Indef Bilang Pemerintah Lamban Eksekusi Belanja, Sri Mulyani Ungkap Hal Sebenarnya
JAKARTA - Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai pemerintah lamban dalam mengeksekusi belanja negara pada awal tahun ini. Menurut dia, realisasi belanja yang gencar berpeluang mengerek pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
“Pertumbuhan ekonomi kita sebenarnya bisa lebih tinggi dari 5,01 persen pada triwulan satu jika saja pemerintah bisa belanja lebih banyak di awal tahun,” ujar dia saat berjumpa dengan wartawan melalui saluran virtual, Rabu, 11 Mei.
Asumsi Eko didasarkan pada data yang menyebut bahwa komponen konsumsi pemerintah mengalami perlambatan minus 7,74 persen secara tahunan atau year on year (yoy) dibandingkan dengan triwulan I 2021.
Dalam pandangan dia, mandeknya belanja tidak lepas dari tradisi menumpuk di akhir tahun yang membuat daya ungkit konsumsi tidak optimal untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional.
“Saya rasa tidak ada alasan untuk menunda belanja sebab pendapatan negara pada 2021 lalu cukup kuat, bahkan surplus. Jadi dari sisi ketersediaan dana tidak ada masalah,” tegasnya..
“Kalau pertumbuhan ekonomi tinggi di awal tahun maka hingga triwulan-triwulan selanjutnya biasanya ikut tertopang dan bisa mendapat hasil yang bagus juga,” sambung Eko.
Mengutip data yang dilansir oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), diketahui jika belanja negara pada akhir kuartal I 2021 adalah sebesar Rp534 triliun. Bukuan itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan kuartal I 2022 yang sebesar Rp490 triliun.Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani sendiri menjelaskan jika perbedaan itu disebabkan oleh dua faktor utama.
Baca juga:
Pertama, tingginya belanja barang di 2021 yang meningkat Rp19,1 triliun untuk pembelian vaksin COVID-19, pembayaran klaim pasien, dan pembelian obat-obatan.
Kedua adalah belanja modal 2021 yang bertambah sekitar Rp17,3 triliun akibat carryover proyek-proyek yang sempat tertunda di 2020.
“Ini yang menyebabkan kemudian tahun 2021 belanja modal melonjak sangat tinggi, dan pada 2022 sudah normal kembali,” kata Menkeu Sri Mulyani pada Rabu, 20 April yang lalu.
Adapun, faktor lain yang membuat belanja APBN terkesan melambat adalah karena realisasi belanja pemerintah daerah (pemda) yang lamban.
Data menyebutkan bahwa sampai dengan Maret 2022 belanja pemda tercatat sebesar Rp93,45 triliun. Nilai tersebut jauh lebih rendah dari realisasi Maret 2021 yang mencapai Rp105,94 triliun.
“Ini artinya daerah-daerah masih perlu mengakselerasi belanja mereka. Namun, kami memprediksi pada April realisasi belanja di daerah akan melonjak signifikan di daerah dan pusat,” ucap Menkeu.