Balada Komisioner KPU: Tolak Koruptor Nyaleg Tapi Ikutan Korupsi
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menetapkan status hukum Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) dalam suatu kasus korupsi pada siang ini.
Penangkapan Wahyu menjadi masalah serius karena ia memegang jabatan sebagai penyelenggara pemilihan umum. Ironisnya, selama ini pimpinan KPU periode 2017-2022 gencar melakukan segala cara untuk mencegah mantan narapidana korupsi mencalonkan sebagai peserta pemilu.
Mari kita ulas kembali. Saat masa pendaftaran bakal calon anggota legislatif dan eksekutif Pemilu 2019, terdapat puluhan bakal caleg mantan napi korupsi yang tidak diloloskan KPU lantaran statusnya sebagai eks koruptor.
Para bakal caleg eks koruptor tak terima dengan keputusan tersebut. Mereka menggugat Pasal 4 ayat 3 Peraturan KPU (PKPU) nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, serta uji materi pasal 60 huruf j PKPU nomor 26 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota DPD ke Mahkamah Agung (MA).
Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu nomor 7 tahun 2017.
Putusan tersebut berakibat pada berubahnya status Tidak Memenuhi Syarat (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi Memenuhi Syarat (MS). Artinya, mantan napi korupsi diperbolehkan untuk maju sebagai caleg.
Baca juga:
KPU mencari celah lain untuk menegaskan integritas mereka membersihkan calon-calon agar tidak melakukan tindak korupsi saat mereka terpilih. Meski calon eks koruptor tersebut lolos, KPU mengumumkan nama mereka lewat media massa dan media sosial.
Setelah pupus di Pemilu 2019, upaya pembersihan caleg eks koruptor dilakukan kembali di Pilkada 2020. Namun, upaya yang bakal disahkan lewat PKPU Pilkada 2020 ditolak oleh DPR RI.
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik menjelaskan alasan batalnya larangan bagi mantan narapidana korupsi mencalonkan diri. Ia bilang, rencana ini banyak menuai perdebatan. Disisi lain, tahapan Pilkada 2020 akan mulai berjalan sebentar lagi dan KPU terdesak untuk menerbitkan aturan secepatnya.
"Ini terlalu dipersoalkan, bisa menggangu tahapan pencalonan. Sekarang kan tahapan pencalonan sudah berjalan dari 26 Oktober, sehingga apa yang menjadi syarat syarat bagi calon perseorangan harus sudah selesai," ucap Evi saat dihubungi, Jumat 6 Desember.
Evi mengakui pihaknya tak mungkin gegabah mencantumkan pelarangan eks koruptor pada PKPU 18/2019. Berkaca pada kasus Pileg 2019, KPU berinisiasi mencantumkan larangan pencalonan eks koruptor.
Ternyata, sejumlah pasal dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang isinya melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg digugat ke MA. Sampai akhirnya, MA membatalkan pasal larangan tersebut dan mantan narapidana dalam kasus tersebut boleh kembali nyaleg, setelah sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) pencalonan.
KPU tak ingin polemik gugatan itu terulang tapi mereka tetap ingin calon kepala daerah bersih dari latar belakang korupsi. Karenanya, ada imbauan kepada partai politik untuk mengutamakan calon yang bukan eks koruptor. Imbauan tersebut masuk dalam Pasal tambahan PKPU 18/2019.
"Dalam seleksi bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengutamakan bukan mantan terpidana korupsi," tulis Pasal 3A ayat (3).
Akhirnya, KPU mengubah peraturan yang ada, Dalam Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2019 yang baru diterbitkan, tak ada larangan bekas koruptor mencalonkan sebagai kepala daerah.
PKPU ini merupakan perubahan atas PKPU Nomor 3 Tahun 2017. Aturan tersebut memuat tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang diterbitkan oleh Ketua KPU Arief Budiman pada 2 Desember 2019.
Dijelaskan Pasal 4 huruf (h) PKPU 18/2019, mantan narapidana yang tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah, yakni mantan narapidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak. Sementara, aturan larangan bagi mantan narapidana korupsi tidak tercantum.
Kini, segala niat KPU untuk membersihkan praktik korupsi tercoreng oleh penangkapan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Pimpinan KPK membenarkan kabar tersebut.
Berdasarakan informasi dari Ketua KPK Firli Bahuri, Wahyu diduga terseret kasus suap. "Kami melakukan penangkapan terhadap para pelaku yang sedang melakukan tindak pidana korupsi berupa suap. Kami masih bekerja," kata Firli, Rabu, 8 Desember.
Diceritakan oleh Ketua KPU Arief Budiman, pada Rabu kemarin, pimpinan KPU bekerja seperti biasa di Kantor KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, kecuali tiga pimpinan lainnya. Wahyu Setiawan, Viryan Aziz, dan Evi Novida Ginting dijadwalkan bertugas di luar kota.
Koordinasi antara pimpinan lewat satu grup WhatsApp juga terus mengalir sejak pagi. Sorre tadi, Arief menyadari Wahyu tak kunjung merespons pembicaraan dalam grup. Hingga akhirnya, Arief kaget mendapati kabar anak buahnya terjaring OTT.
"Tentu saja saya kaget," kata Arief.
"Seingat saya, beliau (Wahyu) ada tugas ke Belitung dalam rangkaian kegiatan Pilkada 2020. Tadi pagi kami di grup juga masih berkomunikasi. Tapi, sejak sore tadi sudah enggak bisa dihubungi," lanjut dia.
Sebagai Komisioner yang membidangi sosialisasi dan partisipasi masyarakat, Wahyu menuju Bandara Soekarno Hatta untuk bertola ke Belitung bersama satu orang staf pribadi dan beberapa staf humas KPU.
Kursi pesawat Wahyu dan staf pribadinya terpisah dengan rombongan humas. Ketika pesawat mendarat, staf humas menyadari bahwa Wahyu dan staf pribadinya tidak ikut terbang ke Belitung.
"Saya mendapat kabar dari humas, pak Wahyu sudah masuk bandara. Infonya enggak jadi terbang dan keluar dari bandara bersama staf pribadinya," jelas Arief.
Saat ini, KPK masih melakukan pemeriksaan kepada Wahyu dan empat orang lainnya yang terlibat dalam kasus suap ini. Lembaga Antirasuah ini bakal mengungkap hasil OTT dalam waktu 1x24 jam setelah penangkapan.