Bagikan:

JAKARTA - Permintaan untuk memperjelas status dana dalam Sub Rekening Efek (SRE) WanaArtha yang disita Kejaksaan Agung terus mengemuka. Pemisahan antara dana yang dicurigai terkait kejahatan pidana dengan dana nasabah harus secepatnya dilakukan.

Kejaksaan dinilai tak seharusnya membekukan rekening korporasi WanaArtha begitu saja, agar tak makin membuat mayarakat dirugikan akibat dana investasinya tersandera. Hans Kwee, Pengamat Pasar Modal memahami, tujuan penyitaan dan pembekuan rekening yang dilakukan Kejagung adalah untuk mengamankan pengembalian kerugian negara akibat kasus Jiwasraya.

Akan tetapi, lanjutnya, bukan berarti semua dana dalam rekening, di luar jumlah kerugian negara juga ikut dibekukan. Ia memandang, seharusnya tak semua orang harus jadi korban dan dilibatkan dengan kasus yang terjadi, hanya karena membeli saham yang kebetulan sama dengan yang dimiliki Jiwasraya atau dimainkan grup tertentu.

"Mereka kan tidak terlibat itu. Sehingga bisa beroperasi kembali dengan normal. Jika ternyata memang mereka terlibat konspirasi dan merugikan negara, maka harus ditegakan secara hukum, dibuktikan mereka terlibat dan dihukum," tutur Hans Kwee dalam keterangan tertulis yang dikutip Kamis 29 Oktober.

Ia menyesalkan berlarutnya kasus ini dan pembekuan rekening yang terjadi. Karena jikapun dibuka sekarang dibuka, WanaArtha Life punya masalah tersendiri karena nilai investasinya sudah turun.

"Belum lagi gara-gara kasus ini kepercayaan mereka turun. Sebaiknya segera dirapikan. Rekening yang di-freeze banyak loh. Ya mereka juga dirugikan. Jadi kalau sudah selesai, lebih baik blokirnya dibuka saja," ujar Hans.

Untuk diketahui, 13 SRE dan 42 IFUA (Investor Fund Unit Account) WanaArtha mulai diblokir Kustodian Sentra Efek (KSEI) per 21 Januari 2020 atas instruksi OJK yang diminta oleh Kejagung. Jika dihitung, nilai efek yang diblokir KSEI waktu itu sekitar Rp3 triliun.

Itu terdiri dari nilai aset investasi WanaArtha di saham sebesar Rp1,44 triliun dan di reksadana sebesar Rp1,54 triliun. Sumber lain menyebutkan dana di rekening WanaArtha yang dibekukan mencapai Rp4,1 triliun.

Karena pemblokiran ini WanaArtha pun kesulitan membayar manfaat klaim pemegang polis. Kemudian mulai gagar bayar pada bulan-bulan berikutnya. Pemegang polis WanaArtha sendiri tercatat sebanyak 26 ribu polis, terdiri dari produk dwiguna dan unit link. 

Lebih Hati-Hati

Menanggapi pembekuan rekening WanaArtha Life, Pengamat Tindak Pidana Pencucian Uang Yenti Ganarsih menilai, penegak hukum harus memberi status yang jelas kepada pihak ketiga apa keterkaitannya.

"Sepengetahuan saya, WanaArtha sempat keberatan soal pembekuan rekening mereka, karena ada uang nasabah dan uang WanaArta sendiri. Nah, kalau memang ada uang Benny Tjokro di sana, ya uang dia saja yang dibekukan," ujar Ketua Panitia Seleksi Pimpinan KPK ini.

Dekan FH Universitas Pakuan Bogor ini menambahkan, jika seandainya penyidik punya bukti, uang hasil kejahatan Benny dimasukkan ke WanaArtha, maka harus ditelusuri, diblokir atau dibekukan.

"Penyitaan di perusahaan harusnya penyidik hati-hati, kalau semuanya, bisa jadi collaps, bisa ada PHK, memang kalau TPPU harus lebih hati-hati dibanding kasus korupsi. Ada transaksi tanggal sekian sampai tanggal sekian, pada tahun itu, ya itu saja yang dibekukan," jelas Yenti.

Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) ini berpendapat, apabila uang yang ditelusuri bercampur dengan uang yang sah, sebenarnya di industri keuangan bisa dihitung.

"Harus sesuai dengan jumlahnya itu, termasuk bunganya misalnya. Jadi harus melindungi juga pihak ketiga yang beritikad baik dan mendukung penegakan hukum. Ini yang juga menjadi pelajaran," tuturnya.

Yenti sendiri mengaku heran dengan isi tuntutan jaksa dalam kasus Jiwasraya. Dalam kasus ini, Benny dituntut hukuman penjara seumur hidup dan denda sebesar Rp5 miliar subsider 1 tahun kurungan. Selain itu, JPU menuntut majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp6,078 triliun.

"Sudah ada denda Rp5 miliar, lalu ada pidana tambahan Rp6 triliun, itu kenapa ada subsidernya, sementara pidana tambahannya sudah Rp6 triliun. Apakah Jaksa takut vonis hakim tidak seumur hidup atau bagaimana? Ini seperti semena-mena juga,” imbuhnya. 

Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak, sebelumnya juga meminta majelis hakim melihat secara adil kasus tersebut. Fakta dan peristiwa hukum, termasuk keterangan para saksi meringankan dan memberatkan, serta pledoi terdakwa dan penasihat hukum juga harus menjadi pertimbangan.

"Ini (penyitaan rekening WanaArtha dan lainnya) termasuk akan jadi bagian apa yang akan diputus. Karena pemblokiran atau yang dilihat langkah hukum kejaksaan, nanti akan dilihat hakim. Apakah itu betul uang negara atau Jiwasraya atau uang pihak lain ini akan jadi bagian yang akan diadili oleh hakim," kata Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak.

Dia mengatakan, Jaksa juga bertanggungjawab untuk membuktikan yang dilakukannya di penyidikan. Barita menekankan, yang dilakukan jaksa harus lah sesuai prosedur hukum.

"Jadi asumsi yang mengatakan bukan uang negara tapi uang para nasabah, di ruang sidang yang menentukan secara hukum," jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, Komisi Kejaksaan akan memonitor jalannya persidangan. Apalagi, diakui bahwa telah ada laporan para nasabah yang telah merasa diperlakukan dengan tidak adil atas pemblokiran SRE WanaArtha. Di mana ada "hak-hak" para nasabah dalam rekening tersebut.

Di persidangan sendiri, terdakwa Benny Tjokrosaputro mengaku tak berkaitan dengan WanaArtha. Pengaitan namanya dengan WanaArtha dengan adanya penyebutan nominee adalah hal yang sama sekali tak tepat oleh Kejaksaan Agung.

Terhadap ini, Komisi Kejaksaan juga mengamati. Pihaknya menilai, jaksa harus membuktikan sesuai dengan tuntutannya, termasuk apakah uang negara milik Jiwasraya atau uang siapa.