Rugi Parah Iran-Irak Berebut Teluk Persia, Untung Besar AS dengan Manuvernya
JAKARTA - Ketegangan di Teluk Parsia yang menjadi pemicu perang antara Iran dan Irak bermula dari sengketa wilayah Shatt Al-Arab dan Khuzestan. Shatt Al-Arab adalah sungai sepanjang 200 kilometer yang terbentuk dari pertemuan antara Sungai Efrat dan Tigris di Kota Al-Qumah, Irak selatan, di mana bagian hilir sungai mengarah ke Teluk Persia, perbatasan Irak dan Iran.
Karena letaknya diperbatasan ini sungai tersebut menjadi bahan sengketa sejak tahun 1975. Irak berusaha mengambil alih sungai tersebut karena merupakan jalur utama negara ke arah laut. Wilayah kedua yang jadi sengketa antarnegara tersebut adalah Provinsi Khuzestan yang memiliki kekayaan minyak.
Khuzestan sebenarnya telah masuk ke wilayah Iran. Namun, pada 1969 Irak mengklaim wilayah tersebut milik mereka. Alasannya, Khuzestan telah diserahkan oleh Inggris saat Irak merdeka dari jajahan negeri itu.
Dikutip dari buku The Gulf War: The Origins and Implications of the Irak Iran Conflict karya Khadduri Majid, pemerintah Irak saat itu memberikan pengumuman soal Khuzestan sebagai wilayah mereka lewat siaran televisi. Irak juga meminta warganya yang berada di wilayah itu untuk memberontak melawan Iran.
Revolusi Islam di Iran yang terjadi pada 1979 merupakan tonggak sejarah penting bagi Iran. Kala itu Iran berhasil meruntuhkan rezim Kerajaan Pahlevi yang dianggap sebagai boneka Amerika Serikat (AS). Revolusi membawa perubahan, yakni sistem republik Islam.
Revolusi Iran mendapat respons di kalangan Nasionalis Arab dan Muslim Sunni. Mereka khawatir gelombang revolusi menyebar ke negara-negara Arab, tak terkecuali Irak --yang menganut Sunni-- yang bersebelahan dengan Iran.
Arjomand, dalam The Turban for the Crown: The Islamic Revolution in Iran menjelaskan, kekhawatiran terjadi bukan tanpa alasan. Sosok Ayyatulah Khomeini, pemimpin revolusi Iran memang memiliki ambisi besar menyebarkan semangat revolusi ke negara-negara Arab lainnya.
Irak, di bawah kendali Saddam Hussein dan Partai Baath jadi negara paling cemas. Kepentingan mereka untuk menjadi kekuatan dominan di wilayah Arab --dengan mengusung konsep Pan-Arabisme yang masyhur sejak meninggalnya Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser-- terancam.
Pada pertengahan tahun 1980, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Deputi Perdana Menteri Irak Tariq Aziz. Kemudian Irak menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat percobaan pembunuhan tersebut. Penyelidikan mengungkap orang-orang tersebut sebagai penganut Syiah.
Saddam Hussein menyalahkan Iran atas insiden tersebut. Ia lalu mendeportasi orang-orang Syiah Iran maupun orang yang berdarah campuran Iran. Tak cukup. Pada 17 September 1980, Saddam Hussein secara sepihak membatalkan perjanjian Aljazair tahun 1975 tentang batas wilayah Irak dan Iran yang pernah disepakati kedua negara saat Iran dipimpin Shah Pahlevi.
Perang senjata
22 September 1980, Irak melancarkan serangan terhadap Iran. Langkah awalnya kala itu adalah dengan menguasai wilayah strategis yang kaya minyak di perbatasan kedua negara. Serangan itu dilancarkan Saddam Hussein karena melihat kondisi internal Iran yang masih belum stabil pasca-revolusi Islam.
Jet-jet tempur Irak segera menyerang sepuluh pangkalan udara Iran dan menghancurkan pesawat tempur Iran. Taktik tersebut dipelajari dari kemenangan Israel atas negara Arab dalam perang enam hari. Namun Irak gagal menghancurkan kapal tempur Iran karena dilindungi dalam hanggar yang memiliki proteksi khusus.
Irak hanya berhasil menghancurkan gudang amunisi dan jalur transportasi darat. Sehari kemudian Irak kembali melakukan serangan. Kali ini targetnya adalah serangan darat ke wilayah Iran yang dibagi menjadi tiga titik. Titik pertama, mengambil alih Khuzestan dan Shatt Al-Arab. Kedua, menguasai bagian utara Qasr-e Shirin. Terakhir, mengirim pasukan ke Mehran untuk menghalau serangan balik Iran.
Hasilnya, usai serangan mendadak itu Irak berhasil menguasai wilayah Iran seluas seribu kilometer persegi. November 1980, Irak kembali melancarkan serangan di Kota Shabadan dan Khorramshahr, dua kota penting dan strategis bagi Iran. Dikutip dari buku The Longest War: The Iran-Irak Military Conflict, dalam serangan kedua ini Irak mendapat perlawanan sengit dari pasukan Pasadan, Garda Revolusi Iran.
Perebutan wilayah antara belasan ribu pasukan dari kedua kubu dimenangi Irak. 10 November 1980, Irak berhasil menguasai Kota Shabadan dan Khorramshahr. Banyak yang menyebut kemenangan ini berjalan mulus bagi Irak. Irak berhasil memanfaatkan momentum lemahnya koordinasi Iran dan kesulitan alutsista yang dialami negara tersebut.
Namun Iran tak tinggal diam. Mereka tetep melakukan perlawanan meski kalah alutsista. Hal ini wajar mengingat saat itu Irak adalah salah satu negara dengan kekuatan militer yang mumpuni di wilayah Asia Barat setelah Israel.
Mengantisipasi serangan Irak lainnya, Iran merekrut ribuan rakyat menjadi Basij (tentara rakyat). Walaupun para milisi Basij tak memiliki pengalaman militer atau persenjataan yang memadai, namun mereka tak takut mati karena keyakinan tinggi akan ideologi agama yang dianut.
Titik balik serangan yang dilakukan Iran akhirnya terwujud Maret 1982 lewat operasi militer dengan sandi "Operation Undeniable Victory". Pasukan gabungan antara Pasadan dan Basij berhasil menembus garis depan pasukan Irak di bagian utara dan selatan provinsi Khuzestan.
Mei 1982, Iran berhasil merebut kembali wilayah Khorramshahr. Dalam perebutan itu, Iran kehilangan sepuluh ribu tentara. Sementara Irak kehilangan tujuh ribu tentara. Dengan jumlah kematian yang begitu banyak, pertempuran itu disebut sebagai yang paling berdarah dalam konflik Irak versus Iran.
Keadaan berbalik. Kini giliran Iran yang menekan Irak dalam pertempuran tersebut. Juli 1982, Iran melancarkan serangan ke Kota Basra di bawah operasi bersandi "Operasi Ramadhan". Operasi dilakukan dalam upaya perebutan Kota Basra. Puluhan ribu anggota Pasadan dan milisi Basij melakukan serangan bunuh diri dengan cara berlari melewati ladang ranjau untuk memuka jalan bagi tank-tank Iran. Dari upaya itu, sejumlah kecil wilayah berhasil direbut kembali dari Irak.
Skandal AS dan keterlibatan banyak negara
Keberhasilan Iran memukul balik Irak menimbulkan kekhawatiran bagi AS. Presiden AS Ronald Reagan memberi bantuan alutsista, teknologi, serta intelijen kepada Irak. Dukungan bagi Irak juga diberikan oleh Uni Soviet dan Liga Arab. Sementara, Iran hanya mendapat dukungan dari Libya dan Suriah.
Namun. ternyata AS bermain dua kaki. Mereka juga memberi bantuan kepada Iran secara diam-diam. AS turut membantu Iran dengan menjual persenjataan. Manuver AS berujung dengan sebuah skandal yang dikenal "Skandal Iran Contra." Salah satu petinggi Gedung Putih, Henry Kissinger mengungkap bahwa AS merasa Irak dan Iran sama-sama layak didukung agar tak ada dominasi dari pihak pemenang di kawasan kaya minyak yang diperebutkan itu.
Tahun 1984 Irak kembali melakukan serangan setelah mendapat bantuan pesawat tempur Super Entetard dari Prancis. Pesawat itu digunakan untuk menaklukkan operasi militer laut di muara Sungai Shatt Al-Arab hingga pelabuhan Bushehr.
Tujuan operasi militer tersebut ialah memblokade ekspor minyak Iran hingga mereka mau berunding dengan pihak Irak. Manuver Irak tersebut membuka babak baru dalam perang tanker. Sebenarnya, perang tanker sudah berjalan sejak 1981 saat Irak menargetkan titik penting di lautan, seperti pelabuhan dan kilang minyak Iran.
Namun, pada 1984 Irak menyerang kapal pengangkut minyak Iran. Tak mau kalah, Iran membalas. Serangan balasan Iran tersebut sekaligus menjadi peringatan, jika Irak terus melanjutkan perang tanker maka tak ada kapal pengangkut mereka yang selamat. Serangan Iran sampai ke sana karena pasukan Irak gagal memblokade jalur minyak. Iran bermain cepat dengan lebih dulu memindahkan jalur dan pelabuhan ke Pulau Larak di dekat Selat Hormuz.
Situasi perang tanker semakin parah karena negara netral ikut terkena dampak. Kapal mereka menjadi target penyerangan, salah satunya Kuwait. Negara itu meminta bantuan internasional pada tahun 1986. Uni Soviet adalah negara pertama yang merespons permintaan Kuwait dengan cara mengirim kapal perang mereka untuk mengawal kapal minyak Kuwait yang melintas di jalur rawan perang.
Tindakan tersebut diikuti pula oleh AS pada tahun 1987, langkah yang membuat AS masuk lebih dalam ke konflik Irak versus Iran. Terlebih, ketika kapal USS Stark tertembak oleh pesawat tempur dan menewaskan 13 orang prajurit AS.
Dikutip dari buku Oil, Power and Principle, Iran’s Oil Nationalization and Its Aftermath, AS lantas menerjunkan armada lautnya di sekitar teluk guna mengisolasi Iran dan menjaga kapal yang berlayar di sana. Tak hanya itu. AS juga melancarkan serangan langsung ke kilang minyak milik Iran di Rostam.
Kemudian, April 1988, kilang minyak Iran kembali diserang. Kali ini berserta kapal perang Iran yang turut menjadi target. Puncak keterlibatan AS dalam perang tersebut adalah saat kapal USS Vincennes milik AS menembak kapal penumpang sipil milik Iran pada Juli 1988. Serangan itu mengakibatkan seluruh penumpang dan awak kapal tewas.
20 Agustus 1988 menjadi akhir perang dua negara tetangga yang telah berlangsung selama delapan tahun. Lewat Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 598, perang Irak dan Iran resmi berakhir, diiringi dengan tukar menukar tawanan perang dan melanjutkan kembali hubungan diplomatik kedua negara.
Baca juga:
Kedua pihak mencatatkan kerugian yang membuat menderita, baik secara material, kemanusiaan, hingga ekonomi, dan politik. Dari segi material, kerugian yang diderita keduanya diperkirakan mencapai 500 juta dolar AS.
Selanjutnya, pembangunan ekonomi dilakukan. Tak semudah itu, jelas. Dua negara harus menghadapi kondisi ekonomi yang terhambat dan produksi minyak yang menurun drastis akibat ladang minyak yang rusak. Ladang minyak Irak rusak di daerah Kirkuk, Basra dan Fao. Sedangkan ladang minyak Iran yang rusak berada wilayah Kharg, Rostam dan Abadan.
Jumlah korban tewas dari kubu Irak mencapai 200 ribu jiwa. Korban jiwa di pihak Iran mencapai lebih dari satu juta jiwa. Besarnya korban jiwa Iran adalah karena banyaknya laskar masyarakat yang turun langsung berhadapan di medan perang. Kerugian politik yang diderita pascaperang adalah terhambatnya roda pemerintahan dan semakin menguatnya pengaruh AS di Teluk Persia.