Jokowi Diminta Tak Sekadar Lip Service Terkait RUU Perampasan Aset
Presiden Jokowi- Wapres Ma'ruf Amin/DOK VIA ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak sekadar berjanji untuk mengundangkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Desakan ini muncul karena pemerintahan Jokowi diseebut kerap menempatkan isu antikorupsi sebatas jargon belaka.

"ICW mendesak agar Presiden Jokowi tidak hanya lip service terkait rencana pengundangan RUU Perampasan Aset. Sebab, tujuh tahun menjadi presiden, Bapak Jokowi lebih sering menempatkan isu antikorupsi hanya sebatas jargo tanpa ada suatu tindakan konkrit yang mendukungnya," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Senin, 20 Desember.

Tak hanya itu, pegiat antikorupsi itu juga yakin langkah mengundangkan RUU Perampasan Aset ini akan menemui kendala. Hal ini, sambung Kurnia, disebabkan karena DPR jarang memprioritaskan aturan perundangan yang memperkuat penegakan hukum terutama yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi.

Padahal, di satu sisi, RUU Perampasan Aset ini menjadi perundangan yang penting terhadap upaya memberantas korupsi. Menurut Kurnia, meski saat ini penggantian uang negara sudah dijatuhkan kepada narapidana tapi kerugian negara masih belum tertutupi.

"Gap antara kerugian negara dengan uang pengganti masih sangat tinggi. Misalnya, dalam catatan ICW, kerugian keuangan negara tahun 2020 mencapai Rp56 triliun sedangkan uang penggantinya hanya Rp19 triliun," jelas Kurnia.

"Ini membuktikan bahwa pendekatan hukum pidana yang menggunakan pendekatan in personam belum terbukti ampuh untuk memulihkan kerugian keuangan negara. Selain itu, RUU Perampasan Aset juga sejalan dengan Pasal 54 ayat (1) huruf c Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC)," imbuhnya.

Selain itu, ada tiga manfaat lain yang didapat dari mengundangkan RUU Perampasan Aset. Pertama, pembuktian tindak pidana lebih mudah.

Penyebabnya, kata Kurnia, rancangan perundangan ini nantinya tidak lagi bicara perihal kesalahan individu atau pembuktian adanya niat jahat tapi cukup melakukan standar pembuktian formal.

"Sederhananya, jika ditemukan adanya tindak pidana lalu ada aset yang tercemar dari tindak pidana tersebut maka penegak hukum dapat memproses hukum lebih lanjut dengan tujuan perampasan," tegasnya.

Kedua, RUU perampasan Aset penting untuk diundangkan karena mengenal pembuktian terbalik di mana pemilik bisa diminta membuktikan asetnya tidak terkait tindak pidana tertentu. Jika ke depannya pembuktian itu tak bisa dilakukan maka aparat penegak hukum bisa melakukan perampasan.

Terakhir, rancangan perundangan ini bisa menjadi jawaban atas permasalahan banyaknya buronan kasus tindak pidana korupsi yang belum tertangkap.

"Jika diundangkan maka penegak hukum dapat mengidentifikasi aset para buronan dan memproses hukum aset tersebut agar segera dirampas untuk negara," pungkas Kurnia.