Jejak Pesona Istana Negara
JAKARTA - Jika ada bangunan yang menyimpan begitu banyak sejarah mengenai kiprah para pemimpin bangsa, Istana Negara pasti salah satunya. Saat awal dibangun, bangunan dominan putih itu dijadikan tempat singgah para gubernur jenderal Hindia-Belanda. Orang-orang menjuluki Istana Negara sebagai Paleis Rijswijk atau Istana Rijswijk.
Berdasar berbagai literasi, gedung besar di Jalan Merdeka Utara Jakarta Pusat itu adalah kediaman seorang Belanda kaya raya, Jacob Andries van Braam. Tahun 1796, Jacob yang seorang mantan residen Belanda untuk Surakarta mendirikan rumah peristirahatan dua lantai bergaya klasisme tertutup.
Kala itu, bangunan yang didirikan Jacob jadi satu-satunya bangunan megah yang menonjol di kawasan paling bergengsi di Batavia. Dikutip Agus Dermawan T. dalam buku Dari Lorong-Lorong Istana Presiden (2019), bangunan itu memancing banyak kekaguman dan pujian.
Bahkan, orang sekelas Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles yang mulai menginvasi Hindia-Belanda pada 1811-1816 turut menyatakan kekaguman akan Paleis Rijswijk. Saat berkuasa, Raffles menyita seluruh bangunan milik pejabat VOC yang dekat dengan gubernur jenderal Hindia-Belanda sebelumnya di kawasan Weltevreden (Nieuw Batavia), kecuali vila mewah milik Jacob.
“Ketika Inggris berkuasa di Indonesia, Thomas Stamford Raffles menertibkan sepanjang jalan di depan rumah Jacob. Rumah Jacob yang mentereng itu --juga kediaman keluarga WH van Iiseldijk, Direktur Jenderal Kerajaan Urusan Keuangan dan Tanah-- pun lantas diambil alih serta dipelihara. Ketika di tangan Raffies, rumah Jacob ini, yang oleh orang-orang Belanda tetap dijuluki sebagai Paleis Rijswijk atau Istana Rijswijk, difungsikan sebagai landmark Rijswijk,” tulisnya.
Sementera itu, hanya satu rumah, yakni rumah Iiseldijk yang diakuisi Raffles untuk kemudian dipercantik. Rumah itu kemudian dijuluki "Raffles House", yang setelahnya berfungsi sebagai Hotel Der Nederlanden. Namun Raffles justru banyak menghabiskan waktu di Paleis Rijswijk ketimbang di Raffles House. Raffles mengatakan, Jacob sebagai tuan rumah merupakan orang yang andal dalam menjamu tamu.
Sisa-sisa kemewahan itu masih dirasakan Raffles, membuatnya betah berdiam di Paleis Rijswijk. Sebagaimana termuat dalam buku Istana Presiden Indonesia (1975), setelah era Raffles, Paleis Rijswijk jadi tempat bermalam favorit para gubernur jenderal Hindia-Belanda untuk mengadakan rapat penting. Atas dasr itu Paleis Rijswijk mendapat julukan sebagai Hotel van den Gouverneur-Generaal atau hotelnya para gubernur jenderal.
“Pada awal abad ke-19 dan selama abad ke-20, gubernur jenderal lazimnya tinggal dalam iklim sejuk di Bogor. Tetapi, kadang-kadang mereka harus turun ke Batavia, khususnya untuk pertemuan Dewan Hindia, yang pada abad ke-19 bersidang di Istana Negara (Paleis Rijswijk) pada setiap hari Rabu,” ungkap Adolf Heuken Sj dalam buku Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (2007).
Menjadi kantor gubernur jenderal
Setelah sekian lama menyandang gelar hotelnya para gubernur jenderal, Paleis Rijswijk beralih fungsi menjadi pusat pemerintahan pada masa Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen (1816–1826). Lantaran kemampuan negosiasinya, orang nomor satu di Hindia-Belanda tersebut mampu meyakinkan Jacob untuk menjadikan kediaman sementara sebagai kantor melalui sistem sewa.
Belakangan, Capellen pun berhasil meyakinkan Jacob untuk menjual rumahnya. Secara resmi, Paleis Rijswijk menjadi kantor pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada 1821. Kala itu, rapat-rapat besar seputar perlawanan terhadap Pangeran Diponegoro hingga Sultan Palembang sering kali dihelat di Paleis Rijswijk.
Barulah pada 1826, Raja Willem I yang mengetahui bangunan di pusat pemerintahan Belanda di Hindia tampak sesak, dirinya pun mengintruksikan untuk membangun kembarannya. Kendati demikian, gedung tambahan tak kunjung dibuat. Alasannya, karena dana kebanyakan telah terserap untuk membiayai pasukan Belanda dalam serangkaian perang di bumi nusantara.
“Istana negara (Paleis rijswijk) bukan bangunan yang sangat artistik tapi anggun. Pada mula bangunan tidak mempunyai serambi yang luas dan terbuka seperti banyak Indisch Woonhuizer (rumah bergaya indis). Serambi yang ditambahkan belakangan sedikit melingkar dengan tangga di samping kiri dan kanan. Dari serambi itu orang dapat masuk istana melalui kelima pintu yang lebar dan semuanya menghadap Jalan Veteran,” ujar tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta, Adolf Heuken.
Saat Indonesia merdeka
Saat Indonesia merdeka, Paleis Rijswijk berganti nama menjadi Istana Negara. Yang mana, oleh empunya pemerintahan, bangunan ini dilindungi oleh Undang-undang Cagar Budaya. Setiap pemugaran dilakukan dengan tetap mempertahankan wajah asli bangunan.
“Serambi depan dengan tiang-tiang kokoh dan kekar yang merupakan ciri khas bangunan kolonial, masih tampak seperti ketika pertama kali gedung ini dibangun,” imbuh Kukuh Pamuji dalam buku Menyelisik Museum Istana Kepresidenan Jakarta (2020).
Baca juga:
Ragam peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia terjadi di Istana Negara. Beberapa di antaranya, pada tanggal 25 Maret 1947, Istana Negara pernah digunakan sebagai tempat penandatanganan naskah Persetujuan Linggarjati, di mana Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir dan Belanda diwakili oleh Dr. Van Mook.
Tak hanya itu, pengakuan atas Kemerdekaan Indonesia juga ditandatangani di sini pada akhir tahun 1949. Perwakilan Indonesia kala itu adalah Sultan Hamengkubuwono IX. Sementara, Belanda diwakili A.H.J Lovink. Penandatanganan itu mengakhiri perang kemerdekaan dari 1945 hingga 1949. Setelahnya, sampai saat ini Istana Negara berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara.
“Di antaranya menjadi tempat penyelenggaraan acara-acara yang bersifat kenegaraan, seperti pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah, dan rapat kerja nasional, pembukaan kongres bersifat nasional dan internasional, dan tempat jamuan kenegaraan,” tutup Kukuh Pamuji.