudah diajukan gugatannya juga kami akan mengajukan surat keberatan juga. Kami PP juga masih membahas akan mengajukan melalui kelompok di PP maupun pribadi-pribadi, ini sedang kami bicarakan mekanismenya seperti apa," ujarnya.

Ia mengaku heran dengan sidang di PN Jakarta Selatan yang berlarut-larut.

"Itu yang kami sangat menyesalkan kenapa untuk sidang seperti itu mesti berbulan-bulan nunggu. Sedangkan (persidangan) Jiwasraya bisa cepat 120 hari sudah selesai. Jadi ini ada konspirasi apa? Kami orang awam tidak tahu. Tapi ada yang patut diduga kuat ada konspirasi," ujarnya.

Ia juga menduga class action ini tidak disukai oleh Kejaksaan Agung, OJK, dan 13 Manajer Investasi. Wahjudi mengatakan, seharusnya penegak hukum mencermati apakah tindak yang dilakukan yakni pembekuan oleh negara itu adalah tindakan yang bijak.

"Apa tindakan itu yang sesuai dengan KUHP/KUHAP, sesuai dengan fakta persidangan atau tidak atau itu semuanya disingkirkan dan yang berlaku adalah undang-undangnya Ki Dalang (dalang yang mengatur ini). Saya tidak tahu Ki Dalang itu siapa. Ini yang ngatur segala sesuatunya. Satu hal yang aneh kenapa pemeriksaan BPK hanya 10 tahun tidak 15 tahun. Kenapa tidak mulai dari 2003. Ini mesti dipertanyakan. Tapi tanya ke siapa? Rumput yang bergoyang?" tanyanya.

Ia menjelaskan, sidang ketiga kasus class action digelar pada 30 November2020. Namun ia memprediksi sidang ke empat tahun 2021.

"Jadi eskalasinya itu dari 1 ke 2 ke 3, eskalasi bisa akhir semester pertama 2021. Kalau dia konsisten dalam arti mengikuti setting-an Ki Dalang nanti akan menjadi akhir semester pertama 2021. Menarik untuk dianalisis. Ada apa di belakang ini," tuturnya. 

Wahjudi mengumpamakan, seekor semut yang diperlakukan sewenang-wenang, dia akan menggigit. "Semut ini merupakan binatang lemah, kalau dia mau diinjak sebelum mati akan menggigit. Kami tidak akan menyerah sampai mati di lapangan," ujarnya.

Ia menegaskan hal ini dilakukan agar uang nasabah bisa kembali dan negara menjalankan kebenaran. Ia juga mengatakan, para PP sudah lapor ke Komisi Yudisial (KY) untuk minta perlindungan hukum dan mengawal persidangan Jiwasraya.

"Kami malah diminta laporan untuk membuktikan kalau hakim melanggar perilaku atau etika," ujarnya.