Kinerja Summarecon Pengembang Properti Milik Konglomerat Soetjipto Nagaria Diproyeksi Lebih Baik, Pefindo Naikkan Peringkat SMRA dari A Jadi A+

JAKARTA - Kinerja keuangan pengembang properti milik konglomerat Soetjipto Nagaria, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) diproyeksikan bakal lebih baik di tahun ini. Ini tentun bakal memicu peningkatan indikator leverage keuangan dan arus kas perusahaan.

Lembaga pemeringkat Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) pun menaikkan peringkat Summarecon Agung dari A menjadi A+ dengan prospek stabil. Kenaikan peringkat utang juga berlaku untuk Obligasi Berkelanjutan III yang diterbitkan oleh Summarecon Agung.

Analis Pefindo Marshall Tatuhas dan Yogie Perdana menyebut, kenaikan peringkat SMRA mencerminkan penilaian Pefindo bahwa SMRA akan mempertahankan profil keuangannya yang kuat.

"Khususnya peningkatan di indikator leverage keuangan dan arus kas yang dipicu oleh proyeksi pendapatan yang lebih baik," ujar Marshall dan Yogie dalam keterangan resmi, dikutip Selasa 5 April.

Pefindo menilai, sumber pendapatan Summarecon di masa depan akan berasal dari prapenjualan di area yang sudah ada, terutama di Bogor dan Serpong, dan pengembangan area di masa depan. Ini termasuk peningkatan pendapatan di segmen pusat perbelanjaan dan hotel.

Peringkat A+ untuk Summarecon mencerminkan posisi pasar SMRA yang kuat di industri properti, kualitas aset yang baik, dan pendapatan berulang yang cukup. Namun, peringkat SMRA dibatasi oleh risiko pengembangan proyek baru di area baru dan karakteristik industri properti yang sensitif terhadap perubahan kondisi makroekonomi.

Pefindo akan menaikkan peringkat SMRA jika perusahaan secara konsisten mencapai target prapenjualan, pendapatan, dan EBITDA disertai rasio utang yang tetap konservatif.

Sebaliknya, Pefindo bisa menurunkan ratingSMRA jika perusahaan membukukan prapenjualan yang lebih rendah dari target serta progres penyelesaian pembangunan properti yang lebih lama dari perkiraan sehingga mengakibatkan pengakuan pendapatan yang tidak mencapai target.

"Peringkat juga bisa berada di bawah tekanan jika utang perusahaan lebih besar dari proyeksi, yang mengakibatkan struktur permodalan yang lebih agresif," ujar Marshall.