Gunakan Nomor Telepon dan Alamat Email Pengguna untuk Iklan, Twitter Didenda Rp2,1 Triliun
JAKARTA - Twitter akhir-akhir ini kerap menjadi topik utama, terlebih menyoal kesepakatannya dengan miliarder Elon Musk, kini perusahaan tersebut harus menghadapi gugatan pemerintah Amerika Serikat (AS).
Menurut gugatan yang diajukan Departemen Kehakiman AS (DoJ) dan Komisi Perdagangan Federal (FTC) di Distrik Utara California itu meliputi diugaan penyalahgunaan data pengguna, yang digunakan Twitter untuk iklan.
Masalah yang ditargetkan oleh gugatan tersebut adalah bagaimana Twitter mengelola informasi kontak pengguna, dan bagaimana raksasa media sosial itu gagal memberi tahu penggunanya tentang bagaimana data ini digunakan untuk iklan yang ditargetkan.
"Twitter memperoleh data dari pengguna dengan dalih memanfaatkannya untuk tujuan keamanan, tetapi akhirnya juga menggunakan data tersebut untuk menargetkan pengguna dengan iklan. Praktik ini memengaruhi lebih dari 140 juta pengguna Twitter, sekaligus meningkatkan sumber pendapatan utama Twitter," ujar ketua FTC, Lina Khan dalam sebuah pernyataan.
Dalam gugatan itu, pemerintah AS berfokus pada periode waktu antara Mei 2013 dan September 2019. Menurut tuduhan dalam gugatan, Twitter telah menyesatkan penggunanya selama periode waktu tersebut, dengan menyatakan data seperti nomor telepon dan alamat email digunakan hanya untuk melindungi akun Twitter mereka.
Artinya, Twitter memberi tahu pengguna bahwa data ini untuk melindungi akun mereka, tetapi juga digunakan membantu pengiklan menjangkau pengguna Twitter.
Tuduhan tak berhenti di situ. Pemerintah AS juga mencatat perusahaan gagal memastikan tweet dan DM dari akun yang dilindungi tidak dapat diakses oleh karyawan Twitter.
Baca juga:
Maka dari itu, DoJ mendenda Twitter sebanyak 150 juta dolar AS atau setara Rp2,1 triliun. Selain itu, Twitter juga harus selalu mematuhi setiap aturan pemerintah AS.
Jika tuduhan itu benar, maka Twitter akan melanggar Undang-Undang dan Perintah FTC 2011. Undang-undang tersebut melarang perusahaan membuat pernyataan yang salah mengenai keamanan informasi konsumen nonpublik.
Menanggapi hal ini, kepala privasi Twitter, Damien Kieran, mengatakan perusahaan telah bekerja sama dengan FTC di setiap langkah.
“Dalam mencapai penyelesaian ini, kami telah membayar denda 150 juta dolar AS, dan kami telah bekerja sama dengan agensi dalam pembaruan operasional dan peningkatan program untuk memastikan bahwa data pribadi orang tetap aman dan privasi mereka terlindungi,” ungkap Kieran seperti dikutip dari The Guardian, Jumat, 27 Mei.
Sebagai informasi, Twitter menghasilkan 90 persen dari pendapatan tahunannya sebesar 5 miliar dolar AS setara Rp73 triliun dari iklan. Ketergantungannya pada pendapatan itu telah menarik perhatian Elon Musk, yang telah setuju untuk membeli perusahaan itu seharga 44 miliar dolar AS atau Rp643 triliun.