Pelaku Penembakan Massal dan Produsen Senjata Api di Amerika Serikat Sama-Sama Cerminan Masyarakat yang Sakit
JAKARTA – Penembakan massal yang dilakukan Salvador Ramos di Kota Uvalde, Texas, Amerika Serikat pada Selasa 24 Mei 2022 adalah tragedi yang sangat mengerikan. Ulah bak film koboi yang dilakukan pemuda berusia 18 tahun itu menewaskan 21 orang, termasuk 19 anak-anak murid Sekolah Dasar Robb di Uvalde.
“Dia menembak dan membunuh secara mengerikan, sangat sulit dipahami,” kata Greg Abbott, Gubernur Negara Bagian Texas mendeskripsikan peristiwa yang terjadi di wilayahnya tersebut, seperti dikutip LA Times.
Kejadian penembakan massal di Uvalde tersebut hanya berselisih 10 hari setelah tragedi serupa di sebuah supermarket di Buffalo, New York dan Gereja Presbiterian Jenewa di Laguna Woods, California. Sebanyak 10 orang tewas di Buffalo, dan satu di Laguna Woods.
Salah satu sebab dari peristiwa penembakan massal yang terjadi di Amerika Serikat adalah masalah kejiwaan pelaku. Seperti yang dilakukan Ramos, pelaku penembakan di Uvalde yang disebut-sebut sebagai pribadi introvert dan penyendiri.
Namun tak sedikit pula yang menuding bahwa undang-undang Amerika Serikat tentang kepemilikan senjata api, menjadi faktor pendorong penembakan massal.
Politikus di Amerika Serikat punya data, bahwa senjata api sudah mengalahkan kecelakaan lalu lintas sebagai faktor utama kematian massal di Negara Paman Sam. Tetapi mereka dikritik karena tidak melakukan apapun untuk mengatasi hal tersebut.
“Mengapa kita terus membiarkan ini terjadi. Mengapa kita rela hidup dengan pembantaian ini? Ujar Presiden AS, Joe Biden seperti dikutip BBC pada 25 Mei.
Meskipun Biden sudah menyatakan keprihatinan, tidak ada respon segera dari Partai Demokrat sebagai partai pendukungnya untuk mendesak pemberlakukan undang-undang yang lebih ketat tentang kepemilikan senjata. Pernyataan para politikus hanya menjadi retorika, yang selalu diulang-ulang setiap kali peristiwa penambakan massal terjadi.
Nilai Saham Produsen Senjata Naik
Kontradiktif dengan pernyataan keprihatinan Biden dan kedukaan keluarga para korban penembakan massal, produsen senjata api di Amerika Serikat justru menangguk keuntungan. Itu dibuktikan dengan lonjakan harga saham produsen senjata api di bursa saham Amerika Serikat.
Hanya sehari setelah aksi brutal Ramos di Robb Elementary School, Uvalde, nilai saham Smith & Wesson dan Sturm, Ruger & Company naik. Keduanya merupakan produsen senjata api terbesar di Amerika Serikat.
Seperti dikutip The Independent, saham Smith & Wesson naik 1,2 persen dan Sturm, Ruger & Company 0,9 persen. Kenaikan nilai saham tersebut lantas dikritik sebagai tidak berperasaan, cerminan masyarakat yang tidak normal. Karena itu produsen senjata dan para penggemarnya lantas dikatakan sama-sama sakit jiwa.
Di saat para korban dan masyarakat kebanyakan mengkritik soal tragedi pembunuhan massal berencana tersebut, penggemar senjata api tetap memborong senjata pada hari-hari setelah insiden, entah di Buffalo, Laguna Woods, maupun Uvalde. Akibatnya, nilai saham perusahaan pembuat senjata pun melonjak.
Ditengarai lonjakan pembelian senjata api tersebut akibat panic buying. Para pencandu senjata api khawatir Pemerintah Amerika Serikat akan mengeluarkan aturan baru yang melarang atau membatasi senjata api maupun amunisi. Mereka berjaga-jaga ada respon cepat sebagai tanggapan atas tragedi penembakan massal yang semakin kerap terjadi.
Selalu Jadi Kontroversi
Isu pelarangan kepemilikan senjata api di Amerika Serikat sudah menjadi kontroversi sejak 1994. Penggemar senjata selalu khawatir jika Partai Demokrat berkuasa, maka undang-undang pelarangan senjata api akan diberlakukan. Namun hal tersebut tidak pernah terjadi.
Kepemilikan senjata api tidak pernah dilarang hingga kini. Hanya soal pembatasan stok amunisi milik pribadi yang dibatasi. Pemerintah federal pernah mengeluarkan aturan larangan kepemilikan senapan serbu pada 1994, namun 10 tahun kemudian peraturan tersebut dihapuskan.
Mantan Presiden Donald Trump pernah mengusulkan agar larangan kepemilikan senapan serbu kembali diberlakukan setelah tragedi penembakan massal di Las Vegas pada 2017. Namun hingga Trump lengser, usulannya tersebut tak pernah terealisasi.
Abbott sebagai Gubernur Texas malah membuat aturan yang sangat bertentangan dengan harapan para korban penembakan massal. Pada 2021, politikus dari Partai Republik itu justru melonggarkan peraturan kepemilikan senjata api di negara bagian tersebut.
Texas dikenal sebagai negara bagian di Amerika Serikat paling “gila” dalam urusan kepemilikan senjata api. Pada 2015 undang-undang Texas mengizinkan warganya menenteng senjata api di tempat umum tanpa perlu izin, bahkan ke kampus pun boleh.
Undang-undang tersebut masih berlaku hingga kini meskipun menurut jajak pendapat yang dikutip New York Post, sebanyak 60 persen responden menolaknya. Sekarang aturan tersebut malah dilonggarkan oleh Abbott, dengan tidak mewajibkan senjata yang dibawa harus disimpan dan disarungkan di balik baju.
Diselesaikan Lewat Ganti Rugi
Tarik ulur soal larangan dan pembatasan kepemilikan senjata api di Amerika Serikat entah sampai kapan berakhir. Pastinya, produsen dan para korban penembakan massal selalu menemukan penyelesaian lewat ganti rugi.
Seperti yang pernah dihadapi Remington, salah satu produsen senjata api di Amerika Serikat yang memproduksi senapan AR-15. Remington harus membayar ganti rugi sebesar 73 juta dolar AS kepada keluarga korban penembakan massal di Sandy Hook Elementary School di Newton, Connecticut pada 14 Desember 2012.
Saat itu seorang pemuda berusia 20 tahun bernama Adam Lanza menembak secara membabi buta di sekolah dasar tersebut. Aksi koboinya menewaskan 26 orang, 20 di antaranya adalah anak-anak usia 6-7 tahun dan enam guru.
Senapan jenis AR-15 merupakan yang dipakai Ramos untuk membantai 19 bocah dan 2 orang dewasa di Robb Elementary School, Uvalde pada 24 Mei lalu. Sangat mungkin Remington sebagai produsen senjatan tersebut harus kembali membayar ganti rugi kepada keluarga korban.
Sementara di sisi lain, aturan kepemilikan senjata api di Amerika Serikat tetap longgar. Bukan mustahil peristiwa penembakan massal bakal terulang dan korban jiwa tak berdosa kembali berjatuhan. Bayangkan, di Amerika Serikat menurut catatan kepolisian yang dikutip LA Times sepanjang 2022 yang baru lima bulan berjalan, tercatat 213 kasus penembakan. Benar-benar masyarakat yang sakit!
Baca juga:
- Mengurusi Problematika Praktik LGBT Ibarat Perang Tiada Akhir
- Dunia Digegerkan Penyakit Cacar Monyet: Sudah Menyerang Singapura, tapi Indonesia Masih Tenang-Tenang Saja
- Tepatkah Formula E Dipakai Sebagai Media Kampanye Kebijakan Ramah Lingkungan?
- Ustaz Abdul Somad Pakai Diksi Deportasi Soal Kejadian Dilarang Masuk Singapura: Sengaja atau Tidak Paham?