Wamenkum HAM: Penyerangan Martabat Presiden dan Wapres Jadi Delik Aduan
JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkum HAM) Edward O.S. Hiariej mengatakan pasal terkait penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden berubah dari delik biasa menjadi delik aduan dalam RUU KUHP.
"Dalam Pasal 218, kami memberikan penjelasan bahwa ini adalah perubahan dari delik yang bersifat aduan, yang sebelumnya delik biasa," kata Edward dalam rapat dengar pendapat di gedung DPR, Senayan, Jakarta dilansir Antara, Rabu, 25 Mei.
Rapat dengar pendapat antara Kemenkum HAM dan Komisi III DPR itu merupakan tindak lanjut pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Edward menambahkan Pemerintah sama sekali tidak membangkitkan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ini justru berbeda dan kami menambahkan pengaduan dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden," jelasnya.
Baca juga:
- PBB Puji Jokowi Soal Penanganan Pandemi COVID-19 di Indonesia
- Larangan Warga Arab Saudi ke Indonesia Tidak Berpengaruh pada Ibadah Haji
- Sebelum Membantai 21 Orang, Pelaku Penembakan di SD Texas Coba Bunuh Neneknya Tapi Gagal
- Digadang-gadang Maju Pilpres 2024, Jenderal Andika Perkasa: Terima Kasih Dukungannya, Saya Fokus Bekerja
Dalam pasal itu juga diberikan pengecualian untuk tidak dituntut apabila menyangkut kepentingan umum.
Dia menjelaskan pemerintah telah melakukan sosialisasi RUU KUHP di 2021, di mana hasilnya pemerintah melakukan penyempurnaan dengan melakukan reformulasi dan memberikan penjelasan terhadap pasal-pasal kontroversi, berdasarkan masukan dari berbagai unsur masyarakat dan K/L.
Sebelumnya, Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam KUHP. Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.