Bupati Jayapura Minta Presiden Jokowi Hadiri Kongres Masyarakat Adat di Papua
JAKARTA - Bupati Jayapura Mathius Awoitauw meminta Presiden Joko Widodo menghadiri Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI pada bulan Oktober mendatang di Papua.
Usai pertemuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat dengan Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Mathius mengatakan kegiatan yang menyatukan masyarakat adat seluruh Indonesia tersebut menjadi simbol persaudaraan dan kekeluargaan.
"Bapak Presiden kami minta untuk hadir untuk membuka (acara) dan itu akan terjadi persaudaraan kekeluargaan. Jadi, tidak ada perbedaan agama, suku bangsa, yang selama ini secara nasional terus diperbincangkan," kata dia dikutip Antara, Jumat, 20 Mei.
Mathius yang mewakili Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat itu menjelaskan rencana pelaksanaan KMAN VI pada tanggal 24—29 Oktober 2022.
Sebanyak 6.000 sampai 8.000 orang yang merupakan masyarakat adat dari seluruh Indonesia hadir di Papua dengan menampilkan pameran dan panggung seni budaya dari wilayah asal.
"Itu bisa sampai 8.000 orang dari seluruh Indonesia, hadir di Papua, tinggal di rumah-rumah masyarakat," kata Mathius.
Baca juga:
- Presiden Timor Leste Ingin Perkuat Hubungan dengan Indonesia
- Korea Utara Klaim Tangani COVID-19 dengan Baik, Tapi Kasus Demam Tembus Dua Juta dan Kematian Bertambah
- Digempur Artileri serta Lapis Baja Rusia, Presiden Zelensky Sebut Kawasan Donbas Hancur dan Jadi 'Neraka'
- Bule Estonia yang Tuding Polisi Korup Sudah Tinggalkan Bali
Berdasarkan informasi dari situs resmi Kabupaten Jayapura, KMAN VI akan diselenggarakan di wilayah Tanah Tabi. Seluruh peserta akan menempati rumah penduduk dan membuat sarasehan sebagai rangkaian kegiatan kongres.
Ada pun Tanah Tabi merupakan salah satu daerah yang diusulkan untuk pemekaran provinsi dalam pembentukan daerah otonomi baru (DOB) di Provinsi Papua.
Dalam pertemuannya dengan Presiden Jokowi, Mathius menjelaskan rencana pembentukan daerah otonomi baru merupakan aspirasi murni warga Papua sejak lama. Papua Selatan, misalnya, telah memperjuangkan selama 20 tahun.
"Jadi, ini bukan hal yang baru muncul tiba-tiba. Akan tetapi, ini adalah aspirasi murni, baik dari Papua Selatan maupun Tabi, Saereri, La Pago, dan Mee Pago," katanya.
Mathius menekankan Undang-Undang Otonomi Khusus itu mengikat semua masyarakat di seluruh tanah Papua, dan memberikan kepastian hukum untuk mengelola ruang-ruang yang dimiliki masyarakat adat berdasarkan tujuh wilayah adat di tanah Papua.