Bagikan:

Jakarta - Terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi Asuransi Jiwasraya, Benny Tjokrosaputro mengaku jadi korban konspirasi Jaksa Penuntut Umum (JPU). Menurutnya, banyak tuduhan dan tuntutan yang dialamatkan JPU sangat tidak berdasar

Menurut Benny, pelaku-pelaku transaksi saham LCGP, kode saham milik PT Eureka Prima Jakarta Tbk, tidak melakukan praktik kepemilikan saham perseroan terbatas itu untuk dan atas nama dirinya (nominee agreement).

Pemilik PT Hanson International Tbk dengan kode saham MYRX itu mengaku tidak memiliki saham WanaArtha Life. Jaksa ditudingnya memanipulasi fakta. 

"Hal ini menunjukkan bahwa JPU memanipulasi fakta dengan serangkaian kebohongan dan itikad buruk yang mengatasnamakan hukum untuk mengkriminalisasikan diri saya," katanya dalam nota pembelaan atau pledoi dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor pada Kamis, 22 Oktober kemarin. 

Benny menyoal tuntutan penjara seumur hidup. Padahal, dalam fakta persidangan tidak dapat dibuktikan bahwa Benny Tjokro yang mengatur atau mengendalikan investasi Jiwasraya, baik dalam reksa dana saham maupun transaksi saham yang mereka transaksikan.

"Saya tidak dapat memahami dan menerima tuntutan jaksa yang menuntut penjara seumur hidup karena mendasarkan pada Undang-Undang Tipikor dan TPPU, karena yang saya rasakan adalah ketidakadilan dan mencederai rasa keadilan masyarakat," kata Benny Tjokro.

Dia menyanggah dikaitkan dengan transaksi yang berkaitan Jiwasraya yang ilegal bersama Heru Hidayat, Joko Hartono Tirto, Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo dan Syahmirwan. Transaksi yang dilakukan adalah sah menurut hukum dan seluruh kewajibannya juga telah dilunasi baik dari RePO saham maupun MTN-MTN yang pernah diterbitkan. Artinya, tidak ada lagi kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari perjanjian RePO dan MTN tersebut.

"Tuduhan JPU hanya karena mereka pernah membeli saham group saya, lalu langsung dianggap penggunaan nominee adalah sebuah aib. Saksi-saksi juga mengatakan bahwa LCGP bukan milik saya. Bahkan, JPU Tumpal Pakpahan dalam kasus persidangan versus Pupuk Kaltim tahu benar bahwa LCGP adalah milik Denny Bustami, bukan Benny Tjokrosaputro," jelas dia.

Tak Periksa Emiten

Kuasa Hukum Benny Tjokro, Bob Hasan mengatakan jaksa sangat berlebihan mengkaitkan Wana Artha dengan kasus Jiwasraya. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh pihaknya, tak ada kaitan antara Wana Artha dengan kasus yang membelenggu Benny Tjokro.

"Ini berlebihan. Mereka menganggap nominee itu punya Benny itu dikendalikan oleh Wana Artha. Justru sebaliknya memberikan pinjaman ke emiten-emiten," kata Hasan.

Dia mensinyalir, ada kesalahan jaksa saat membekukan rekening efek milik Wana Artha. Salah satunya, melakukan penyitaan tanpa memeriksa Emiten yang bersangkutan.

"Pak Benny itu pakai nominee-nominee. Sedangkan Wana Artha itu bos. Nominee-nominee itu strata bawah. Jadi enggak ada sangkutannya," lanjut Hasan.

Karena itu, Hasan meminta kepada Majelis Hakim untuk membuka rekeing efek yang dibekukan akibat penyidikan kasus korupsi pada perusahaan milik pemerintah itu.

"Iya. Kan satu penyitaan itu akibat adanya dari penyimpangan atau perbuatan hukum. Sekarang pertanyaannya, perbuatan melawan hukum mana yang dilakukan oleh Wana Artha," katanya.

Pakar Hukum Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad di kesempatan berbeda menyatakan, penyidik tak boleh membekukan rekening efek tanpa memeriksa emiten yang bersangkutan. 

"Kalau tidak ada kaitannya dengan kejahatan. Memang sebaiknya dikembalikan. Aturannya begitu tidak boleh sembarang menyita," lanjut Suparji

Seharusnya, proses hukum yang dilakukan kejaksaan tak mengganggu sektor perekonomian. Apalagi, saat ini Wana Artha sekarang sulit membayar polis nasabah akibat pembekuan aset itu.