Sejarah Kelapa Sawit di Indonesia: Diperkenalkan Portugis, Dikembangkan Belanda

JAKARTA - Bagi Belanda, tanah Hindia adalah laboratorium hidup. Segala macam komoditas impor diuji coba tanam. Upaya itu penuh perjuangan, sekalipun akhirnya membawa keberhasilan. Dalam membangun kejayaan tanaman sawit, misalnya. Langkah itu tak mudah. Keakraban kaum bumiputra dengan olahan kelapa sebagai minyak jadi muaranya. Karenanya, sejarah kelapa sawit awalnya tak lebih dari penghias taman atau jalanan. Namun, Belanda tak menyerah. Sawit pun menjelma jadi komoditas andalan Hindia-Belanda.

Kelapa sawit (Elaeis guineensis) bukan tanaman asli Nusantara. Tanaman ini justru berasal dari tanah Afrika. Fakta penggunaan sawit di Afrika didapat dari keterangan pelaut Portugis yang berlayar ke Afrika pada 1466.

Pengembaraan itu memang bertujuan mencari rempah-rempah yang menjadi komoditas mahal di seluruh dunia. Pelaut Portugis pun singgah di Pantai Gading. Di sana mereka menyaksikan sendiri penduduk setempat telah akrab dengan olahan kelapa sawit. Dari peruntukannya untuk masak hingga bahan kecantikan.

Bibit biji dari kelapa sawit pun ditelitinya. Setelahnya, bibitnya dibawa ke berbagai belahan dunia. Kelapa sawit pun secara resmi memasuki daratan Eropa pada 1844. Eropa lalu jadi gerbang kelapa sawit menyebar di seantero negeri. Hindia-Belanda, terutama.

Perkebunan kelapa sawit di masa penjajahan Belanda. (Wikimedia Commons)

Masuknya sawit menjadi komoditas baru disambut dengan suka cita oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1848. Mereka telah mencium keuntungan dari kepala sawit ditanam secara masif. Sebagai awalannya, empat pohon kelapa sawit diimpor untuk diuji coba di Kebun Raya Bogor untuk diteliti. Hasilnya kurang memuaskan. Penduduk setempat tak lebih memandang sawit sebagai tanaman hias belaka. Sebab, penduduk sekitar masih banyak bergantung kepada minyak kelapa. Bukan sawit.

“Kelapa sawit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ekonomi Afrika Tengah. Pada bagian kedua abad XIX, dengan meningkatnya permintaan bahan baku untuk produksi mentega dan sabun di Eropa dan kemudian di Amerika maka berkembang pula industri ekspor minyak kelapa sawit di bagian dunia itu.”

“Minyak kelapa sawit cepat menarik perhatian Hindia-Belanda. Pada tahun 1848 di kebun Raya Bogor ditanam pohon-pohon pertama dari Elaeis Guinaeensis. Tidak henti-hentinya diusahakan untuk menyebarluaskan kelapa sawit di seluruh kepulauan Nusantara, akan tetapi pada waktu itu pohon tadi tidak lebih sebagai suatu perhiasan taman atau jalan,” ungkap  J. T. M. van Laanen dkk dalam buku Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia (1987).

Jadi Primadona

Popularitas sawit sebagai tanaman hias pun mengemuka. Bibit bijinya pun disebar ke berbagai lokasi. Apalagi sawit yang ada di Bogor itu tumbuh subur dan berbuah lebat. Setelahnya, beberapa tahun kemudian sawit diuji coba tanam menjadi komoditas dagang.

Karesidenan Banyumas dan Palembang jadi yang lebih dulu mencoba. Penanaman sawit dilakukan secara masif. Akan tetapi, tanaman sawit tak bertumbuh bagus. Pemerintah kolonial pun tak menyerah. Mereka kembali menggalakkan uji coba di kawasan lainnya.   

“Selanjutnya uji coba dilakukan di Muara Enim tahun 1869, Musi Ulu tahun 1870, dan Belitung tahun 1890. Tetapi tidak begitu baik pertumbuhannya. Hal ini baru disadari kemudian, bahwa iklim daerah Palembang kurang sesuai untuk pertumbuhan kelapa sawit.”

“Kemudian dikembangkan di Sumatera Utara, ternyata hasilnya baik. Keunggulan kelapa sawit Sumatera Utara sudah dikenal sejak sebelum Perang Dunia Il dengan varietas Dura Deli, yakni tanaman kelapa sawit yang ditanam di Tanah Deli (Medan dan sekitarnya),” tulis Derom Bangun soal sejarah kelapa sawit di Indonesia dalam bukunya Derom Bangun: Memoar ‘Duta Sawit’ Indonesia (2010).

Perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara. (Istimewa)

Sawit pun mulai jadi komoditas andalan pada 1911. Kala itu, perusahaan minyak sawit mulai membuka banyak perkebunan di daerah pantai timur Sumatra. Usaha itu untuk sementara waktu menguntungkan, sampai akhirnya meletusnya Perang Dunia I dan The Great Depression (Depresi Besar) 1923-1939 menyapa.

Perlahan-lahan, produksi perkebunan sawit di Hindia-Belanda pun meningkat. Baik pengusaha dan pemerintah kolonial untung besar. Bahkan, ekspornya mampu mengalahkan dominasi negara-negara Eropa yang menjadi tanah kelahiran sawit.  

“Pengolahan kelapa sawit (Elaeis guineënsis) di Hindia Belanda mulai dilirik tahun 1911, namun telah berkembang cepat selama keberadaannya yang singkat. Berlawanan dengan kelapa, seluruh pengolahan kelapa sawit ditangani oleh perusahaan Eropa. Lahan produksi utama berada di wilayah Pantai Timur Sumatera dan Aceh pada tahun 1928, menghasilkan sekitar 97 persen dari total produksi Hindia Belanda yang dapat dikonversi menjadi 27.030 ton minyak.”

Panen kelapa sawit. (Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia)

“Pemerintah juga memiliki perkebunan di wilayah ini, namun sebagian besar masih dalám proses persiapan. Minyak sawit disadap dari daging buah di pabrik-pabrik yang terletak di perkebunan; biji-bijinya setelah dipisah dari dagingnya, dikupas dan diekspor dengan minyaknya. Pengolahan komoditas kelapa sawit masih mengalami perkembangan terus-menerus,” ungkap J. Stroomberg mengenai sejarah kelapa sawit di Indonesia dalam buku Hindia-Belanda 1930 (2018).