Setahun Jokowi, ICW: Pemerintah Hanya Fokus Investasi, Abaikan Penegakan Hukum

JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, setahun Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin menjabat, mereka tak berpihak pada pemberantasan korupsi dan penegakan hukum lainnya. 

"Kebijakan yang diambil oleh presiden selama kurun waktu setahun terakhir hanya berfokus pada investasi dan mengabaikan penegakan hukum," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana yang dikutip dari keterangan tertulisnya, Jumat, 23 Oktober.

Menurutnya, salah satu yang menjadi indikator penting untuk menilai komitmen pemberantasan korupsi yang dimiliki Presiden Jokowi dan jajarannya adalah dengan melihat kinerja struktur penegakan hukum. Karena, berdasarkan Pasal 8 UU Kepolisian dan Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan, Presiden merupakan atasan struktural bagi Kapolri dan Jaksa Agung. Begitu juga dengan KPK. 

Menurut Kurnia, sejak berlakunya UU 19 Tahun 2019 yang berisi tentang revisi UU KPK disebutkan, jika lembaga antirasuah ini telah dikooptasi masuk ke dalam rumpun eksekutif. Sehingga, penilaian atas komitmen eksekutif menjadi relevan saat mengukur keberpihakan penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi.

Hanya saja, setelah setahun masa kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf Amin, dia melihat ada kemunduran dalam penegakan hukum dalam upaya memberantas korupsi dan hal ini berimbas pada turunnya kepercayaan publik. "Misalnya saja pada KPK. Sejak tahun 2019 lalu publik sudah menyuarakan penolakan atas calon pimpinan bermasalah. Namun, Presiden Joko Widodo tetap saja bersikukuh memilih lima orang pimpinan periode 2019-2023 salah satunya Firli Bahuri. Akhirnya prediksi publik selama ini pun terbukti. Firli dijatuhi sanksi etik karena menggunakan moda transportasi mewah berupa internasional," tegasnya. 

Selanjutnya, akibat revisi UU KPK ini diberlakukan, ICW dan Transparency Internasional Indonesia (TII) juga mencatat tiga permasalah yang terjadi di internal lembaga antirasuah tersebut seperti pengelolaan internal kelembagaan, penindakan, maupun permasalah. 

"Seluruh problem itu tak bisa dilepaskan saja dari figur pimpinan yang pada periode lalu dipilih oleh Presiden Jokowi bersama DPR," ungkapnya.

Selain itu, Kurnia juga menilai eks Gubernur DKI Jakarta, harusnya bertanggung jawab karena saat ini KPK tak lagi menjadi lembaga yang mendapat kepercayaan penuh dari publik karena sejumlah permasalahan yang ada di dalamnya.

Tak hanya KPK, pegiat antikorupsi ini juga membeberkan kinerja lembaga hukum lainnya seperti Kejaksaan Agung dan Polri yang tak jauh berbeda performanya. Menurut Kurnia, performa buruk Kejagung dan Polri terlihat saat mereka menangani kasus yang menjerat narapidana yang sempat menjadi buronan yaitu Joko Tjandra. 

Kasus yang membuat publik terkejut ini, ternyata menguak adanya dugaan persekongkolan yang terjadi di tubuh penegak hukum baik dari kepolisian dan Kejaksaan Agung. Sebab, hingga saat ini sudah terbukti ada dua jenderal polisi aktif dan seorang jaksa yang diduga melakukan pemufakatan jahat demi membebaska dan membantu narapidana dalam kasus hak tagih atau cessie Bank Bali.

Belum lagi masih dalam rangkaian kasus yang sama, pihak Kejaksaan Agung juga mendapat sorotan karena diduga memberikan perlindungan terhadap anak buah mereka yang jadi terdakwa yaitu Jaksa Pinangki Sirna Malasari. 

"Hal itu bermula saat Kejagung mengeluarkan Pedoman Pemeriksaan Jaksa, dilanjutkan dengan pemberian bantuan hukum, mengabaikan pengawasan Komisi Kejaksaan, sampai pada tidak adanya koordinasi dengan KPK sebelum melimpahkan perkara ke pengadilan," ujarnya.

Dengan melihat fakta-fakta yang ada, harusnya Presiden Jokowi, tak perlu ragu untuk mencopot Jaksa Agung ST Burhanuddin. Namun, Kurnia menilai, lagi-lagi Jokowi bergeming meski ada sejumlah kejanggalan yang terjadi.

Lebih lanjut, Kurnia juga mengkritisi masalah alokasi anggaran sebesar Rp381,6 miliar ke tiga institusi penegak hukum seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung. Meski anggaran besar ini telah digelontorkan untuk penyidikan tapi nyatanya, sepanjang semester I 2020 institusi penegak hukum hanya mampu menangani 169 kasus dari target 2.225 kasus.

Sehingga melihat kondisi yang ada, Kurnia mengatakan, menyimpulkan kinerja aparat penegak hukum di masa setahun kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf ini begitu buruk. "Melihat situasi seperti ini, maka ke depannya potret penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi akan semakin suram," pungkasnya.