Selain Saksi, Polri Pakai Satelit Mengungkap Kasus Kebakaran Gedung Kejagung
JAKARTA - Penyidik Bareskrim Polri melakukan segala upaya untuk menungkap penyebab kebakaran Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung). Salah satunya dengan menggunakan satelit.
"Kita minta ahli kebakaran IPB untuk menggunakan satelit yang bisa mengetahui titik api awal," kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Ferdy Sambo kepada wartawan, Jumat, 23 Oktober.
Teknologi satelit ini digunakan karena hasil pemeriksaan saksi menyebut ada beberapa titik api. Namun, jika merujuk hasil penggunaan satelit ditemukan satu titik api yang menjadi penyebab kebakaran.
Menurut Ferdy, teknologi satelit ini sering digunakan dalam mengungkap kasus kebakaran. Salah satunya kasus kebakaran lahan.
"Ini biasa digunakan untuk mengecek kebakaran di lahan, bisa mengendus dan mengetahui dari mana titik api," ungkap Ferdy
Baca juga:
"Kami juga berkoordinasi dengan IPB untuk gunakan satelit ini karena spekulasi di luar titik api banyak sehingga kita harus gunakan teknologi apakah benar banyak titik api," sambungnya.
Sebelumnya, api yang membakar gedung Kejagung berasal dari bara rokok yang dibuang para pekerja bangunan ke polybag.
Awalnya para tesangka yang merenovasi aula Biro Kepegawaian itu mengumpukan sampah bekas pekerjaan mereka. Kemudian, sampah itu dimasukan kedalam tiga polybag atau kantong plastik besar. Termasuk putung rokok yang kemungkinan masih sedikit menyala.
Kemudian para tersangka meninggalkan aula itu. Mereka turun dari lantai 6 gedung Kejagung.
Dengan adanya bara api di dalam polybag sehingga membakar sampah lainnya. Api besar pun muncul dan membakar benda-benda disekitarnya.
Hingga akhirnya, api yang semakin besar membakar beberapa bagian gedung Kejagung.
Dalam perkara ini Bareskrim Polri menetapka delapan orang tersangka. Lima di antaranya merupakan pekerja bangunan.
Kelima pekerja bangunan itu berinisial T, H, S, K, dan IS. Mereka ditetapkan tersangka karena melanggar aturan tidak merokok di aula biro kepegawaian.
Sementara tiga lainnya yakni, UAM sebagai mandor, R yang merupakan Direktur PT ARM dan pejabat pembuat komitmen (PPK) Kejaksaan Agung, NH.
Penetapan tersangka terhadap UAM beralasan lantaran tidak mengawasi kelima tukang itu saat berkerja. Sementara, R dan NH ditetapkan tersangka karena membuat kesepakatan penggunaan cairan pembersih dash cleaner yang disebut mempercepat proses pembakaran.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 188 KUHP juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara.