DPR Lumpuh: Terlalu Banyak Wakil yang Seharusnya Tak Dipilih Rakyat
JAKARTA - Kemarin, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan keputusan pemerintah yang buru-buru mengesahkan peraturan Omnibus Law. Pemerintah seolah abai. Fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tampak lumpuh. Buktinya mereka seperti tutup telinga atas suara-suara kaum buruh yang menolak peraturan tersebut. Sulit menganggap bahwa DPR masih mewakili suara rakyat.
Peraturan yang disusun dengan metode omnibus sudah lama digaungkan di Indonesia. Bahkan dalam pidato pertama saat baru menjabat periode kedua, Presiden Joko Widodo langsung tancap gas agar beleid yang mencakup UU Cipta Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM itu digeber.
“Masing-masing UU tersebut akan menjadi Omnibus Law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU,” kata Jokowi.
Pada Rabu 12 September, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan draf RUU Omnibus Law kepada Ketua DPR Puan Maharani. Draf yang diserahkan terdiri dari 15 bab dan 174 pasal.
Saat itu DPR menjamin pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja bakal melibatkan buruh. Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR Sri Rahayu. Ia juga memastikan bahwa pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja tidak tertutup dan kelompok buruh akan dilibatkan dalam pembahasan.
"Menurut saya tidak menutup kemungkinan bapak-bapak dari serikat bisa memberikan masukan. Saya kira tidak akan tertutup untuk itu," kata Sri saat menerima perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) di Kompleks Parlemen, Senayan, dikutip dari Kompas.
Senada dengan itu, Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel juga menjamin DPR akan mendengar aspirasi para pekerja dan akan dilibatkan dalam pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. "Kami akan berjuang secara objektif, manfaat buat bangsa ini, buat keluarga yang belum dapat pekerjaan, dan juga buat kawan-kawan di depan," kata Gobel, meyakinkan.
Memasuki April 2020, DPR mulai membahas draf RUU Omnibus Law. Bersama eksekutif mereka membahas ekosistem investasi, kegiatan berusaha dan ketenagakerjaan.
Pembahasan beleid pada saat kasus COVID-19 lagi tinggi-tingginya mendapat kritik banyak pihak. Rakyat menyarankan agar DPR lebih fokus mengurus pandemi, namun DPR dan pemerintah bergeming. Omnibus Law tetap diprioritaskan.
Tancap gas
Pemerintah terus bergerak dan terlihat acuh terhadap desakan yang datang. Pada Agustus, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mendorong agar pembahasan RUU Omnibus Law bisa segera selesai, setidaknya akhir Agustus. Luhut melihat bahwa dengan Omnibus Law proses perizinan, syarat penanaman modal, dan lain-lainnya akan sederhana.
Namun, masyarakat tetap menolak upaya tersebut. Untuk meredakan desakan warga, DPR kembali mengumbar janji. Ketua DPR Puan Maharani mengatakan bahwa DPR akan menerima masukan dari masyarakat, buruh, pemerintah, dan investor dalam pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Ia mengatakan DPR bakal memberikan ruang untuk pembahasan RUU tersebut.
"Tujuannya adalah bagaimana bisa memberikan ruang dalam mengatasi lapangan kerja. Jangan ada satu pihak dirugikan, namun ada pihak yang lebih diuntungkan," kata Puan dalam keterangan tertulis, dikutip dari Tempo.
Hingga akhirnya pada 3 Oktober, tepat ketika warga sedang berakhir pekan, DPR dan pemerintah menyepakati RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Kedua pihak sepakat peraturan itu akan disahkan pada rapat paripurna yang dijadwalkan pada 8 Oktober.
Yang lebih mengagetkan lagi, agenda pengesahan dipercepat menjadi 5 Oktober kemarin. Rapat berlangsung di gedung DPR RI dipimpin oleh Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas. Rapat tersebut juga dihadiri oleh 318 anggota DPR, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, serta perwakilan DPD RI.
Mereka berdalih, percepatan itu dilakukan karena kasus COVID-19 di DPR terus bertambah, penutupan masa sidang harus dipercepat. Dari sembilan fraksi partai, hanya dua yang menolak.
Janji kosong wakil rakyat
Melihat perjalanan Omnibus Law yang bermula dari gagasan hingga disahkan sebagai UU, DPR sama sekali tidak mempertimbangkan suara buruh yang menjadi elemen penting karena yang paling terdampak dalam UU tersebut. Janji melibatkan buruh untuk membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja omong kosong, terbukti dengan rapat yang dilangsungkan tiba-tiba, dilakukan pada malam hari, bahkan dipercepat.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) DKI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi mengatakan bahwa penting untuk tahu rekam jejak kebijakan yang diambil wakil rakyat. Apa yang terjadi di situasi politik saat ini bisa menjadi catatan bagi rakyat bahwa mereka, yang dipilih oleh rakyat, justru berbalik mengkhianati rakyat. Orang yang menyandang kata 'rakyat' pada Dewan Perwakilan Rakyat, justru tidak berada di pihak rakyat.
"Akan tetapi tak hanya melihat rekam jejak, tetapi juga harus melirik catatan sejarah karena ini adalah salah satu sejarah besar bangsa Indonesia yang situasinya sekarang kita tidak hanya menghadapi pandemi, krisis lingkungan itu membutuhkan pemulihan secara cepat. Justru mereka membuka peluang krisis lingkungan semakin dalam dan semakin meluas," kata Tubagus Soleh Ahmadi, saat dihubungi VOI.
Baca juga:
Ahmadi menilai, DPR saat ini sudah dikuasai kaum-kaum oligarki. Menurutnya para oligarki tersebut memang telah menguasai situasi perpolitikan dan ekonomi republik ini.
"Ini bukan persoalan situasi politik, tetapi situasi politiknya yang telah dikendalikan dengan oligarki ekonomi yang menguasai perekonomian di republik ini. Yang mempunyai bisnisnya juga di republik ini. Jadi, ini yang harus dilawan," ujar Ahmadi.
Menurutnya, apabila DPR tetap mengabaikan suara-suara rakyat, mereka pantas mendapat hukuman. Salah satu caranya yakni dengan memboikot produk-produk yang dibuat oleh salah satu kelompok oligarki dan terus melakukan protes-protes secara kolektif.
"Menghukum mereka memang harus kita lakukan, dan penting sekali. Dengan banyak cara. Misalnya, boikot produk oligarki yang tak pro rakyat tadi dan terus melakukan protes-protes kolektif. Jadi, jangan terjebak pada pilih memilihnya. Sebab, mereka dikendalikan dengan oligarki tadi," pungkasnya.