Dahulu, Dalang Wayang Kulit Merangkap Pawang Hujan
JAKARTA - Peran dalang dalam pagelaran wayang kulit begitu vital. Figurnya dikenal bak seorang sakti madraguna. Mereka jadi ujung tombak suksesnya suatu pertunjukan wayang. Ia merangkap semuanya. Dari meramu cerita dan bahkan menahan atau mengendalikan hujan. Karenanya, tugas ekstra itu buat dalang dikenal pula sebagai pawang hujan. Pun keahlian dalang tak melulu digunakan saat mentas saja, tetapi juga digunakan untuk hajatan besar lainnya: kelahiran, pernikahan, khitanan, dan kematian.
Wayang kulit adalah mahakarya besar milik nenek moyang kaum bumiputra. Wayang laksana simbol kemajuan peradaban. Dalam artian, nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal nilai-nilai budaya sejak dulu kala. Itulah mengapa ilmuwan Belanda, Jan Laurens Andries Brandes (1857-1905) mengungkap wayang sebagai unsur kebudayaan asli Nusantara telah hadir jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha.
Setelahnya, kesenian wayang berkembang pesat. Cerita-cerita Hindu mulai diadopsi. Hasil akulturasi itu membentuk banyak tokoh-tokoh Hindu dan tokoh khas Jawa di dalam dunia pewayangan. Antara lain Semar, Bagong, Gareng, Petruk, Bilung, dan lainnya.
Ada peran vital seorang dalang di baliknya. Keahliannya tak melulu soal mampu bercerita dan menggerakan wayang dengan baik. Tapi seorang dalang harus mempunyai kemampuan menghidupkan roh dari tiap karakter yang dimainkan. Berkat itu, dalang dianggap sebagai tokoh yang mampu menghubungkan antara manusia dan kekuatan tak nampak.
Kata mudahnya: seorang dalang harus sakti mandraguna. Sebab, ia digambarkan sebagai pusatnya dunia wayang. Ia berkuasa mutlak atau seseorang yang mengatur segalanya. Kadang pula seorang dalang digambarkan serupa Tuhan. Kadang juga serupa raja. Sekalipun anggapan itu dapat didebatkan. Namun, di atas semuanya profesi dalang tak dapat dimasuki sembarang orang. Lagi pula hanya orang-orang pilihan yang dapat menjadi dalang.
“Sunan Bonang sepertinya berpendapat bahwa manusia dan Allah tidak dapat dipisahkan, tetapi juga tidak tunggal dan sama. Para pemikir sufi di Jawa telah mengungkapkan gagasan tersebut melalui berbagai perumpamaan. Salah satunya wayang kulit: Tuhan adalah dalang, dan manusia adalah wayang (dan layar kelir adalah latar duniawi atau kosmis). Wayang dan dalang berlainan, tetapi memiliki semacam kesatuan, karena dalam pertunjukan wayang kulit, wayang dan dalang masing-masing tidak mungkin ada tanpa yang lain.”
“Ada juga metafora cermin yang menggambarkan manusia sebagai bayangan Tuhan di bumi. Orang yang bercermin dan bayangannya pada cermin terpisah, tetapi lagi -lagi, yang satu tidak dapat eksis tanpa yang lain. Jadi, dengan kedua metafora itu, dualitas sifat keduaan dapat dipertahankan, tetapi sekaligus mengakui adanya semacam monisme, atau ketunggalan,” ungkap ahli Sastra Jawa modern, George Quinn dalam buku Wali Berandal Tanah Jawa (2021).
Dalang Sebagai Pawang Hujan
Kesaktian dalang wayang kulit pun mulai dikenal luas oleh masyarakat sejak dulu kala. Pun kesaktian itu tak hanya digunakan atau diperuntukan saat dirinya manggung belaka. Khalayak umum pun acap kali memanfaatkan jasanya kala ada sanak famili yang mengadakan hajatan berupa perayaan ritus hidup: kelahiran, pernikahan, khitanan, hingga kematian. Dalang pun diminta untuk menjadi pawang hujan. Demi menahan turun hujan, pikirnya.
Dalang pun memainkan perannya sebagai pawang hujan dengan baik. Hajatan yang mendatangkan dalang sebagai pawang hujan nyatanya mampu menahan atau memindahkan hujan. Keberhasilan itu membuat profesi dalang memiliki nilai yang lebih besar dibanding buruh.
Dalam tahun 1920-an saja, upah buruh bekerja sehari hanya 0,10 gulden. Sedang dalang mendapatkan upah untuk pertunjukan sehari mencapai 10 gulden. Konon, ketika masa Depresi Besar (1929-1939) saja upah seorang dalang sebagai pawang hujan terus meningkat. Kelebihan itu tak lain karena dalang memiliki keistimewaan yang setara seorang dukun.
“Mantra bersifat sakral dan tidak boleh diucapkan setiap orang. Oleh karena itu, hanya orang tertentu, seperti dalang, pawang hujan dan ruwat, dukun, atau paranormal yang berhak mengucapkannya. Pengucapan mantra dilakukan secara sakral lengkap dengan ubarámpe sesaji yang disebut sandhingan (bahasa Jawa).”
“Hal itu dilakukan karena kata-kata yang diucapkan tersebut mempunyai tujuan agar mampu menyugesti daya magis. Sèmentara itu, sandhingan yang diujubkan mempunyai daya magis dalam kehidupan masyarakat,” terang Asri Sundari dalam buku Sastra Rempah (2021).
Demi menjaga kesaktiannya, laku mistik pun dilakukan dengan cara yang beragam. Beda dalang, beda pula ritual yang dilakukan. Semua itu dilakukan supaya dalang, yang dibanyak dianggap perantara, dapat mencapai tingkat konsentrasi yang tinggi sehingga dapat mencapai kekuatan yang tak dapat jelaskan secara ilmu pengetahuan. Apalagi sains.
Baca juga:
- Jalur Kereta Api Bogor-Sukabumi Diresmikan Belanda dalam Sejarah Hari Ini, 21 Maret 1882
- Andil Tinton Soeprapto dan Tommy Soeharto Kembangkan Sirkuit Sentul
- Berakhirnya Kejayaan Sirkuit Internasional Pertama Indonesia, Sirkuit Ancol
- GP500 Indonesia 25 Tahun Lalu di Sirkuit Sentul Ditonton 400 Juta Orang di Seluruh Dunia
Peranan dalang itu diamini pula oleh Mahaguru Sastra Jawa, G.A.J. Hazeu. Ia pun mengungkap kesaktian dalang tak cuma sebatas pawang hujan saja. Dalam laku kehidupan, dalang juga dipanggil dengan maksud lain seperti untuk memimpin upacara ruwatan (tolak bala).
“Tidak hanya sebagai pawang hujan. Jika kita menelusuri upacara ruwat, dalam bahasa sehari-hari disebut ngruwat, ruwatan, dalang memiliki banyak kemampuan untuk menciptakan keselamatan bagi masyarakat Jawa.”
“Misalnya ruwat yang berhubungan dengan pertanian, dalang bisa saja melakukan upacara guna menangkal hama tanaman. Bisa saja untuk menangkal penyakit dan menangkal kegagalan panen,” tutup Donny Puguh Prasetyo dalam tulisannya di Majalah Adiluhung berjudul Pandhawa Cinarita: Keris Ageman Para Dalang (2021).