Larangan Berkumpul di Thailand Tak Membuat Demonstran Anti Pemerintah Gentar
JAKARTA - Represifitas Pemerintah Thailand, tak menyurutkan aksi unjuk rasa yang menuntut Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mundur. Meski pemerintah telah menerbitkan larangan berkumpul lebih dari lima orang atau lebih, puluhan ribu demonstran masih turun ke jalan-jalan di Bangkok.
"Saya tidak takut. Darurat atau tidak, saya tidak punya kebebasan,” kata salah seorang demonstran Thanatpohn Dejkunchorn, yang pulang kerja lebih awal untuk menghadiri protes bersama teman-temannya. “Saya ingin ada kebebasan di negara ini. Saya ingin bebas dari lingkaran setan ini," katanya dikutip Reuters.
Aksi demonstrasi ini sudah bergulir sejak pertengahan Juli. Ini merupakan ujian politik terbesar Thailand dalam beberapa tahun.
"Kami harus menciptakan pemahaman dengan para pengunjuk rasa," kata juru bicara pemerintah Anucha Burapachaisri. Ia mengeluhkan para pemimpin unjuk rasa tidak memberikan informasi utuh kepada massa yang protes.
Mulanya, pemerintah membiarkan jalannya demonstrasi. Namun semuanya berubah ketika pengunjuk rasa menghambat dan mencemooh iring-iringan mobil Ratu Suthida saat ia dan raja baru sampai dari Eropa, tempat mereka menghabiskan sebagian besar waktunya, meski negaranya tengah dilanda krisis.
Setelah peristiwa tersebut, mengeluarkan dekrit darurat yang mengutip hal itu serta risiko terhadap keamanan nasional dan ekonomi dari protes. Pemerintah juga menyatakan bahaya penyebaran COVID-19 sebagai alasan untuk mengeluarkan dekrit darurat.
Pemerintah Thailand terlihat semakin represif. Salah satunya terlihat dari pernyataan polisi setempat yang akan menangkap semua pengunjuk rasa, meskipun mereka tak menjelaskan bagaimana mereka akan menuntut puluhan ribu orang.
Tindakan pemerintah semakin keras ketika menyapu sebuah kamp para pengunjuk rasa yang didirikan di luar kantor PM Prayuth. Aparat sedikitnya menangkap tiga pemimpin aksi. Sementara dalam seminggu terakhir ini tercatat ada 40 kali penangkapan.
“Jelas bahwa negara ingin menggunakan kekuasaan yang berlebihan dan tidak perlu pada orang-orang,” kata Pattanun Arunpreechawat, mahasiswa berusia 22 tahun, yang bergabung dalam protes.
Tuntut reformasi monarki
Seperti diketahui, para pengunjuk rasa Thailand menuntut PM Prayuth, yang pertama kali mengambil alih kekuasaan lewat kudeta pada 2014 untuk mundur. Para demonstran yakin Prayuth merekayasa aturan pemilihan tahun lalu untuk mempertahankan posisinya. Namun tuduhan itu dibantah Prayuth.
Selain itu para pengunjuk rasa juga telah menuntut hal yang dianggap tabu selama ini. Mereka menuntut adanya perubahan konstitusi dan mereformasi sistem monarki yang selama ini dianut Thailand.
Para peserta demonstran berkumpul di bawah bayang-bayang pusat perbelanjaan kelas atas dan blok menara mengkilap yang menjadi rumah bagi perusahaan multinasional dan bisnis. Selain itu, para pengunjuk rasa juga berkumpul di Persimpangan Ratchaprasong, yang punya nilai sejarah bagi para pengunjuk rasa.
Pada 2010, monumen itu menjadi saksi atas terjadinya pertumpahan darah yang dialami pengunjuk rasa. Insiden itu terjadi ketika pasukan keamanan menindak kubu Kaos Merah --pendukung PM Thaksin Shinawatra yang digulingkan militer-- yang memerangi kubu Kaos Kuning yang pro-kerajaan.