UU TPKS Dinilai Jadi Terobosan Penyusunan Produk Hukum yang Progresif

JAKARTA - Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani mengungkapkan penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang telah disahkan menjadi undang-undang merupakan terobosan penyusunan produk hukum yang progresif dan non-partisan.

"Model pelibatan berbagai pemangku kepentingan dan koordinasi intensif dengan DPR yang didorong oleh Gugus Tugas adalah 'best practice' yang dapat diterapkan untuk proses pembentukan produk hukum lainnya," kata Jaleswari di Jakarta, Selasa 12 April.

DPR resmi mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-undang dalam rapat paripurna ke-19 pada Selasa (12/4) setelah enam tahun dibahas.

"Jalan panjang pengesahan RUU TPKS menjadi UU TPKS berhasil ditempuh berkat kolaborasi bersama seluruh elemen bangsa, mulai dari legislatif, pemerintah, lembaga negara lainnya, masyarakat sipil, akademisi, bahkan yudikatif, yang keseluruhannya berikhtiar untuk membawa Indonesia keluar dari kedaruratan kekerasan seksual," ungkap Jaleswari.

Pemerintah, menurut Jaleswari, juga mengucapkan terima kasih kepada DPR dan unsur masyarakat sipil yang telah menginisiasi dan turut mendorong percepatan pembentukan RUU TPKS.

"Sehingga disahkan pada hari ini, juga atas kerja kolektif dan kolaboratif dari seluruh mitra strategis yang turut terlibat," ungkap Jaleswari.

Menurut Jaleswari, proses pembentukan RUU TPKS yang semula bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sudah bergulir sejak 2016 dan telah dilakukan percepatan di tahun 2021 melalui Gugus Tugas Percepatan Pembentukan RUU TPKS yang terdiri dari unsur lintas kementerian/lembaga.

Diketahui terdapat 8 fraksi di DPR yaitu Fraksi PDI Perjuangan, F-Golkar, F-Gerindra, F-NasDem, F-PKB, F-PAN, F-Demokrat, dan F-PPP yang menyetujui pengesahan RUU TPKS.

Sementara Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya fraksi yang menolak RUU TPKS dilanjutkan ke pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna karena menunggu pengesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

UU TPKS terdiri dari 8 bab dan 93 pasal dan memasukkan 9 bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; kekerasan seksual berbasis elektronik; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; dan perbudakan seksual.

Aturan tersebut juga mengakomodasi masukan koalisi masyarakat sipil seperti memasukkan mekanisme "victim trust fund" atau dana bantuan korban.

Undang-undang tersebut juga mengizinkan lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat ikut berperan dalam proses pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual, pelaku kekerasan seksual mendekati korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum serta mengatur ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping untuk memastikan pemenuhan hak korban.

Namun dua usulan awal yaitu pemerkosaan dan aborsi dihapus dalam UU TPKS karena pidana pemerkosaan akan diatur dalam RKUHP dan aborsi telah ada dalam UU Kesehatan.