Indonesia Berharap G20 Dorong Pemerataan Digital di Seluruh Dunia

JAKARTA - Pemerataan konektivitas digital di seluruh tempat di dunia, kini menjadi sangat penting. Untuk itu pemerintah Indonesia menggunakan Presidensi G20 Indonesia untuk mendorong agar digitalisasi merata di seluruh dunia.

Dukungan nyata terhadap pemerataan konektivitas diwujudkan melalui Digital Economy Working Group, bahwa konektivitas digital menjadi salah satu isu prioritas untuk didiskusikan bersama negara anggota G20 pada forum tersebut.

Bukan tanpa sebab konektivitas digital menjadi suatu hal yang begitu penting untuk dibahas di tingkat dunia. Sejak pandemi virus corona, internet menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar karena terbukti sangat membantu aktivitas dan perekonomian ketika kegiatan fisik sangat terbatas.

Ketika begitu banyak hal bergantung pada internet, faktanya, masih banyak orang yang belum memiliki akses. Data International Telecommunication Union (ITU) pada 2021, dikutip dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, menunjukkan ada 2,9 miliar orang di dunia yang belum pernah menggunakan internet.

"Saat ini kemajuan teknologi begitu pesat," kata Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate, dalam sebuah wawancara khusus bersama redaksi ANTARA beberapa waktu lalu.

Di tengah perkembangan teknologi yang begitu cepat, masih ada negara yang sedang membangun infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi agar seluruh masyarakat bisa merasakan manfaat internet.

Secara garis besar, negara yang bergabung dengan G20 terdiri dari dua kelompok. Pertama, negara yang juga termasuk anggota G7 yaitu negara yang menjadi produsen teknologi. Mereka ialah Jepang, Kanada, Prancis, Italia, Jerman, Amerika Serikat dan Inggris Raya.

Kelompok kedua terdiri dari negara-negara berkembang, yang menggunakan teknologi. Indonesia termasuk dalam kelompok kedua ini.

Kepentingan kedua kelompok ini tentu berbeda. Pemerintah berkomitmen menjadi "jembatan" bagi kedua kelompok ini supaya kesepakatan tentang konektivitas digital bisa dirasakan manfaatnya, baik oleh negara-negara anggota maupun dunia.

"Kita ingin meletakkan ini di meja perundingan agar bisa ditemukan titik temu, antara kepentingan negara industri G7 dengan kepentingan-kepentingan negara-negara dunia ketiga, sebagai pengguna teknologi," kata Johnny.

Infrastruktur Digital di Indonesia

Di Indonesia, pembangunan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi dititikberatkan pada 4G, jaringan seluler yang saat ini paling banyak digunakan di dunia.

Pembangunan infrastruktur 4G antara lain berupa penggelaran kabel serat optik dan pembangunan menara base transceiver station (BTS).

Untuk wilayah yang tidak bisa dihubungkan ke jaringan telekomunikasi melalui kabel serat optik, baik dari darat maupun laut, pemerintah menyiapkan kapasitas satelit dan juga sedang membangun satelit multifungsi SATRIA-1 beserta cadangan.

Pembangunan infrastruktur digital di Indonesia selain memprioritaskan 4G, juga berorientasi pada 5G, jaringan yang sudah diadopsi secara terbatas di Tanah Air sejak 2021.

Terdapat tiga aspek yang harus diperhatikan soal pemerataan konektivitas, baik di Indonesia maupun dunia. Pertama, infrastruktur TIK yang digelar harus terhubung ke negara lain. Konektivitas pada dasarnya tidak bisa berdiri sendiri.

Kedua, sumber daya manusia yang memiliki kemampuan yang memadai.

"Bagaimana supaya peningkatan kualifikasi sumber daya manusia digital itu bisa memadai dan mumpuni baik dalam kualifikasinya maupun dalam jumlah," kata Johnny.

Sebagai contoh, Indonesia membutuhkan 9 juta sumber daya manusia digital pada kurun waktu 2015-2030. Jika dibagi per tahun, rata-rata Indonesia membutuhkan 600.000 sumber daya manusia yang memiliki keterampilan digital.

Ketiga, ketersediaan spektrum frekuensi yang memadai. Dalam hal ini, Indonesia melakukan farming (penambahan) dan refarming (penataan ulang) spektrum frekuensi radio untuk menyediakan pita lebar (bandwidth) 4G dan 5G.

Ajang Pertukaran Pengetahuan

Forum G20, khususnya Digital Economy Working Group yang membahas isu konektivitas dan pemulihan pascaCOVID-19, berfungsi sebagai ajang bertukar pikiran dan berbagi pengalaman soal praktik apa saja yang dilakukan negara anggota dalam pemerataan konektivitas digital.

Dalam forum ini, pemerintah Indonesia, yang diwakili Kementerian Kominfo mendorong diskusi antara negara produsen teknologi dengan pengguna teknologi untuk menemukan solusi atas isu konektivitas.

"Perlu ada titik-titik jumpa, ya, bagaimana kepentingan negara produsen ini bertemu dengan kepentingan negara-negara konsumen," kata Johnny.

Forum DEWG ini diharapkan bisa menjadi tempat pertukaran informasi dan pengetahuan bagaimana isu pemerataan konektivitas bisa teratasi.

Misalnya, melalui pertukaran informasi, praktik-praktik yang dilakukan Indonesia soal pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia digital bisa saja diadopsi negara lain, yang memiliki kasus sama.

"Contoh-contoh ini harus dilakukan negara-negara lain juga agar digitalisasi di G20 dan seluruh dunia itu bisa berjalan dengan baik," kata Johnny.

Kesepakatan yang nanti dihasilkan forum ini tidak mengikat seperti undang-undang, namun, bisa diadopsi oleh negara anggota sesuai dengan prioritas masing-masing menjadi sebuah regulasi.

"Di sinilah pentingnya negosiasi di dalam kesepakatan-kesepakatan G20. Nanti, setelah itu bisa berbentuk regulasi-regulasi atau kerjasama-kerjasama multilateral dan kerjasama bilateral di sektor informasi," kata Johnny.

Pembahasan isu konektivitas digital pada DEWG G20 menjadi penting, pasalnya forum G20 bersifat strategis jika dilihat dari betapa luas pengaruhnya terhadap perekonomian.

Negara anggota G20 menguasai 85 persen perekonomian dunia dan 79 persen perdagangan global. Cakupan penduduk negara anggota forum ini juga luas, yaitu sebanyak 65 persen dari penduduk dunia.