Penerimaan Pajak Lesu, Shortfall Terburuk dalam Lima Tahun Terakhir
JAKARTA - Penerimaan pajak Tanah Air tercatat lesu. Setidaknya itu yang tergambar dari paparan Kementerian Keuangan yang menyatakan realisasi penerimaan pajak pada 2019 hanya mencapai 84,4 persen atau sebesar Rp1.332 triliun dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp1.577 triliun.
Realisasi pajak yang tidak mencapai target ini menyisakan selisih penerimaan atau shortfall sebesar Rp245 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan rendahnya realisasi penerimaan pajak karena terdampak pendapatan dari industri manufaktur, serta perekonomian global yang terus berfluktuasi.
"Pendapatan negara mengalami tekanan karena pengaruh perekonomian global," katanya di Jakarta, Selasa 7 Januari.
Berdasarkan data APBN KiTa, pencapaian shortfall pajak ini lebih tinggi daripada tahun 2018 sebesar Rp108,1 triliun dan 2017 yakni Rp130 triliun. Bahkan, catatan Kemenkeu ini merupakan kinerja perpajakan terburuk setidaknya dalam lima tahun terakhir.
Jika dilihat dari segi komponen pajaknya, pajak pertambahan nilai (PPN) dan PPN Barang Mewah (PPNBM) mengalami kontraksi paling besar dibandingkan dengan komponen lainnya dengan pertumbuhan hanya 0,8 persen setelah 2018 tumbuh 11,8 persen.
Realisasi PPN dan PPNBM tercatat hanya sebesar Rp532,9 triliun dari target APBN sebesar Rp655 triliun atau sebesar 81,3 persen dari target. "PPn dibandingkan dengan tahun lalu berarti mengalami kontraksi, sekarang hanya tumbuh 0,8 persen," ujarnya.
Selain itu, pajak penghasilan (PPh) migas juga mengalami perlemahan. Realisasi PPh migas realisasi hanya sebesar Rp59,1 triliun dari target sebesar Rp66,2 triliun. Angka ini juga hanya tumbuh 8,7 persen, atau sangat rendah dari 2018 yang tumbuh sebesar 28,6 persen.
PPh nonmigas juga mengalami kontraksi dibandingkan dengan tahun lalu dengan hanya mampu tumbuh 3,8 persen setelah 2018 mencapai 14,9 persen. Realisasinya sebesar Rp711,2 triliun atau 85,9 persen dari target sebesar Rp828,3 triliun.
Lesunya penerimaan pajak pada 2019 ini sebelumnya sudah diproyeksi sejumlah pengamat pajak. Pengamat Pajak Danny Darussalan Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan shortfall pajak tahun 2019 lantaran tidak adanya kebijakan pajak yang signifikan dilakukan dalam semester I-2019 untuk menggali potensi pajak.
Otoritas pajak dinilai hanya bisa mengandalkan sumber penerimaan yang sifatnya siklus rutin saja. “Inilah fakta yang memang harus diterima oleh pemerintah terkait dengan penerimaan pajak. Jadi, lebih baik tenaga, pikiran, dan waktu yg tersisa digunakan untuk strategi 2020,” kata Darussalam dikutip dari kontan.co.id.
Tentu, fakta realisasi penerimaan pajak 2019 ini dijadikan renungan untuk menuju tahun 2020. Apakah dengan merumuskan kembali target pajak 2020 untuj lebih realitis lagi, atau merumuskan kebijakan pajak untuk memperluas basis pajak yang terdiri dari subjek pajak dan objek pajak baru.
Darussalam menambahkan, pemerintah harus tetap fokus pada reformasi pajak yang sedang berlangsung meliputi reformasi atas organisasi, prosed bisnis, sumber daya manusia, data dan informasi, serta revisi Undang-Undang (UU) Pajak.
Menurut Darussalam, bila pemerintah hanya memiliki senjata Rancangan Undang-Undang (RUU) Fasilitas Perpajakan untuk Pengutan Ekonomi atawa Omnibus Law Perpajakan saja akan sulih menggerek penerimaan pajak di tahun-tahun selanjutnya.
Sehingga, lanjut dia, pemerintah juga harus segera menyiapkan Revisi Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), RUU PPh, dan RUU PPN sebagai strategi pencapaian penerimaan pajak dari sisi kebijakan dan aturan perpajakan.
“Substansi utamanya tetap di RUU KUP, RUU PPh, dan RUU PPN, tentu juga harus didukung oleh administrasi pajak yang handal,” kata Darussalam.