Putin: Serangan Kilat Ekonomi dari Negara Barat Tidak Efektif, Malah Berdampak ke Mereka
JAKARTA - Rusia klaim kalau pondasi ekonomi mereka tetap kuat meski dihajar sana-sini oleh negara-negara Barat akibat keputusan melakukan invasi ke Ukraina. Sanksi ekonomi yang diberikan, kata Presiden Vladimir Putin, sudah gagal.
"Kita sudah dapat mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa kebijakan ini -- sanksi ekonomi-- telah gagal di Rusia," ucap Putin dikutip dari laman resmi kepresidenan Rusia, Selasa 19 April.
Putin berbicara dalam pertemuan tentang masalah ekonomi, melalui konferensi video dengan sejumlah pejabat tinggi Rusia. Hadir Perdana Menteri Mikhail Mishustin, Kepala Staf Kantor Eksekutif Presiden Anton Vaino, Wakil Perdana Menteri Pertama Andrei Belousov, Ajudan Presiden Maxim Oreshkin, Menteri Pembangunan Ekonomi Maxim Reshetnikov, Menteri Keuangan Anton Siluanov, dan Bank Sentral Gubernur Elvira Nabiullina.
Putin menjelaskan, negara barat pasti berharap kalau sanksi-sanksi tersebut akan menghasilkan efek yang menghancurkan pada keuangan dan ekonomi Rusia, menebar kepanikan di pasar, membawa keruntuhan sistem perbankan dan menciptakan kekurangan besar barang-barang di toko-toko.
Namun, sekali lagi, Putin tegas bilang kalau serangan kilat ekonomi itu terbukti tidak efektif. Malah Putin bilang, sanksi itu berdampak pada negara-negara barat sendiri.
"Saya mengacu pada inflasi dan pengangguran yang lebih tinggi dan prospek ekonomi yang memburuk untuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, serta penurunan standar hidup orang Eropa dan depresiasi tabungan mereka," beber Putin.
"Rusia telah mampu menahan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya ini. Situasi kembali normal dengan rubel pulih ke posisi semula pada paruh pertama Februari, yang disebabkan oleh surplus perdagangan yang kuat, yang merupakan realitas objektif. Pada kuartal pertama, surplus transaksi berjalan melebihi $58 miliar, menetapkan rekor tertinggi dalam sejarah. Uang asing kembali ke sektor perbankan dan simpanan rumah tangga tumbuh," jelasnya.
Baca juga:
- ASN Jangan Bandel, Kendaraan Dinas Dilarang untuk Mudik, Pejabat Bisa Tiru Yogyakarta Taruh Mobil di Pool Pemda
- Tinjau Persiapan Mudik di Tol Trans Sumatera, Menteri PUPR Basuki Minta Penambahan Fasilitas Umum di Rest Area
- Sektor Darat Paling Krusial, Kemenhub Siapkan Tiga Skema Rekayasa Lalu Lintas Mudik Lebaran 2022
- Amankan Pasokan Energi Selama Arus Mudik Lebaran, Pertamina Tambah Stok Rata-Rata Harian BBM dan Elpiji
Presiden Prancis Emmanuel Macron memutuskan untuk menghentikan dialog dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, seiring dengan penemuan ratusan jasad korban pembunuhan massal di Ukraina.
Dunia internasional dikejutkan dengan penemuan jasad warga sipil yang diduga korban pembunuhan massal di Bucha, pinggiran Kyiv, diikuti dengan penemuan di lokasi lain, di mana ditemukan ketidakwajaran pada jasad para korban.
"Sejak pembantaian yang kami temukan di Bucha dan di kota-kota lain, perang telah mengambil giliran yang berbeda, jadi saya tidak berbicara dengannya lagi sejak itu, tetapi saya tidak mengesampingkan melakukannya di masa depan," ujar Presiden Macron kepada TV5 Prancis seperti melansir Reuters 19 April.
Ditanya mengapa dia tidak mengikuti contoh para pemimpin Eropa lainnya dan melakukan perjalanan ke ibukota Ukraina, Kyiv, Presiden Macron mengatakan pertunjukkan dukungan dengan sendirinya tidak diperlukan setelah invasi Rusia 24 Februari ke Ukraina.
"Saya akan kembali ke Kyiv, tetapi saya akan pergi ke sana untuk membawa sesuatu yang berguna bersama saya. Jarena jelas saya tidak perlu pergi ke sana untuk menunjukkan dukungan ini," ujar Macron, seraya menambahkan bahwa dia telah berbicara sekitar 40 kali sejak awal perang untuk Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy.
"Jika saya pergi ke Kyiv, itu akan membuat perbedaan," tegasnya.